Saat berada di Polewali Mandar, saya mendapat pesan dari Aliansi Organis Indonesia. Mereka meminta saya dan suami membuat video kegiatan sebuah program di pedalaman Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Saya langsung tertarik karena lokasinya ada di Jantung Kalimantan. Di desa-desa yang terletak di bentang pegunungan Muller dan Schwaner. Salah satu hutan hujan tertua di bumi yang sejak bertahun-tahun lalu ingin saya kunjungi.
Tim dari Aliansi Organis Indonesia meminta kami datang tiga hari lagi agar bisa bertemu di lokasi. Saat melihat jadwal pesawat, kami baru tahu kalau dari Jakarta menuju Putussibau, harus berganti pesawat di Bandara Supadio. Ada banyak pilihan penerbangan dengan harga tiket mulai dari 1,2 juta hingga diatas 3 juta rupiah. Kami sengaja memilih yang transitnya hanya dua jam supaya cukup waktu untuk berpindah pesawat namun tidak terlalu lama di bandara. Dari Polewali Mandar, kami kembali ke Jakarta untuk mengambil kamera dan perlengkapan lain. Keesokan harinya, kami sudah berada di penerbangan pagi ke Pontianak.
Saat melanjutkan perjalanan dengan pesawat kecil menuju Putussibau, saya sengaja duduk di dekat jendela. Pesawat yang terbang rendah membuat saya bisa menikmati Sungai Kapuas yang berkelok-kelok seperti usus. Pepohonan rimbun menghijau membingkai sungai terpanjang di Indonesia tersebut. Saya berkali-kali menarik-narik lengan Gugun sambil berteriak kegirangan. Sebentar lagi kami akan menjelajahi hulu Sungai Kapuas.
Kami sampai di sebuah bandara yang ukurannya tidak jauh berbeda dengan sebuah rumah. Disampingnya ada warung yang mirip kantin sekolah. Seorang teman menjemput kami untuk menuju Kota Putussibau. Setelah diskusi di kantor lapangan Aliansi Organis Indonesia, kami melanjutkan perjalanan menuju desa pertama.
Jalanan yang kami lewati tertutup banjir setinggi lutut orang dewasa. Mobil seperti berjalan di dalam sungai. Kami berdoa agar bisa sampai tanpa mengalami mesin macet. Lama-kelamaan, jalan yang kami lalui mulai sepi. Tidak ada orang ataupun rumah-rumah di kiri-kanan jalan. Empat jam kemudian kami berhenti di rumah Kepala Desa Sri Wangi. Tuan rumah menyuruh kami cepat-cepat mandi dan membongkar barang karena sebentar lagi listrik mati. Di Desa Sri Wangi, listrik baru ada sejak tahun 2012. Itu pun hanya listrik desa dengan tenaga diesel yang menyala dari pukul lima sore hingga pukul sepuluh malam.
Saat bangun selepas subuh, saya tidak sabar untuk jalan-jalan ke ujung desa. Desa ini dikelilingi bukit-bukit yang penuh dengan pepohonan hijau. Kabut masih menyelimuti sela-sela perbukitan. Hal yang pertama saya sadari adalah: tidak ada sinyal di tempat ini. Sesekali saya bertemu dengan satu dua penduduk yang berjalan kaki atau naik kendaraan untuk pergi ke kebun atau hutan. Sebagian besar penduduk hidup dari menyadap karet.
Jalan desa yang lapang terbuat dari susunan batu diperkeras. Tahun 2015 lalu, jalan ini hanya bisa dilalui motor dan becek tiap hujan tiba. Dahulu sebelum ada jalan, rumah-rumah penduduk berada di tepi sungai. Mereka menggunakan perahu-perahu dayung untuk pergi keluar daerah. Semenjak dibangun jalan, rumah-rumah penduduk letaknya berpindah di kiri dan kanan jalan.
Rumah-rumah asli warga berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu ulin. Penduduk lokal menyebutnya kayu belian. Saya masih menemukan beberapa rumah dengan atap sirap—kayu ulin yang dipotong berbentuk lembaran kecil-kecil dan disusun bertumpuk. Karena atap jenis ini membutuhkan waktu lama untuk dipasang, penduduk mulai mengganti atap rumahnya dengan seng yang lebih praktis. Rumah tradisional mereka berbentuk panggung karena tiap akhir tahun, turun hujan lebat. Sungai akan meluap menggenangi kawasan perumahan selama setengah hari.
Keesokan harinya, saat berpindah ke desa lain, kami lewat daerah mendapat sinyal dengan baik. Mumpung ada sinyal, saya memesan tiket pulang. Menurut perkiraan, kami masih bisa menyelesaikan pekerja dalam lima hari. Kami lebih baik membeli tiketnya sekarang daripada kehabisan. Rute Putussibau-Pontianak hanya dilayani dua pesawat kecil. Dan, saya beruntung membeli tiket tersebut lebih awal. Teman kami tidak mendapat tiket ke Pontianak di hari yang sama. Ia terpaksa menempuh perjalanan darat selama 14 jam. Bayangkan kalau kami yang tidak dapat tiket? Saya harus menunda kepulangan yang artinya mengeluarkan biaya tambahan untuk sewa peralatan. Oh iya, pesawat dari Putussibau sering terlambat gara-gara cuaca tidak memungkinkan untuk terbang. Lebih baik gunakan connecting flight supaya kalau terjadi keterlambatan, maskapai yang bersangkutan bisa mengganti tiketnya.
Selain bisa mengubah jadwal, kita juga dapat mengajukan pembatalan penerbangan lewat traveloka. Beberapa maskapai memberikan kebijakan pengembalian uang jika ada pembatalan penerbangan. Kita bisa mengetahui bisa tidaknya tiket mendapat refund di rincian harga saat memilih penerbangan.
Kami melanjutkan perjalanan ke desa kedua. Namanya Nanga Yen. Penduduk desa di sini mulai melakukan pertanian organik. Mereka membuat sendiri pupuk dan pestisidanya. Selain lebih aman untuk tubuh dan lingkungan, mereka tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk membeli pupuk dan pestisida. Ada banyak tanaman di ladang atau hutan yang bisa dipergunakan untuk membuat pupuk dan pestisida sendiri.
Karena ingin melihat langsung interaksi penduduk dengan hutan, kami mengikuti beberapa warga pergi ke hutan. Saya kagum dengan kemampuan mereka mengenali tumbuh-tumbuhan. Di desa-desa tepi hutan, penduduk terbiasa pergi ke hutan untuk mengambil paku-pakuan, jamur, hingga bambu muda untuk dimasak. Favorit saya jamur pelanduk. Rasanya kenyol-kenyol seperti jelly. Senang rasanya memakan sesuatu yang saya tahu darimana asalnya. Mereka juga mengambil kayu bakar dari ranting pohon yang berserakan. Di hutan, para penduduk desa bercerita tentang jamur apa saja yang dilarang diambil karena beracun. Saya takjub melihat betapa beraneka ragamnya tumbuhan yang ada di hutan. Sambil bercanda, saya berkata kalau penduduk desa ini jauh lebih kaya daripada kami yang tinggal di kota. Kalau lapar, butuh kayu bakar, atau mau bikin rumah, mereka tinggal pergi ke hutan. Berbeda dengan saya yang harus membeli segalanya. Kalau tidak bekerja, saya tidak bisa makan.
Warga desa juga menunjukkan jamur dan batang tanaman yang menjadi obat secara turun-temurun. Ibu-ibu di sini bercerita kalau mereka terbiasa diajak ke hutan sejak kecil oleh orangtuanya. Saat ke hutan, orangtuanya mengajarkan tumbuhan apa saja yang bisa dipergunakan. Ah, saya ingin tinggal lebih lama untuk belajar tentang tumbuhan-tumbuhan tersebut.
Perjalanan menuju hutan melewati beberapa sungai dengan air bening. Kalau tidak ada tugas mengambil video, saya akan berlama-lama di sungai untuk mandi atau main air. Penduduk lokal yang menemani kami bercerita kalau pohon-pohon ini ukurannya terbilang kecil. Di hutan yang jaraknya satu hari jalan kaki, pohon-pohonnya jauh lebih besar. Ada yang ukuranya beberapa pelukan orang dewasa.
Saya langsung memasukkan wilayah ini ke daftar tempat yang harus dikunjungi lagi. Seru bisa membuat film dokumenter tentang hubungan manusia dan hutan. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah pohon tengkawang. Pohon ini merupakan keluarga tanaman shorea yang hanya ada di Kalimantan. Populasi terbesarnya ada di Kalimantan Barat. Pohon shorea jenis lain juga ada di Sumatera. Tengkawang di Kalimantan ini memiliki buah. Ia butuh bertahun-tahun untuk berbuah. Pohon-pohon tengkawang berbuah terakhir tahun 2010. Dulu, tiap kali panen raya, masyarakat pergi ke hutan untuk membersihkan lahan. Mereka mengumpulkan buah-buah yang berjatuhan. Berat keseluruhan buah bisa mencapai berton-ton. Sayangnya, letak pohon-pohon ini kebanyakan di dalam hutan. Butuh waktu berjalan kaki berjam-jam untuk mengangkutnya. Penduduk kadang menginap hingga berhari-hari untuk mengeringkan tengkawang dengan cara diasapkan. Buah tersebut kemudian ditumbuk untuk diambil minyaknya. Minyak tengkawang dijual untuk kosmetik.
Saya sangat takjub melihat betapa kayanya hutan. Saya juga sempat melihat penduduk memanen perupuk—tanaman sejenis pandan liar, dan bemban—alang-alang. Kedua tanaman ini dianyam untuk membuat peralatan rumah tangga. Mulai dari keranjang untuk menyimpan barang, alat masak, topi, hingga tikar dari dua bahan ini. Saya sempat membawa pulang sebuah tempat uang. Kata ibu yang memberinya, tempat uang tersebut aman dari tuyul.
ini kereen..mau juga masuk masuk hutan
BalasHapusAku aja pengen balik lagi ke sini :D
HapusDesember ini daerah putusibau hingga semitau banyak orang dayak panen durian
BalasHapusAsek bisa makan durian sepuasnya. Saya jadi penasaran dengan video dokumenternya nih. Mana linknya?
HapusJangan sebut-sebut durian dunk. Jadi pengen ke sana. Videonya belum diupload. Kayaknya harus ke sana lagi
HapusDesember ini daerah putusibau hingga semitau banyak orang dayak panen durian
BalasHapusLihat foto-fotonya aku jadi keinget sama Tanjung Puting (yang tiketnya aku beli di Traveloka juga tahun lalu). Suasana hutannya itu beda banget. Di Sumatra juga kan banyak ya hutan, beberapa kali dalam perjalanan pun melewati kawasan hutan, tapi Kalimantan terasa beda. Auranya lain :D
BalasHapusKangen jelajah alam Kalimantan lagi euuy.
Hutan hujan di Kalimantan Barat lebih rapat daripada Sumatera. Ini aja belum sampai hutan agungnya
HapusWooowww!! Perjalanan yang menyenangkan dan tentunya asiikk!! Banget tuh..bisa selfie2..dan berbaur dengan masyarakat setempat..
BalasHapusPernah sih kesana cuma waktunya yang pendek jadi yaa!! Cuma ngelongok doang deh😂😂😂
Aku aja masih ngerasa kurang lama. Pengen lebih dari seminggu di satu tempat
HapusWew. Pengalaman luar biasa kak bisa jelajah masuk ke pedalaman hutan kalimatan, ketemu warga lokal, belajar tentang alam, seruuu.
BalasHapusPengen ih.
Ini perjalanan yang sangat berkesan ya
BalasHapusSenang bisa berinteraksi dengan orang-orang asli Kalimantan mereka saudara kita, betul mereja lebih kaya dan mereka juga sangat menjaga kekayaannya
Seru aja masih pakai kata banget
HapusPemandangannya indah sekali mbak. Masih asri dan senoga tetap demikian seterusnya
BalasHapusJadi pengen refreshing ke sana, mbak :3
BalasHapusSaya membacanya kebawa emosi, ada rasa haru dan prihatin juga.
BalasHapusHidupnya tampak berat sekali ya? Mungkin bagi mereka sudah terbiasa. Semoga saja pemerintah lebih perduli, akses diperluas dan dipermudah. Biar makmur.
Ya ya ya, di kota jika tidak kerja tidak bisa makan.
Sesekali saya diajaklah, biar saya punya pengalaman luas tidak hanya duduk manis didepan kompuer saja :)
Masih asri yah jantungnya kalimantan. Semoga tetap terjaga dan tetap lestari dan di jauhi dari tangan-tangan jahil
BalasHapusSemoga
HapusPutussibau? mendengar namanya pun baru pertama kali. Asik banget Mbak mengeksplorasi pedalaman Kalimantan. Ternyata ada pesawat buat ke sana ya.
BalasHapusAku sudah dengar bertahun-tahun lalu tapi baru kesampaian sekarang :D
HapusAku baca ini jadi keingetan novel Tere Liye serial anak mamak, anak-anak kampung yang tinggal di kampung banget, dekat dengan hutan, pedalaman, ga ada lampu, hutan masih asri tapi mulai berdatangan org2 serakah, hutan digunduli utk sawit, sungai dikeruk pasirnya. Semoga hutan yang ini lestari sampai kapanpun....baca novelnya aja sedih, apalagi kalo harus menyaksikan paru-paru dunia rusak
BalasHapusSemoga. Kemarin pas jalan-jalan ke hutan diceritain masyarakat bikin hutan jadi hutan desa biar ga dialih fungsikan
HapusIni pengalaman luar biasa.. Ya ampun asyiknya ya, semoga aku jg bisa dapet kesempatan buat interaksi dg mereka
BalasHapusSeru banget dan pengen ngulang lagi
HapusSembari jalan-jalan sembari belajar juga dari penduduk yang ada di sana. Ya, begitulah alam diciptakan, selagi masih ada manfaat tak apa kita ambil untuk keperluan dan kebutuhan.
BalasHapusSelama tidak diambil secara serakah, alam memberi banyak untuk penghuninya
HapusSedap, Ayo Mampir Lagi Mbak, Wilayah Ketapang - Melawi, nggak kalah eksotik dibanding wilayah timur kalbar.
BalasHapusAihh... pengen jelajah Kalbar.
HapusSudah sampai bandara supadio, kog balik ke jakarta lagi :D boros mbak :D
BalasHapusmasih alami banget hutan kalau saya disitu rasanya indah nan damai
BalasHapusmistisnya masih kerasa ya di sana.. aku pun gak nyangka kerjaanmu bikin kamu bisa traveling ke mana aja.. pake traveloka emang praktis banget bisa reschedule pula.
BalasHapusAh Kalimantan, salah satu pulau yang belumpernah ku singgahi. Dulu pernah pingin main Tanjung Puting bareng Mas Gugun & Om Bukrie, tapi masih belum di beri waktu yang tepat nih. Semoga next time bisa ketularan main kesana juga nih ^_^
BalasHapusSaya pernah baca tulisan di mojok yang membahas siapa sebenarnya yang primitif. Maksud saya, ketika orang-orang di pedalaman ini memanfaatkan bahan baku semua dari kayu dan ilalang. Sementara kita malah mengotori lingkungan dengan plastik.
BalasHapusKetika para masyarakat di sana membangun rumah dengan kayu yang memang sudah layak pakai dan ditebang. Sementara orang-orang luar datang melibas semua hutan dengan monster besi.
Aku kadang kangen dengan suasana di kampung, membuat tikar dari pandang, dan membuat tas dari kardus.
Perjalanan istimewa ke paru-paru bumi ini jadi tidak ada kendala dengan kemudahan merencanakan perjalanan dengan Traveloka ya mbak.
BalasHapusSemoga hutan Kalimantan yang masih tersisa saat ini tetap terjaga baik.
Seru juga ya bisa melakukan perjalanan seperti itu, pengen banget rasanya, cuma belum pernah ada kesempatan.
BalasHapusmasih banyak PR ya Pak Jokowi (dan pemda juga) hehe
BalasHapustapi memang namanya Kalimantan itu benar2 eksotik
apalagi penduduknya, gila rela berjam2 masuk hutan untuk ambil buah2an
itulah Indonesia
nice post mbak, aku suka.
Ini sekitar dua minggu lalu aku lagi buka2 Traveloka dan menimbang2 untuk beli tiket ke Putussibau, hahaha... meski rencananya pengen ke danau Sentarum... Ternyata dirimu udah duluan ke Putussibau, sip deh ada tempat bertanya..
BalasHapusdapat kerjaan sampe ke daerah kawasan hutan menarik banget ya. Saya pernah diminta temanin kawan ke kalbar. wah hutannya juga masih bagus di sana. bersaing sama kelapa sawit tentu saja.
BalasHapusPerjalanannya seru banget. Baca artikel ini jadi pengen ke hutan Kalimantan juga. Kalo diliat dari foto-foto ternyata agak horror juga ya hutannya. :D
BalasHapusWow takjub. Pengalaman yang luar biasa. Kalau videonya ada di YouTube, saya mau dong dicolek, Mbak. Pengen nonton. Pasti keren :)
BalasHapusBTW, saya setuju kalo mereka kaya. Butuh apa-apa, bisa mengusahakannya sendiri. Semoga hutannya tetap terjaga, ya Mbak.
perjalanan panjang dan mengasikkan menuju putussibau...
BalasHapussebuah surga tersembunyi di jantung kalimantan... lumayan juga ya mbak kayaknya ongkosnya. kami aja yang dipontianak kadang rada keder juga kalau udah naik pesawat melihat harga yang relatif mahal. padahal antar kabupaten aja. tapi sebanding dengan keindahan alam yang di dapat.
Wah Mbak Retno member AOI juga ya...Keren. Perusahaan saya juga :)
BalasHapussuka banget deh mbak diajak ke hutan dan mengenali tanaman..
BalasHapusbikin posting khusus tentang tanamannya dong,
kalau tentang tengkawang baru beberapa minggu lalu aku nonton dokumenternya, tetapi shootingnya itu di pedalaman Kalimantan wilayah Malaysia, terpaku nontonnya
sebutan di film itu itu black gold, tadinya kusangka tentang pohon kemenyan, eh dari postingan ini baru ngeh black gold itu ya tengkawang
Duh kak, aku iri loh. Pengen jalan-jalan jalan kesana juga. Tapi boro-boro kesana. Ke kota sebelah aja gaboleh. Semangat kakak nulisnya 😚😚
BalasHapusAku baru tau ada daerah yang namanya Patussibau. Patussibau menyembunyikan banyak keindahan ya kak? Waahh pasti seneng banget rasanya disana. Baca tulisan kakak aja udah seru dan asik bangeeet, apalagi jalan-jalan kesana.. Gak kebayang kak rasanya seasik apaa..
BalasHapusKalimantan dengan segala pesonanya. Saya ini tinggal di Kalimatan tapi kurang meng-eksplore pulau sendiri. Ihiks. Ke Kalbar pun belum pernah -_-
BalasHapussalah satu wisata yang menarik buat dikunjungi, asik ya kerja sambil jalan2 :D
BalasHapusEksotis sekali alam kalimantan ya. Penduduk sekitar berkah kebutuhannya sudah dipenuhi oleh alam.
BalasHapusJadi pengen, kulari ke hutan kemudian menyanyiku
kulari ke pantai kemudian teriakku, eh kog...
Wow, Kapuas Hulu! Tempat ini memang warbiyasa, mbak!
BalasHapusTahun lalu saia sempat ke sana, tp blm sempat explore banyak. Hanya ke Putissibau, TN Dana Sentarum lalu ke Badau (perbatasan Indonesia-Malaysia).
Bentang alamnya keren, begitu pula budaya dan warganya.
Suatu saat, jika ada rezeki dan kesempatan, pengen balik ke sana lagi dan piknik ke temoat lain lagi yg belum sempat saya kunjungi :)
sebagai orang kota, apalagi berasal dari kota besar kayak Jakarta, pergi ke daerah pedalaman seperti ini bener2 pengalaman hidup tak terlupakan ya mbak Lutfi. Seru sendiri aku baca cerita mbak ini.....
BalasHapusWahh, indah bangett kakak, enak ya kayak kakak kerja sambil jalan jalan😍😍semangat terus nulisnya kakak😄
BalasHapusWahh, indah bangett kakak, enak ya kayak kakak kerja sambil jalan jalan😍😍semangat terus nulisnya kakak😄
BalasHapus