Kamis, 30 Maret 2017
Mencari Ondel-ondel di Belantara Jakarta
Tiap sore, jalan depan tempat tinggal saya dilewati rombongan ondel-ondel. Biasanya, satu grup terdiri atas 4 orang. Pemakai boneka ondel-ondel, pendorong gerobak musik, dan dua orang yang mengumpulkan uang receh sebagai pemakai boneka pengganti.
Awalnya, saya pikir kelompok ondel-ondel itu berasal dari daerah seputar Pasar Minggu. Sampai saya dan Gugun datang ke Kampung Kramat Pulo untuk membuat film tentang Ondel-ondel. Separuh penduduk kampung tersebut hidup dari mengamen ondel-ondel. Siang hari, para pengamen ini bertebaran di seputaran Jakarta. Pertama tiba di tempat tersebut saya melihat belasan ondel-ondel berjajar di pinggir jalan dan gang-gang sempit. Kesan pertama saya, ondel-ondel tadi kotor. Berbeda dengan ondel-ondel yang dipajang di pertokoan atau perkantoran setiap ada acara.
Sewaktu melihat-lihat beberapa orang yang sedang membuat kerangka ondel-ondel, saya ngobrol dengan Pak Dadang. Ia baru bergabung dengan pengamen ondel-ondel sekitar tiga bulan lalu. Awalnya, Pak Dadang bekerja sebagai penarik becak. Sesekali ia mendapat penghasilan tambahan dari menukang. Karena ia lebih banyak menganggur, ia memutuskan ikut mengamen ondel-ondel.
Lama-lama, saya mendengar banyak cerita serupa. Dahulu, Kampung Kramat Pulo sempat dikenal sebagai Kampung Maling. Tingkat pengangguran di sana tinggi sehingga orang menggunakan segala macam cara untuk mendapat uang. Munculnya ondel-ondel pengamen membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang. Karena mereka sibuk bekerja, hal tersebut mengurangi tawuran antar kampung.
Saya mencari Ayah Mul untuk menjadi subyek film. Menurut informasi yang saya dapat, bapak ini memiliki belasan ondel-ondel yang dipakai untuk mengamen. Ia juga melayani pembuatan ondel-ondel. Saya sempat diacuhkan waktu menyebutkan akan membuat film tentang Ondel-ondel untuk ditayangkan di Metro TV. Katanya, dia sering diwawancarai oleh wartawan. Hal tadi sama sekali tidak mengubah hidup para pengamen ondel-ondel.
Setelah ngobrol berkali-kali, barulah Ayah Mul mulai terbuka. Bapak berumur 48 tahun ini nama aslinya Mulyadi. Kebanyakan anak-anak pengamen memanggilnya Ayah dan julukan tersebut sekarang dipakai oleh semua orang. Di tengah-tengah obrolannya, Ayah Mul bercerita kalau ia tidak pernah bermimpi untuk menjadi pengamen. Mereka pun ingin punya pekerjaan yang baik. Sayang, latar belakang pendidikan mereka kurang mencukupi untuk itu.
Seorang kakek berusia 70 tahunan bercerita kalau dahulu sewaktu muda, ia juga menjadi pemain ondel-ondel. Anak-anak kampung memainkan ondel-ondel untuk meramaikan arak-arakan perayaan. Ayah Mul sendiri menjadi pemain ondel-ondel sejak tahun 2009. Waktu itu, menjadi pemain ondel-ondel panggilan hanyalah pekerjaan tambahan. Panggilan pentas, hanya ramai pada saat ulang tahun Jakarta atau bulan-bulan tertentu.
Menjelang pukul 12, jalan utama di Kampung Kramat Pulo ramai oleh anak-anak yang hendak mengamen. Kebanyakan mereka menggunakan pemutar mp3 yang disambungkan dengan pengeras suara. Ada satu grup yang memakai alat musik manual seperti tehyan, kenong, dan kendang. Satu grup ini isinya minimal 12 orang. Sebelum berangkat, masing-masing grup meminjam uang siraman ke pemilik boneka. Uang tadi dipakai untuk ongkos naik kendaraan umum dan makan.
Gara-gara mengikuti mereka, saya baru tahu kalau pekerjaan tersebut berat. Masing-masing rombongan harus berjalan hingga belasan kilo. Satu orang bahkan harus bergantian membawa boneka seberat 20 kilo. Saya sempat sedih waktu melihat seorang ibu yang umurnya mungkin belum ada duapuluh tahun ada di tengah-tengah rombongan pengamen. Ia punya bayi berusia dua bulan. Bayinya dititip ke orangtuanya dan ia ikut rombongan mengamen. Memang tidak ada keluarganya yang bisa membantu apa? Tulisan ini saya buat saat membuat film untuk program Melihat Indonesia. Cerita tentang ondel-ondel tayang pada hari Jumat, 31 Maret pukul 22.30 lalu. Di sana saya juga menampilkan seniman ondel-ondel lain yang tidak mengamen sebagai perbandingan. Untuk yang belum sempat menyaksikannya bisa melihat filmnya di sini http://eagleinstitute.id/detail/249/melihat-indonesiaeps-bertahan-di-jalanan
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Aku jadi sedih sendiri mbak, wah tayang besok malam ini ya. Aku jadi penasaran. Ternyata cari uang sebegini susahnya ya. Sepertinya budaya2 gini harus terus di lestarikan atau minimal ada di setiap acara Jakarta2 buat pembukaan 5-10 menitan gt. Sehingga orang ttp ingat sama ondel2.
BalasHapusSetuju
HapusTerkadang kita mengeluh dengan pekerjaan yg kita pikir itu berat.. Padahal ada pekerjaan yg lbh berat dan hasilnya tidak seimbang dengan pekerjaan.. Saya ingin trs belajar supaya tdk suka memgeluh.
BalasHapusAmin. Ternyata kita lebih beruntung daripada banyak orang
HapusBersyukurlah dengan apa yang kita dapat, meski tidak sesuai dengan harapan, lihatlah kebawah untuk urusan dunia dan lihatlah ke atas untuk urusan akhirat.
BalasHapusTernyata sebegitu beratnya perjuangan seorang pengamen ondel-ondel...dibalik kostumnya yang terlihat selalu tersenyum ternyata ada sosok" lebih dari paruh baya yang sedang berjuang untuk tetap mencari rejeki dengan cara melestarikan budaya dan memberikan kegembiraan pada orang" yang melihatnya menggunakan kostum ondel"
BalasHapusDulu sebelum tahu beratnya hidup mereka aku suka sebel. Sekarang lebih makslum
HapusHmm, kasihan banget ya mereka, tapi ini sebenarnya bisa diambil hikmah dan pembelajaran, bagaimana perjuangan beliau-beliau menjadi pengamen ondel ondel untuk mencukupi ekonomi harian.
BalasHapusIya. Hidup di Jakarta memang berat. Orang harus berjuang lebih keras.
HapusAgak prihatin sich,,, ngeliat salah satu icon Ibu Kota Indonesia harus jadi media untuk mencari sesuap rezeki..
BalasHapusKarena di ibukota untuk bertahan hidup itu berat
Hapuswah, beratnya mencapai 20 kg????
BalasHapuswah wah wah..kebayang juga nih capeknya...
kirain gak ada 10 kg ...
salut dech buat mereka...
BTW, salam kenal bu :)
Iya. Dan harus jalan belasan kilo.
HapusGimana ya, memang harus diakui keberadaan Ondel-Ondel memang sudah kurang digemari, khususnya bagi para anak muda. Mungkin ini siklus, sekarang jamannya teknologi yang unjuk gigi.
BalasHapusAgak dilema sebenarnya, kasus ini bisa dibilang serupa dengan taksi konvensional VS taksi online, mau tidak mau perputarannya memang seperti itu. Barangkali ada saatnya nanti, saat teknologi berapa di perputaran roda yang bawah, benda-benda konvensional seperti Ondel-Ondel ini akan menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Melihat Indonesia, Jumat, 22.30 (Noted!)
Terimakasih sudah mencatat. Semoga kemarin sempat menonton...
HapusInilah salah satu warisan indonesia yang harus kita lestarikan, jangan sampai ondel ondel nantinya hanya bisa di lihat dari buku di perpustakaan oleh anak dan cucu kita nantinya,lestarikan dan jaga. Hidup indonesiaku
BalasHapusaku belum pernah melihat ondel-ondel secara langsung hehehhe
BalasHapusMengaduk-ngaduk perasaan banget bacanya
BalasHapusPerjuangan mereka untuk mencari nafkah luar biasa ya
Berjalan jauh puluhan kilo setiap hari hiks
Apalagi aku yang lihat langsung mbak. Sedih banget. Ada banyak yang belum aku tulis di sini
HapusOndel-Ondel nya bikin serem. Hehhee
BalasHapusagak miris sih sebenarnya ya mbak, kesenian semacam ini harus dijadikan bahan mengamen
BalasHapuspadahal itu adalah budaya juga yang setidaknya lebih tinggi nilainnya dari sekedar mengamen untuk mengais rupiah
Iya, antara sedih tapi kalo mau diubah harus ada ganti nafkah mereka
HapusOndel-ondel merayap di lampu merah.
BalasHapusYa telat nih, sehingga tidak bisa menyaksikan film di televisinya. Ondel-ondel kini hanya menjadi lahan rezeki untuk mengamen, Sungguh disayangkan sekali. Untung masih ada bapak Mul yang masih setia dengan budaya ondel-ondelnya.
BalasHapusBisa ditonton via webnya eagle institute kok
HapusArtikelnya belum ada yang baru. Ditempatku kalau sore, sering itu ondel-ondel lewat, anak kecil berjalan sampai kiloan meter, kadang kasihan juga ya ?
Hapusada lho temanku yang ketakutan bnget dengan ondel-ondel yang sering lewat di jalan sabang haha dia sampe lariii
BalasHapusMemang untuk beberapa orang boneka besar menakutkan
Hapusbaru buka blogpostnya mbak ^^, telat dah *yaudah habis ini streamingan di youtube wkwk
BalasHapusdan saya yg bukan orang jakarta merasa kalau ondel-ondel sekarang sepertinya cuma sekedar "identitas" belaka..benar-benar terlihat dimata masyarakat sepertinya kalau pas ada event-event tertentu di jakarta. :(
Barusan aku kasih tautan untuk lihat filmmnya secara online.
HapusKalau saja Jakarta manajemen pariwisatanya serapih Bali. Pasti bisa lebih terbantu seniman2 ini. Dibikinkan kantong-kantong seni. Di daerah A khusus ondel2, daerah B khusus lenong dll jd wisatawan mudah lalo pengen liat pertunjukan, di peta wisata dah ada. Tapi aku ndak tau juga sih apakah itu efektif. Soalnya Jakarta notabene kota bisnis. Kalo Bali kan dah jelas unggul di pariwisatanya wkwk
BalasHapusBisa. Kalau pemerintah memang perhatian. Tapi itu butuh usaha keras karena sudah terlalu banyak orang terlanjur menjadi pengamen
Hapusternyata betul ya rombongan ini dari sekitar Kemayoran..
BalasHapusaku pernah tanya mereka yang lewat sekitar Cibubur, di rombongan itu ada anak2 remaja perempuannya..
tapi sayangnya kalau rombongan pengamen ondel2 ini lewat jadi bikin macet jalan
mereka agak2 ke tengah sih mainnya
Banyak mbak yang masih remaja tanggung. Ada ibu mungkin umurnya blum 20 punya balita dua bulan lagi.
HapusPadahal banyak sekali loh ondel ondel yang suka lewat di Jalan Kemang Raya hehe dipake ngamen
BalasHapus-M.
http://www.inklocita.com/2017/04/tiket-jepang-murah.html?m=1
aku pernah nangis dulu pas kecil gara2 ondel2
BalasHapusduh serem
cuma lama2 liatnya ya lucu juga
tapi berat ya, kayak reog gitu
butuh perjuangan
Iyaa.... Kayaknya hampir semua seni tradisional mengalami hal sama
HapusBacanya sedih ya mbak. Hiks
BalasHapusBerjalan berkilo-kilo dengan beban segitu beratnya
Ternyata perjuangannya berat juga ya. Semoga ondel-ondel akan selalu ada ya.
BalasHapus