Saat pertama kali datang ke Kampung Al Munnawar, saya tertarik dengan pintu-pintu besar dan jendelanya yang berwarna-warni. Beda sekali dengan foto-foto rumah-rumah kusam yang pernah saya lihat sebelumnya di beberapa blog. Saya baru tahu kalau pemerintah Propinsi Sumatera Selatan baru saja membenahi Kampung Al Munnawar. Hasilnya adalah kampung dengan lorong-lorong bersih yang nyaman untuk berjalan kaki. Tempat yang terletak di kawasan 13 Ulu ini rencananya akan menjadi salah satu tujuan wisata religi di Palembang.
Palembang memiliki beberapa perkampungan Arab. Namun, Al Munnawar adalah perkampungan tertua. Hingga kini, mereka masih memiliki rumah-rumah kuno yang berusia lebih dari 300 tahun. Nama Al-Munawar sendiri berasal dari Habib Hasan Abdurrahman Al-Munawar, tokoh pertama yang mendiami kampung tersebut. Habib yang berasal dari Yaman ini adalah salah satu tokoh yang menyebarkan agama Islam di Palembang.
Saya datang ke sana sebagai bagian dari Festival Imlek Indonesia. Kami mengikuti Gubernur Sumsel Alex Nurdin meresmikan kampung ini menjadi tujuan wisata religi. Selain kami, kampung ini juga ramai oleh rombongan mahasiswa dari Malaysia yang sedang melakukan studi tour. Karena ramai, saya tidak sempat masuk ke dalam Rumah Batu. Sebuah rumah kuno yang di dalamnya ada tegel-tegel cantik dari Italia dan perabotan kayu antik.
Akhirnya saya memutuskan untuk masuk ke rumah panggung kayu berwarna coklat yang terletak di seberang Rumah Batu. Awalnya, saya penasaran dengan pintu kayu dengan hiasan keramik yang membatasi bagian ruang tamunya dengan bagian dalam rumah. Waktu saya meminta ijin untuk melihat dari dekat, ibu penghuni rumah menawarkan saya untuk berkeliling. Dengan bangga ia bercerita kalau kayu ulin yang menyusun rumahnya berusia ratusan tahun dan hampir seluruhnya belum pernah diganti. Ia menunjukkan lemari-lemari kayu kuno berukir. Lemari tersebut dipakai untuk menaruh barang pecah belah. Di dalamnya terdapat sebuah Al Quran berwarna coklat pudar. Katanya, halaman-halamannya dihiasi dengan emas. Berhubung di luar masih ada acara, saya buru-buru pamit. Saya agak menyesalinya sewaktu pulangnya. Mbak Ira, yang menemani kami berkata kalau pemilik rumah tadi tidak sembarangan mengijinkan orang asing masuk rumah. Apalagi memberi ijin untuk melihat Al Quran emasnya. Yah, belum jodoh. Mungkin itu pertanda saya harus balik ke sana lagi?
Yang paling menarik dari tempat ini adalah rumah-rumah di sini memiliki pintu dan jendela lebar-lebar. Di foto-foto orang yang berkunjung ke sana beberapa tahun lalu, semuanya bernuansa putih atau coklat kusam. Saat ini, pintu dan jendela tersebut berubah menjadi warna-warni. Saya, Gana, dan Innayah yang baru pertama datang ke tempat ini selalu berhenti di setiap pintu untuk memoto. Atau meminta orang lain memoto kami.
Bangunan favorit saya adalah masjid yang letaknya di ujung kampung. Masjid ini berwarna putih dan biru cerah. Dari samping masjid, kita bisa menikmati kapal-kapal yang lalu lalang di Sungai Musi. Masjid ini punya teralis berbentuk kubah yang kuno. Karena tempat ini sejuk, saya betah berlama-lama duduk didalamnya seusai salat duhur.
Kalau suatu saat nanti teman sempat berkunjung ke Kampung Al Munnawar, kalian harus mencicipi makanan bercitarasa Arab. Kami mencoba nasi minyak yang ditemani dengan sambal mangga, gado-gado dari timun, dan daging mirip rendang tapi rasanya manis. Rasanya enak sekali. Nasi minyak tadi kaya rempah-rempah dan ada sedikit rasa manis dari kismis juga nanas. Saya sampai nambah!
Selain makanan dengan rasa Arab, datang ke tempat ini belum lengkap tanpa minum kopi khas Kampung Al Munnawar. Kopi ini ditanam di daerah Semendo. Penduduk lokal menyajikan kopi di gelas-gelas kecil. Untuk yang tidak menyukai rasa pahit, kopi ini bisa diminum dengan susu kental manis. Kami minum kopi sambil duduk-duduk di depan sebuah rumah berwarna biru di tepi Sungai Musi. Kata Yayan, blogger pemilik omnduut.com, rumah itu pernah dipakai syuting film “Ada Surga di Rumahku”. Weuw. Tahun lalu saya punya bukunya dan penasaran pengen ke kampung di tepi Sungai Musi. Ternyata, saya bisa sampai di sana secara tidak sengaja. Tapi saya kurang yakin dengan kata Yayan. Di samping rumah yang ia maksud, juga ada rumah lain berwarna biru. Di sampingnya terdapat spanduk operator umroh dengan foto Ustadz Al Habsi—tokoh dalam novel tadi. Sepertinya lebih meyakinkan kalau rumah kedua yang ada di film.
Ada dua acara untuk berkunjung ke Kampung Al Munnawar. Yang pertama, menyebrangi Jembatan Ampera kemudian masuk kampung lewat jalan Kh A Azhari. Itu jalur yang kami lewati. Sayangnya, jalan ini sempit. Mobil yang berhenti di mulut gang bisa membuat jalanan macet. Cara kedua lewat Sungai Musi. Dermaganya tepat ada di samping masjid.
Lalu, jika suatu saat teman berkunjung di tempat ini, ingatlah sopan santun. Rumah-rumah di Kampung Al Munnawar masih dihuni. Jika ingin masuk kedalamnya, minta ijin terlebih dahulu. Termasuk jika ingin memoto. Karena penduduk masih memegang adat Arab, gunakanlah baju yang tertutup. Saya sengaja memakai baju panjang untuk menghormati penduduk lokal. Supaya tidak terlihat aneh jika bertemu perempuan-perempuan yang tinggal di tempat ini. Mereka memakai gamis dan kerudung lebar. Aih, sepertinya kunjungan saya terlalu singkat. Masih ingin rasanya menginap semalam di rumah penduduk untuk ngobrol tentang keseharian masyarakat di kampung Al Munnawar. Kami masih harus melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat wisata bersejarah lain di Palembang. Tunggu cerita tentang rekomendasi makan dan wisata Palembang di www.kotakpermen.com ya?
Tulisan ini merupakan lanjutan dari Merahnya Festival Imlek Indonesia di Palembang
satu kata
BalasHapusitu bersih banget yak
hehe
Iya... Seru buat jalan sore2.
Hapuskampung ini jadi terlihat muda..
BalasHapusiih jadi pengen langsung beli tiket ke Palembang he.. he..
aku iri mbak pengen ikut blusukan di ditu
Mbak dulu pernah ke sana sebelum renovasi ya? Seru dong. Jadi bisa lihat perbedaannya kalo ke sana lagi.
HapusUnik banget ya itu. Walaupun perkampungan arab tapi desain tempat tinggalnya tetep khas daerah situ. \:D/
BalasHapusIni kayaknya sudah bukan arsitektur palembang asli. Tapi emang seru tempatnya. Rumah2nya masih terawat
HapusAku selalu suka sama bangunan-bangunan lama gini, desain-desainnya juga. Wah ini kalo di Sby kayak kampung ampel gt, cuma masi kental ini utk bentuk bangunannya.
BalasHapusSering dengar kampung ampel, belum pernah ke sana malah. Aku inget Kotagede pas ke sini. Cuma lebih rapi karena habis diperbaiki
HapusPengalaman yang asik ya, bisa berkunjung ke kampung Al-Munnawar, dulu waktu SD aku ke Palembang cuma numpang foto di jembatan ampera sama makan pempek :D
BalasHapusduh semakin tertarik untuk mengunjungi palembang dan mampir kesini :3
BalasHapuswarnanya gimana gitu, aku suka karena gak ngejreng, gak kayak kampung warna-warni di Malang
BalasHapusbersih juga dan ada makanan enak... mantap pokoknya
keren euy, begini dong pemerintah daerah jadiin suatu tempat jadi objek wisata. apalagi ini objek wisata religi :))
BalasHapusrumah-rumah di sana kayaknya bisa jadi latar foto yang instagram-able ya :D
Bangunannya membumi banget ya Mbak. Baca namanya jadi inget apotikna Mbak ku. Sama namanya, tapi sekarang udah tutup
BalasHapusWih asik banget mbak jalan-jalan. Dan bangunannya semuanya unik gitu ya.
BalasHapusFoto-fotonya bersih mbak, cling di mata hhehe
Makasihhh... Jadi pengen jalan-jalan lagi biar punya foto bagus
HapusKeren ya kampung Arab tapi masih bisa menjaga kelestarian rumah kuno hingga ada yang 300 tahun, keren banget.
BalasHapusIya. Aku aja masih pengen ke sana lagi.
HapusAku pas ke Palembang pengen ngunjungi ini. Plus Kampung Kapitan. Tapi ternyata waktunya ga cukup. Pengen suatu hari balik lagi ke sini.
BalasHapusKampung kapitan ternyata nggak sekeren yang dibilang orang-orang sekarang.
HapusWah sepertinya harus jalan-jalan kemari deh!... Baru tahu kalo di palembang ada kampung arab semacam ini!...
BalasHapusMudah2an kesampaian deh!...
Amin deh.....
Hapussaya ngiler sama makanannya...... enak banget kayake..... kampungnya keren ya.... terlihat asri banget.... :D
BalasHapusIyaaa... Bersih banget
HapusWarbiasah, tempatnya itu lho, bersih banget. Untuk jalan sore ataupun pagi aku rasa cocok :)
BalasHapusSama, aku juga suka sama pintu2nya, keren gitu dan terlihat di pandangnya :)
Dan yang terakhi aku pengen banget itu sama Jeruknya, aku yakin manis itu..hehe
Jeruk mah ada di mana-mana. makanannya yang belum tentu ada di tempat lain.
BalasHapusIya juga ya...
BalasHapusMayoritas rumah warganya punya jendela sama pintu rumah yang gak biasa,,,besar dan lebar semua...
kamu gak lirik ke pria arab di sana kemaren :D
BalasHapusEh itu seru bangett.... Jadi pengen maen ke Palembang dehhhh
BalasHapus