Sewaktu membuka jendela kamar, saya langsung disuguhi lanskap kota dikepung pegunungan hijau dan lautan. Pemandangan dari lantai 9 Hotel Santika Palu tadi sangat menggoda. Gatal rasanya ingin cepat-cepat berkeliling. Tapi saya teringat kalau tujuan pertama datang ke Palu untuk menghadiri Festival Literasi. Jadi, jalan-jalan merupakan prioritas kedua setelah acara. Untung saja Kota Palu itu kecil, sehingga saya bisa mencuri-curi waktu untuk mengelilinginya.
Lokasi yang pertama saya datangi adalah Maestro di Jalan MT Haryono. Sebuah restoran yang menjual aneka olahan cokelat, ice cream, dan pizza. Awalnya saya penasaran karena seorang teman menyebut tempat menjual ice cream paling enak di Palu. Saya sempat datang ke Maestro dua kali. Yang pertama siang hari di tengah istirahat makan siang festival. Kota Palu itu panasnya bikin kulit lumer. Bikin ngidam minuman dingin pokoknya. Di sana saya juga membawa air minum ke mana-mana agar tidak dehidrasi.
Saya memesan lava cake dengan ice cream kelapa. Harga satu porsi cake cokelat dengan lumeran coklat didalamnya dan satu scoop ice cream itu 35.000. Kalo menurut saya sih, cakenya terlalu manis. Ice cream kelapanya biasaaa banget. Kali kedua ke sana, saya mencoba rasa lain. Beberapa rasanya standar. Tapi yang rasa green tea (atau mint ya? Lupa. Pokoknya warnanya ijo) enak rasanya. Harga satu scoop ice cream Rp. 18.000. Tempat ini lumayan buat makan siang atau malam. Ada banyak pilihan menunya. Mulai dari makanan luar seperti pizza dan burger sampai makanan tradisional seperti kaledo. Pengen nyobain brownis dan kue cokelatnya. Apa daya mulut sudah penuh makanan manis.

Hari lain, saya bela-belain bangun pagi sebelum acara untuk melihat-lihat pinggiran kotanya. Rute pertama yang saya datangi adalah menyusuri pantai. Ada tempat yang disebut: masjid terapung. Masjid mungil yang cantik ini tidak benar-benar terapung. Ia berada di atas tiang-tiang balok di tepi pantai. Pengunjung harus berjalan lewat jembatan untuk menuju ke sana. Tempat ini asyik untuk jalan-jalan pagi atau sore. Jalannya lebar dan kita bisa menikmati pemandangan teluk dan bukit-bukit. Entah kenapa langit dan lautnya berwarna biru keabu-abuan waktu saya berada di sana. Sendu gitu.

Pergi ke Palu belum lengkap tanpa numpang foto di dekat Jembatan Palu IV. Selain warna kuningnya horee banget untuk latar foto-foto, jembatan yang kerap disebut Ponulele ini unik. Dia menjadi jembatan ketiga di dunia yang dibuat dengan konstruksi melengkung. Yes. Akhirnya dapat juga foto dengan Baba beruang di landmark Kota Palu. Kami kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri pantai. Ada prasasti besar dari batu. Namanya Prasasti Palu Nomoni. Katanya sih tempat tadi ramai dengan orang berjalan-jalan setiap sore. Mungkin semacam ruang publik? Cocok sih.
Sebenarnya, kami ingin melanjutkan perjalanan ke arah Batu Gantung. Katanya di sana ada batu raksasa tempat melihat Kota Palu dari ketinggian. Sayang, sudah waktunya kembali ke festival.
Saya akhirnya kesampaian mencicipi makanan khas Palu yang enak di restoran Heni Putri Kawaili. Letaknya di tepi Pantai Talise. Saya datang ke tempat ini malam hari bersama dengan Maman Suherman dan teman-teman Motor Pustaka, Mandar. Awalnya, kami berniat naik taksi dari kota. Entah kenapa semua taksi yang lewat selalu penuh. Akhirnya kami mencegat angkot kosong. Si bapak tukang angkot bersedia mengantarkan kami ke restoran tersebut.
Namanya kutu buku ya pasti ngobrol seputar buku. Sepanjang perjalanan kami bercerita tentang rendahnya minat baca di Indonesia. Saya pernah beberapa kali bertemu pekerja profesional dari Belanda dan New Zealand. Mereka di kesempatan yang berbeda bercerita kalau di negerinya orang bisa menilai pekerjaan atau kepribadian seseorang dari buku-buku yang ada di ruang tamunya. Di Indonesia, susah sekali melakukan hal tersebut. Karena tidak banyak orang yang memiliki banyak buku. Sedih ya? Untung saja kami punya banyak teman yang membuka taman baca atau melakukan donasi buku. Semoga ada lebih banyak orang membaca buku di Indonesia.
Yak, balik lagi ke makanan. Restoran Heni Putri Kawaili menyediakan macam-macam masakan Palu. Ada uta kelo atau sayur daun kelor yang dimasak dengan santan. Kalau teman-teman pernah mencoba masakan bobor bayam khas Yogya. Rasanya mirip seperti itu. Manis. Cuma bayamnya diganti kelor. Kalau di sini disantap dengan sambal asin yang isinya ikan-ikan teri mini dan kacang goreng.
Saya rekomendasikan sekali tempat ini. Hampir semua menunya enak. Saya paling suka cumi bakarnya. Udang gorengnya juga renyah sekali. Entah kenapa, makan di sini seperti menikmati masakan rumahan yang diolah oleh tangan yang terlatih memasak. Saya sempat mencicipi es kelapa sirsak dan es buah Nagoya. Yang kedua enak dan manis. Rasanya mirip es teler. Bersantan, ada nangka, kacang tanah berlapis gula, nangka, agar-agar dan alpukat didalamnya.
Kami semua kekenyangan gara-gara mencicipi beragam menu. Sewaktu pulang, sopir angkot tadi masih menunggu kami. Ia kemudian menjelaskan alasan menolak ajakan makan kami. Dia bilang anak dan istrinya di rumah. Dia tidak ingin makan enak sendirian tanpa mengajak anak dan istrinya. Bapak yang baik.
Sebenarnya, masih banyak tempat yang ingin saya kunjungi. Seperti penjual tenun donggala di Jalan Mangga. Tapi sepertinya lebih afdol kalo membelinya langsung di penenunnya langsung. Artinya? Harus balik ke sini nih? Amin deh. Saya masih punya mimpi melakukan perjalanan darat mengelilingi Sulawesi. Semoga kelak bisa kembali ke sini.
Oh iya, sebelumnya saya menulis tentang Festival Literasi. Simak serunya bertemu pegelola taman bacaan, penulis, dan pecinta buku dari Aceh sampai Papua di sini
Asik banget ya Kak punya kesempatan buat keliling kota Palu, pasti suatu perjalanan yang menyenangkan :D
BalasHapusNgomongin eskrim jadi pengen -.-
Iyaaa... Kota mana pun selalu menyenangkan untuk dijelajahi.
HapusKayaknya asyik ya perjalanannya. Jadi ngiler liat photo makanannya. Btw, salam buat baba beruang mbak..imut banget.
BalasHapusCatet aja nama restorannya. Kalo suatu saat ke palu, recommend banget
HapusOk aku ga diajak
BalasHapusJadi, kapan bikin perjalanan darat dari Makassar sampai Palu?
Hapuswaah jadi pengen ke Palu (lagi). waktu itu saya bersama rombongan DRE menuju pusat laut Donggala. Otomatis melewati jembatan kuning dan masjid terapung ...
BalasHapusPalu hanya transit ihik ihik ihik
BalasHapusKami masuk kota palu jam 9 malam langsung makan di kaledo stereo lalu hotel santika dan jam 6 pagi sudah meninggalkan kota palu menuju majene.
Palu kata nya sangat cantik
Seru banget cerita keliling di palu. Bisa jadi referensi, kalau-kalau suatu hari nanti kesana. Btw suka sama foto-fotonya. keren ey.
BalasHapusMasjid terapungnya bikin ngiriii...
BalasHapusJembatan kuningnya juga lucu banget yak..kontras dengan alam sekitarnya. Wah, ternyata masih banyak tempat yang menunggu dikunjungi...
Seru banget nih Mbak bisa ke Palu, cuacanya panas kayak di kawasan-kawasan Indonesia Timur pada umumnya ya?
BalasHapusEh jembatannya cantik yakkk..Belum pernah ke Palu sama sekali. Cuma sampai Makassar aja. Hehehehe
BalasHapusBubur kelor itu yg cukup unik. Di sana ada MT Haryono juga ya (inget Pancoran 😁 )
BalasHapusPalu kota yang asik buat liburan karena dapat view pantai dan gunung. Btw Maestro dulu terkenal dengan pizza-nya tapi setelah ada Pizza Hut jadi jarang ke sana deh. Next time coba makan sup ubi dan kaledo, mba.
BalasHapusIndonesia timur itu selalu menggoda untuk di jelajahi yaa
BalasHapus