Sabtu, 22 Oktober 2016

Bertukar Cerita dengan Pecinta Buku Di Kota Palu


Konon katanya, tingkat baca di Indonesia itu rendah. Ada banyak alasannya, mulai dari harga buku yang mahal, sampai sulitnya mendapatkan buku di luar Pulau Jawa. Di tengah-tengah masalah tadi, ada orang-orang yang berusaha mengenalkan pentingnya membaca. Caranya beragam, mulai dari membuka taman bacaan atau melakukan donasi buku agar lebih banyak komunitas yang terjangkau buku. Kali ini, saya beruntung bertemu beberapa diantaranya pada tanggal 17 hingga 20 Oktober 2016 lalu.

Saya berkumpul dengan para pegiat literasi pada Peringatan Hari Aksara Internasional. Kantor Gubernur Palu yang menjadi pusat kegiatannya berubah oleh tenda yang menjual beragam kerajinan yang dihasilkan oleh berbagai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dari Aceh sampai Papua. Ada beragam olahan makanan, peralatan rumah tangga dari barang bekas, kain-kain cantik, hingga perhiasan.


Saya sempat mampir dan berkenalan dengan beberapa peserta pameran. Ada pengelola Sekolah Lipu yang mendampingi Masyarakat Adat Tau Taa Wana untuk belajar. Sekolah-sekolah ini terbentuk karena masyarakat yang tinggal di hutan tersebut kerap ditipu saat berinteraksi dengan pihak luar. Para pengepul damar, rotan, dan hasil hutan lain kerap mencurangi Suku Tau Taa Wana yang tidak bisa berhitung dan menulis. Mereka kemudian ingin belajar berhitung, membaca, dan menulis agar dapat hidup lebih layak. Saya jadi penasaran ingin melihat langsung seperti apa cara belajar yang mereka pakai. Katanya, sekolah ini mengajak murid-muridnya belajar tentang alam sekitarnya. Bahkan, sekolah bisa berpindah ke kebun saat musim panen. Supaya si anak bisa tetap membantu orangtuanya di ladang.


Selain pameran, ada banyak sesi workshop seputar kegiatan literasi. Sesi berbagi cerita pertama menghadirkan perwakilan dari 1001 buku, Mata Aksara, dan Majalah Pelangi. Awalnya, ketiganya bercerita tentang bagaimana media sosial membantu komunitasnya dikenal banyak orang dan mengumpulkan donasi. Namun, sesi tersebut berubah menjadi tukar cerita seputar mengelola taman bacaan. Mereka membahas tentang sulitnya mendapatkan bacaan yang baik di pedalaman. Juga bagaimana cara mengajak pengunjung meramaikan sebuah taman bacaan. Ternyata, beberapa taman bacaan yang ramai awalnya tidak mengajak orang untuk membaca buku. Mereka memilih untuk membuat kegiatan yang menarik orang supaya datang. Seperti kelas sulap, wifi gratis, hingga mendongang. Lama kelamaan, orang-orang datang untuk membaca buku karena di tengah kegiatan-kegiatan tersebut si pengelola taman bacaan mulai memperkenalkan pentingnya membaca buku.


Ada juga sesi kepenulisan bersama Gola Gong.  Pengarang yang sudah menerbitkan 128 buku ini berbagi tentang proses pembuatan bukunya. Mas Gong menceritakan tahapan pembuatan novel terbarunya: Gelisah Camar Terbang sebagai bahan. Penulisan novel tersebut dimulai karena Mas Gong terusik mendengar cerita malang para Tenaga Kerja Perempuan di Taiwan. Ia kemudian tertarik untuk membuat novel berdasar kisah-kisah sedih tersebut. Menurut Mas Gong, novel yang baik harus ditulis berdasar riset yang kuat. Ia sendiri menghabiskan waktu satu tahun dan 3 kali berkunjung ke Taiwan untuk menyelesaikan buku tersebut.

Mas Gong memulai pembuatan novelnya dengan membuat premis: rangkuman sederhana dari calon novelnya. Premis tersebut harus mengandung tokoh, alur, lokasi, dan konflik. Ia kemudian mengembangkannya menjadi daftar isi. Daftar isi tersebut berguna sebagai peta bahan apa saja yang ia perlu dapatkan selama riset.  Barulah, ia memikirkan dialog, alur, konflik, seting, waktu, karakter, dan gaya bahasa yang akan digunakan dalam novelnya. Kata Mas Gong, menulis itu tidak sekali jadi. Butuh revisi berkali-kali sebelum menjadi cerita yang menarik. Biasanya, ia meminta sang istri untuk membaca dan memberi saran sebelum menyerahkannya kepada penerbit. Novel Gelisah Camar Terbang sendiri ia revisi delapan kali sebelum menyerahkannya kepada penerbit.

Ada banyak sekali acara seputar buku dan mengelola taman bacaan di sana. Sesi yang paling menarik bagi saya adalah workshop tentang teknik mendongeng bersama Kak Cahya. Sebenarnya, sesi ini ditujukan untuk pengelola Taman Bacaan. Agar mereka punya keahlian mendongeng yang bisa dipraktekkan untuk membuat kegiatan. Tapi, sebelum acara dimulai, ada puluhan anak SD datang ke tenda workshop. Kak Cahya kemudian mengawali bagiannya dengan mendongeng yang sebenarnya tidak ada di agendanya. Ia bercerita tentang Becky bebek yang berteman dengan Cip-cip si anak ayam. Sebenarnya ceritanya sangat sederhana. Tapi, Kak Cahya bisa menguasai penontonnya sehingga anak-anak tadi terpukau. Ia mengajak penontonnya berinteraksi lewat menyanyi bersama dan tanya jawab.



Banyak sekali kenalan baru yang saya temui di sini.  Salah satunya Kang Maman. No Tulen di Indonesia Lawak Club. Ia pecinta buku yang kerap mepromosikan rekan-rekan yang memiliki taman bacaan di daerah terpencil. Kang Maman sendiri jatuh cinta pada tulisan karena merasa mendapat banyak manfaat dari buku. Salah satunya, membantunya berpikir cepat. Di Indonesia Lawak Club, tim kreatif hanya membuat guide untuk para panelis. Biasanya, para panelis berimprovisasi memasukkan banyak hal yang tidak ada di guide awal. Kang Maman sebagai No Tulen harus bisa merangkum banyak informasi dalam waktu cepat. Ia bisa melakukan hal tersebut karena memiliki kebiasaan banyak membaca.

Ngobrol-ngobrol tentang kecintaannya dengan buku, saya salut lo dengan abang satu ini. Dia sangat sibuk. Saya sempat melihat jadwalnya dalam sebulan. Ia bisa meloncat ke beberapa propinsi dalam seminggu untuk acara yang berbeda-beda. Dan ,dia masih punya energi untuk menulis! Tiba-tiba saya malu karena membandingkan dengan diri saya sendiri yang malas menyelesaikan draf-draf buku bukan pesanan.



4 komentar :

  1. Jadi pengen baca buku terbarunya mas Gola Gong deh..:) nice post mbak..:)

    BalasHapus
  2. Membaca sejak dini perlu digiatkan untuk kemajuan bangsa. Eh, ada mas Gola gong ternyata. Jadi penasaran dengan novel barunya. Semoga cepet rilis. Oya, semangat mbak nulisnya, hahaha...#akusendirimalas #nyemangatidiri

    BalasHapus
  3. Ternyata ada Festival Literasi juga tho di Palu, beritanya informatif nih, Mbak. Mas Gola Gong sudah melanglang ke mana-mana berbagi ilmu menulisnya, keren!

    BalasHapus
  4. gajah mati meninggalkan gadingnya, harimau meninggalkan kulitnya, lah kalau kita .... ya kudu ninggalinn karya kita lah biar kita terus hidup sepanjang masa

    BalasHapus