Sejak beberapa waktu lalu, saya ingin datang ke Alun-alun Indonesia untuk berbelanja pernah- pernik unik buatan Indonesia. Saya akhirnya menyempatkan datang karena Alun-alun Indonesia sedang menggelar acara “Meet The Makers”. Penasaran ingin melihat langsung para perajin yang mempraktekkan proses pembuatan karyanya. Hingga tanggal 30 Oktober, pengunjung bisa melihat demo pembuatan batik, pengolahan kain dari kulit kayu, hingga pembuatan keramik di sini.

Saya bertemu dengan Pak Harno dari Desa Pager Jurang, Bayat, Jawa Tengah. Ia datang bersama istri dan anaknya yang membuat keramik dengan teknik putaran miring. Istri Pak Harno kemudian menyiapkan tanah liat yang dipakai untuk membuat keramik. Ia membuat bulatan-bulatan seukuran telapak tangan. Bulatan tersebut kemudian ia taruh di tengah roda dari kayu. Tangan dan kakinya kemudian dengan lincahnya menggerakkan roda tersebut. Dalam waktu kurang dari semenit, gumpalan tanah liat tersebut berubah bentuk menjadi mangkok, gelas, atau celengan. Untuk memisahkan tanah liat yang sudah terbentuk, para perajin menggunakan senar sebagai pisau. Senar tersebut harus ditarik dengan cepat supaya tanah liat yang sudah terbentuk tidak pecah.
Pak Harno menawarkan agar saya mencoba membuat keramik sendiri. Ia meminjamkan celemek supaya baju saya tidak kotor oleh tanah liat. Ia dan istrinya membantu saya memutar piringan. Ternyata, proses pembuatan keramik tidak semudah kelihatannya. Keramik yang saya bentuk berkali-kali bengkok karena tangan saya belum terbiasa dengan gerakan memutar tanah liat.
Puas mencoba membuat keramik, saya berkeliling untuk melihat produk peserta “Meet the Makers”.

Saya terpesona melihat benda-benda buatan tangan yang dipamerkan. Ada tas-tas anyaman cantik dari rotan yang dibuat perajin dari Kalimantan Timur dan kain ikat warna-warni. Juga ada lembaran kulit kayu milik perajin tas dari Sulawesi Tengah. Dahulu, sebelum kain dari katun dikenal, penduduk Sulawesi Tengah menggunakan baju dari kulit kayu mulberry atau beringin. Sebuah lembaga kemudian mengajak masyarakat membuat ulang kain-kain tersebut menjadi tas-tas cantik. Seperti ini contohnya.
Saya sempat berlama-lama melihat boneka, dompet, dan kalung warna-warni yang dibuat oleh Lawe. Produsen pernak-pernik berbahan tenun ini memiliki tempat pameran di Yogyakarta. Mereka mengajak sekelompok penenun perempuan mengubah kain tenun tradisionalnya menjadi barang pakai. Sekarang, produk Lawe bisa dinikmati dalam bentuk aksesoris perempuan dan hiasan interior rumah.

Masih banyak lagi produk kerajinan tangan yang detailnya bisa membuat pengunjung kagum. Ada kain-kain tenun corak khas dari Sawu, ikat warna-warni, hingga batik yang digambar dengan halus. Membeli produk tersebut berarti menambah penghasilan perajinnya. Bukankah hal tersebut meningkatkan perekonomian lokal? Berlama-lama menonton benda indah tersebut membuat saya jadi ingin datang langsung ke tempat-tempat kerajinan tersebut dibuat. Sepertinya seru bisa memfilemkan proses pembuatan dan sejarah mereka.
Keren banget kaq barang2 hasil kerajinannya....:)
BalasHapusAku butuh songket kak ....
BalasHapusBtw aku pernah mencoba bikin gerabah di kasongan dan sama aja meleot meleot
sepakat kalau proses pembuatan dan sejarah difilimkan mba. Kalau kita tau proses pembuatan sama sejarahnya jadi bisa lebih menghargai lagi hasil karya para perajin :)
BalasHapus