Mata Aksara kerap
mengadakan serangkaian lomba dan kegiatan untuk menarik pengunjung dari anak-anak
di sekitar. Terutama setiap libur sekolah tiba. Mereka mengajak anak-anak
memainkan permainan tradisional seperti lompat karet, main kelereng, sundamanda, dakon, hingga enggrang. Sesekali, Mata Aksara menggelar lomba menggambar dan melukis untuk anak.
Untuk melengkapi
kampanye membaca, Mata Aksara juga mengadakan kelas penulisan. Agustinus Wibowo
si travel writer, wartawan koran lokal, hingga blogger pernah menjadi
pematerinya. Sesekali mereka mengadakan
diskusi tentang pentingnya mengenalkan bacaan kepada anak-anak. Entah kenapa,
meski undangan acara ini ditujukan kepada para orangtua, jarang sekali ada
bapak-bapak hadir. Apakah itu pertanda kaum ibu lebih peduli kepada pendidikan
anak?
Mbak Heny dan Mas
Adi meyakini jika seorang ibu rumah tangga perlu kegiatan positif dan banyak
belajar. Supaya mereka tidak
menghabiskan waktunya untuk bergosip atau menonton acara TV yang tidak bermutu.
Bukankah seorang ibu harus cerdas supaya bisa mendidik anaknya dengan baik?
Mata Aksara kemudian mengembangkan kegiatannya untuk ibu-ibu di sekitarnya.
Rata-rata pesertanya merupakan ibu rumah tangga dari golongan menengah ke
bawah. Mereka belajar dari buku tentang cara membuat ketrampilan tangan, membatik,
merajut, hingga membuat aksesoris. Rencananya, kelas ibu-ibu ini akan berlanjut
dengan pelatihan kewirausahaan. Supaya pesertanya bisa memiliki penghasilan
tambahan.
Saya pernah
bergabung di kelas membatik dan membuat aksesoris mereka. Ibu-ibu yang saya
temui menyukai kegiatan tersebut. Selain mendapat teman, mereka punya kesibukan
untuk mengurangi kejenuhan mengurus rumah. Beberapa ibu bahkan mengaku
aktivitas tersebut membuat mereka lebih pede dan lebih bisa menyampaikan
pendapat.
Lama kelamaan,
Mata Aksara semakin berkembang. Karena terlalu keasyikan dengan mengajak orang
membaca, Mas Adi dan Mbak Heny bahkan kerap memercayakan operasional kos-kosan
dan toko material yang menjadi sumber pendapatan mereka kepada orang lain.
Salah satu ruang
kesukaan saya ada di lantai 3. Di sini, ada kebun sayuran organik tempat Mata
Aksara praktek buku. Pengelola Mata Aksara mempelajari cara membuat pupuk,
sistem pengairan, dan mencocok tanam dari buku. Kadang, saat menanam atau
memanen sayuran, mereka melibatkan pengunjung. Pengunjung bisa belajar tentang pertanian
organik sambil bermain air dan tanah.
Kini, Mata Aksara
memiliki lebih dari 4000 buku. Kebanyakan merupakan donasi dari berbagai pihak.
Ada kalanya mereka menyumbangkan koleksi lama ke perpustakaan lain yang lebih
membutuhkan. Sekali waktu, Mata Aksara membawa motor perpustakaannya ke
beberapa SD dan perpustakaan dusun di seputaran Sleman. Mereka meminjamkan
koleksi bukunya supaya pengunjung perpustakaan-perpustakaan bisa menikmati buku
yang beragam. Semoga saja kegiatan mereka kelak menular ke
perpustakaan-perpustakaan lain yang mereka bina. Termasuk memberi inspirasi
pengunjungnya untuk melakukan hal serupa. Supaya lebih banyak orang-orang yang
jatuh cinta dengan buku. Bukankah perubahan sosial berawal dari perubahan cara
berpikir?