Senin, 25 Januari 2016

Buku yang Menyirami Bibit Perubahan





Saya percaya orang yang banyak membaca buku akan memiliki lebih banyak pilihan untuk memperbaiki hidupnya. Sayangnya, di Indonesia budaya membaca masih rendah. Buku itu benda mati, ia membutuhkan orang dewasa untuk mengenalkan kesenangan membaca pada anak-anak. Hingga kelak, mereka tumbuh menjadi menjadi pecinta buku. Untungnya, perlahan-lahan muncul perpustakaan-perpustakaan komunitas yang menyediakan ruang terutama bagi anak untuk berkenalan dengan buku.


Salah satu taman bacaan favorit saya adalah Mata Aksara. Perpustakaan yang terletak di Desa Umbulmartani, Yogyakarta ini dikelola oleh sepasang suami-istri. Awalnya, Heny Wahdatur Rahmah dan Nuradi Indra Wijaya merasa sayang jika ratusan buku yang selesai dibaca kedua anaknya tak tersentuh. Padahal, bisa jadi buku tadi jauh lebih bermanfaat jika bisa dipergunakan oleh anak-anak lain. Mulailah mereka membuka perpustakaan di pertengahan tahun 2010.



Mata Aksara kerap mengadakan serangkaian lomba dan kegiatan untuk menarik pengunjung dari anak-anak di sekitar. Terutama setiap libur sekolah tiba. Mereka mengajak anak-anak memainkan permainan tradisional seperti lompat karet, main kelereng, sundamanda, dakon, hingga enggrang.  Sesekali, Mata Aksara menggelar lomba menggambar dan melukis untuk anak.


Untuk melengkapi kampanye membaca, Mata Aksara juga mengadakan kelas penulisan. Agustinus Wibowo si travel writer, wartawan koran lokal, hingga blogger pernah menjadi pematerinya. Sesekali mereka  mengadakan diskusi tentang pentingnya mengenalkan bacaan kepada anak-anak. Entah kenapa, meski undangan acara ini ditujukan kepada para orangtua, jarang sekali ada bapak-bapak hadir. Apakah itu pertanda kaum ibu lebih peduli kepada pendidikan anak?

Mbak Heny dan Mas Adi meyakini jika seorang ibu rumah tangga perlu kegiatan positif dan banyak belajar. Supaya mereka  tidak menghabiskan waktunya untuk bergosip atau menonton acara TV yang tidak bermutu. Bukankah seorang ibu harus cerdas supaya bisa mendidik anaknya dengan baik? Mata Aksara kemudian mengembangkan kegiatannya untuk ibu-ibu di sekitarnya. Rata-rata pesertanya merupakan ibu rumah tangga dari golongan menengah ke bawah. Mereka belajar dari buku tentang cara membuat ketrampilan tangan, membatik, merajut, hingga membuat aksesoris. Rencananya, kelas ibu-ibu ini akan berlanjut dengan pelatihan kewirausahaan. Supaya pesertanya bisa memiliki penghasilan tambahan.


Saya pernah bergabung di kelas membatik dan membuat aksesoris mereka. Ibu-ibu yang saya temui menyukai kegiatan tersebut. Selain mendapat teman, mereka punya kesibukan untuk mengurangi kejenuhan mengurus rumah. Beberapa ibu bahkan mengaku aktivitas tersebut membuat mereka lebih pede dan lebih bisa menyampaikan pendapat.

Lama kelamaan, Mata Aksara semakin berkembang. Karena terlalu keasyikan dengan mengajak orang membaca, Mas Adi dan Mbak Heny bahkan kerap memercayakan operasional kos-kosan dan toko material yang menjadi sumber pendapatan mereka kepada orang lain.  


Salah satu ruang kesukaan saya ada di lantai 3. Di sini, ada kebun sayuran organik tempat Mata Aksara praktek buku. Pengelola Mata Aksara mempelajari cara membuat pupuk, sistem pengairan, dan mencocok tanam dari buku. Kadang, saat menanam atau memanen sayuran, mereka melibatkan pengunjung.  Pengunjung bisa belajar tentang pertanian organik sambil bermain air dan tanah.


Kini, Mata Aksara memiliki lebih dari 4000 buku. Kebanyakan merupakan donasi dari berbagai pihak. Ada kalanya mereka menyumbangkan koleksi lama ke perpustakaan lain yang lebih membutuhkan. Sekali waktu, Mata Aksara membawa motor perpustakaannya ke beberapa SD dan perpustakaan dusun di seputaran Sleman. Mereka meminjamkan koleksi bukunya supaya pengunjung perpustakaan-perpustakaan bisa menikmati buku yang beragam. Semoga saja kegiatan mereka kelak menular ke perpustakaan-perpustakaan lain yang mereka bina. Termasuk memberi inspirasi pengunjungnya untuk melakukan hal serupa. Supaya lebih banyak orang-orang yang jatuh cinta dengan buku. Bukankah perubahan sosial berawal dari perubahan cara berpikir?


Kamis, 14 Januari 2016

Sekolah untuk anak Berkebutuhan Khusus


Waktu pertama kali datang ke Sekolah Alam Baturaden, saya tertarik dengan satu anak yang berbeda. Umurnya sekitar 9 tahun tetapi ia bertingkah seperti anak empat tahun. Saya melihatnya sedang merajuk. Seorang fasilitator membujuknya untuk membuat roket bersama murid lain. Beberapa teman sekelas berusaha menghiburnya dan mengajak merakit roket bersama.

Saya langsung membayangkan jika anak down sindrom tersebut belajar di sekolah umum. Bukannya mengajak bermain, anak lain pasti menjadikannya sasaran bullying. Bisa jadi ia akan diejek karena anak lain melihat perbedaan sebagai suatu kekurangan. Tapi tidak di sekolah alam. Murid-murid diajar berpikir kritis sehingga mereka berempati terhadap temannya yang difabel.

Beberapa waktu kemudian, saya beruntung bisa bertemu dengan Lendo Novo sang pencipta konsep sekolah alam. Ia bercerita tentang keinginannya supaya semua anak mendapat kesempatan yang sama di dunia pendidikan. Waktu kecil, Lendo Novo bermimpi bisa bersekolah bersama sang kakak. Sayang, hal tersebut tidak terlaksana karena kakaknya yang down syndrome harus masuk SLB.



Di Sekolah Alam, anak-anak yang berkebutuhan khusus mendapatkan guru bayangan. Fasilitator ini memiliki kemampuan khusus sehingga dapat mendampingi anak difabel untuk mengikuti pelajaran seperti teman lainnya. Sayangnya, konsep sekolah seperti ini hanya dimiliki sekolah-sekolah tertentu. Kebanyakan sekolah yang menerima murid difable adalah sekolah swasta berbiaya mahal. Yang belum tentu terjangkau oleh orangtua dengan pendapatan menengah ke bawah.

Pemerintah sendiri sudah mulai mengkampanyekan sekolah inklusi. Sayang kebanyakan berhenti di tingkat perundangan. Kalaupun sekolah umum menerima murid difabel, mereka tidak memiliki guru yang tahu cara berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.  


Saya jadi teringat teman saya yang tuna netra. Namanya Melisa. Waktu SD, ia mengalami low vision. Di bangku SMP, penglihatannya semakin memburuk. Dulu beberapa kerabatnya menyarankan supaya ia masuk SLB. Hal tersebut ditentang sang ibu dan dokter matanya. Mereka beranggapan Melisa pintar. Jika ia masuk SLB, ia akan kesulitan melanjutkan pendidikan tinggi. Melisa yang ingin sekolah tinggi kemudian memilih masuk sekolah umum. Yang ia tahu, SLB di tingkat sekolah menengah atas kebanyakan hanya menyediakan jurusan musik atau pijat. Sedangkan ia tertarik mempelajari bahasa.

Sebagai murid satu-satunya yang berkebutuhan khusus, Melisa harus bekerja lebih keras supaya tidak tertinggal. Gurunya yang tidak pernah mengajar murid difable kerap tidak tahu bagaimana memperlakukan murid khusus ini. Melisa hanya bisa mendengar pelajaran karena ia tidak bisa membaca papan tulis. Tiap hari ia meminjam catatan teman untuk difotokopi. Di rumah, sang ibu membacakan catatan tersebut untuknya.

Pelajarannya semakin mudah setelah ia berkenalan dengan sebuah lembaga yang menangani tuna netra. Melisa belajar menulis dengan huruf braile. Ia juga mengenal tape untuk merekam guru saat mengajar di kelas.

Menjadi anak yang berbeda kerapkali membuat Melisa harus membayar lebih. Saat ujian, ia harus membayar biaya dua kali lipat murid biasa. Guru-guru kadang menodongnya untuk membawakan makanan dengan alasan mereka meluangkan waktu lebih untuknya dibanding murid lain.

Masalah terberatnya muncul saat masuk SMA. Melisa sempat ditolak 4 sekolah umum meski nilai ebtanas murninya diatas rata-rata. Setiap wawancara, pihak sekolah menolaknya dengan alasan sudah tidak ada kursi atau mereka khawatir Melisa akan dihina murid lain. Akhirnya ia bisa masuk sebuah sekolah karena orangtuanya kenal pemilik yayasan.


Kini, Melisa yang mengambil program S2 Linguistik Terapan mulai bisa belajar di tengah-tengah mahasiswa lain. Beberapa lembaga yang mengurus Tuna Netra mengenalkannya pada teknologi yang memudahkannya belajar.  Selain itu, teman kuliah dan dosennya lebih bertoleransi kepada murid berkebutuhan khusus.

Pemerintah sendiri sudah mulai mengkampanyekan sekolah inklusi. Sayang kebanyakan berhenti di tingkat perundangan. Kalaupun sekolah umum menerima murid difabel, mereka tidak memiliki guru yang tahu cara berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.




Yuk Jadi Relawan di Pesantren Nusantara


Beberapa waktu lalu, saya dan Gugun-- suami saya pergi ke Pesantren Nusantara yang didirikan oleh Pak Munawar. Tadinya, saya mengenal beliau sebagai pengelola Sekolah Rakyat Bogor. Sebuah sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu. Sebagian besar dari 23 lokasi sekolah tersebut ada di gunung atau pelosok yang tidak terjangkau sekolah umum.

Tidak cukup dengan menjalankan Sekolah Rakyat Bogor, Pak Munawar kemudian membuka Pesantren Nusantara. Sekolah Agama yang kami datangi di daerah Beji, Depok merupakan lokasi kedua setelah Pesantren Nusantara yang ada di Caringin, Bogor. Pesantren di Beji ini baru memiliki 19 santri. Maklum, sekolah tadi usianya baru 4 bulan. Murid yang keseluruhannya laki-laki tersebut rata-rata sudah menghafal satu sampai satu setengah juz. Asalnya beragam, mulai dari dari Padang, Bima, dan seputaran Jawa. Kedepannya, pesantren berusaha supaya muridnya kelak datang dari seluruh penjuru Indonesia.

Pesantren Nusantara membiayai operasionalnya dari wakaf. Kebanyakan santrinya berasal dari golongan kurang mampu. Beberapa bahkan mantan anak jalanan. Setelah belajar selama dua tahun, mereka akan kembali ke tempat asalnya untuk mengajar agama. Selain menghapal Al-Quran, santri-santri di sana juga belajar berwirausaha. Harapannya, saat lulus nanti mereka bisa mandiri secara finansial dan menolong orang-orang di sekitarnya. Pesantren Nusantara percaya jika agama harus memiliki sisi sosial. Muslim yang baik harus bisa mengamalkan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah Nabi Muhammad mengajarkan jika manusia yang baik memiliki banyak manfaat untuk orang lain dan alam semesta? Ada yang tertarik jadi santri?

Karena saya merasa sayang jika sekadar datang, saya mengajak adik-adik di Pesantren Nusantara untuk membuat gambar tempelan dari kertas bekas. Rencananya, hiasan-hiasan ini akan dipasang di majalah dinding yang dikerjakan para santri. Deny, teman saya yang mengelola taman Bacaan Cetar juga ikut bergabung. Ia mengajak para santri membuat kotak pensil dari koran bekas. Deny juga menunjukkan foto-foto kerajinan yang ia buat dan jual. Di sela-sela menggambar, mengelem, dan mewarnai kami ngobrol tentang keseharian mereka. Ternyata beberapa santri tertarik ingin belajar menulis, membuat film, dan ketrampilan lain. Mas Munawar menawarkan kepada kami untuk melakukan kegiatan ini tiap bulan. Sebagai kegiatan selingan diluar mengaji. Ada yang mau bergabung? Hubungi saya di lutfiretno@gmail.com ya?