Jumat, 16 Desember 2016

Belanja Hore di Pasar Ular, Jakarta


Saya tertarik berbelanja ke Pasar Ular di Jakarta Utara gara-gara cerita tetangga saya. Ia sering menunjukkan baju-baju dengan label seperti Zara, Mango, H&M, atau Espirt. Katanya, ia membeli dengan harga per potongnya dibawah 50 ribu rupiah. Gimana nggak ngiler coba?

Kamis, 08 Desember 2016

Enjoy Jakarta @Hotel Morrissey


Yihaa.. kumpul-kumpul dengan blogger lain dan punya teman baru lagi. Saya mendapatkannya akhir pekan lalu saat bergabung dalam hotel tour di Morrissey, Jakarta. Kami ada di sana karena diajak mengikuti  pelatihan pembuatan video oleh Teguh Sudarisman. Pagi-pagi jam 9 kami sudah heboh memoto dan mencicipi kudapan yang disediakan oleh Hotel Morrissey. Ada coklat bertabur keripik jagung, chicken drum, dawet, sampai roti bertoping salmon. Bentuknya imut-imut dan ditata dengan bentuk cantik.

Rabu, 30 November 2016

Multitasking ala Pekerja Lepas




Saya hanya tersenyum tiap orang berkomentar pekerjaan saya menulis dan membuat film itu menyenangkan. Mereka bilang, asyik ya, bisa bekerja dari rumah tanpa perlu keluar ongkos dan tua di jalan. Katanya, saya juga tidak perlu mengeluarkan uang untuk liburan karena sering terbang ke tempat-tempat cantik di berbagai penjuru Indonesia dan dibayar untuk itu. Sayangnya, mejadi pekerja lepas tidak seenak kelihatannya. Kadang, kami harus bekerja lebih keras dan menguasai banyak keahlian untuk membayar tagihan dan punya tabungan pensiun.

Minggu, 27 November 2016

Yuk, Tuliskan Ceritamu

Akhir pekan ini saya menghabiskan waktu untuk datang ke kelas yang diselenggarakan oleh Sisternet.  Acara bertema “Menulis Ala Jurnalis” tersebut dihadiri oleh puluhan perempuan muda dari berbagai latar belakang. Seru, selain belajar, saya mendapat bonus kenalan baru.

Saya baru tahu kemudian kalau kegiatan yang diadakan di Grha XL, Mega Kuningan tersebut merupakan bagian dari agenda rutin Sisternet. Itu semacam jejaring yang mempertemukan para perempuan. Asyiknya lagi, kegiatan Sisternet tidak sekadar kumpul-kumpul. Mereka mengadakan beragam pelatihan untuk menambah ketrampilan anggotanya. Ada workshop make-up, fotografi, hingga perencanaan keuangan. Teman-teman tinggal buka web sisternet.co.id dan cari saja kegiatan yang sesuai dengan minat kalian.

Jumat, 11 November 2016

Suatu Hari Berkeliling Kota Palu

Sewaktu membuka jendela kamar, saya langsung disuguhi lanskap kota dikepung pegunungan hijau dan lautan. Pemandangan dari lantai 9 Hotel Santika Palu tadi sangat menggoda. Gatal rasanya ingin cepat-cepat berkeliling. Tapi saya teringat kalau tujuan pertama datang ke Palu untuk menghadiri Festival Literasi. Jadi, jalan-jalan merupakan prioritas kedua setelah acara. Untung saja Kota Palu itu kecil, sehingga saya bisa mencuri-curi waktu untuk mengelilinginya.

Jumat, 28 Oktober 2016

Bertemu Para Perajin di Alun-alun Indonesia


Sejak beberapa waktu lalu, saya ingin datang ke Alun-alun Indonesia untuk berbelanja pernah- pernik unik buatan Indonesia. Saya akhirnya menyempatkan datang karena Alun-alun Indonesia sedang menggelar acara “Meet The Makers”. Penasaran ingin melihat langsung para perajin yang mempraktekkan proses pembuatan karyanya. Hingga tanggal 30 Oktober, pengunjung bisa melihat demo pembuatan batik, pengolahan kain dari kulit kayu, hingga pembuatan keramik di sini.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Bertukar Cerita dengan Pecinta Buku Di Kota Palu


Konon katanya, tingkat baca di Indonesia itu rendah. Ada banyak alasannya, mulai dari harga buku yang mahal, sampai sulitnya mendapatkan buku di luar Pulau Jawa. Di tengah-tengah masalah tadi, ada orang-orang yang berusaha mengenalkan pentingnya membaca. Caranya beragam, mulai dari membuka taman bacaan atau melakukan donasi buku agar lebih banyak komunitas yang terjangkau buku. Kali ini, saya beruntung bertemu beberapa diantaranya pada tanggal 17 hingga 20 Oktober 2016 lalu.

Saya berkumpul dengan para pegiat literasi pada Peringatan Hari Aksara Internasional. Kantor Gubernur Palu yang menjadi pusat kegiatannya berubah oleh tenda yang menjual beragam kerajinan yang dihasilkan oleh berbagai Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dari Aceh sampai Papua. Ada beragam olahan makanan, peralatan rumah tangga dari barang bekas, kain-kain cantik, hingga perhiasan.

Jumat, 19 Agustus 2016

Suatu Hari Berkeliling Bandar Lampung


Horee… jalan-jalan lagi. Kali ini tujuannya Lampung. Saya dan suami berada di sini untuk mendokumentasikan proses pemuatan film finalis Eagle Award-nya Metro TV. Karena naik pesawat pertama. berangkatlah kami pagi buta dari Pasar Minggu. Kami berangkat dari Terminal 3 yang baru jadi. Di sana, kami benar-benar jalan-jalan. Karena jarak antara tempat check in dengan Gate 16 tempat lebih dari 300 meter.

Senin, 27 Juni 2016

Menonton Mangga Golek di Kinosaurus


Bulan ini saya dan Gugun tidak pergi ke bioskop. Kami sedang tertarik untuk menonton di tempat pemutaran lain. Setelah kemarin datang ke Dapur Film dan Kineforum, giliran kami menonton di Kinosaurus. Ini kali pertama kami datang ke tempat pemutaran film yang beralaamat di Jalan Kemang Raya no 8A  tersebut. Tempatnya asyik. Di sana, orang bisa milih mau duduk di sofa, bantal besar, atau kursi. Kemarin kami bayar Rp. 50.000 per orang untuk tiketnya. Jadwal pemutaran film mereka bisa dilihat di http://www.kinosaurusjakarta.com

Sumber foto: mangoesdocumentary.blogspot.co.id
Kami datang untuk menonton film Mas Tonny yang berjudul Mangga Golek Matang di Pohon. Sebenarnya, film-film Mas Tonny diputar beberapa kali bulan ini di Kinosaurus. Kami sengaja datang tanggal 25 supaya bisa menonton bersama pembuat filmnya.

Sebelumnya, saya pernah beberapa kali menonton film Mas Tonny. Ia termasuk pembuat film yang konsisten. Tetap membuat film meski tidak ada sponsor. Beberapa filmnya yang saya tonton memiliki pendekatan yang bagus. Narasumber-narasumbernya bisa bercerita dengan sangat personal tentang diri mereka. Menonton film tadi seperti melihat buku harian seseorang.

Mangga Golek Matang di Pohon merupakan lanjutan dari film “Renita-Renita”. Tokohnya seorang waria yang bernama asli Muhammad Zein. Setelah film tersebut menang di berbagai festival, Mas Tony bertanya kepada Renita akan diapakan uang tadi. Reni bercerita kalau ia ingin pulang kampung ke Palu. Menemui orangtuanya setelah kabur selama 15 tahun.

Sumber foto: mangoesdocumentary.blogspot.co.id 
Film Mangga Golek dimulai dari kontrakan sempit tempat Renita tinggal. Disana ia dan waria lain bercakap-cakap tentang banyak hal. Mulai dari politik sampai hutang. Cerita kemudian persiapan Reni untuk pulang. Ia ditemani waria lain bernama Sasa.

Selain menjadi sutradara, Mas Tonny juga mengambil gambar dan mengedit sendiri. Film sepanjang 98 menit tersebut baru selesai tahun 2012 padahal gambarnya diambil tahun 2007. Waktu syuting, Mas Tony sama sekali tidak punya bayangan seperti apa nanti penerimaan orang tua Renita. Sejak Reni kabur, mereka hilang kontak. Untuk memunculkan cerita, perjalanan pulang tadi menggunakan kapal laut. Dalam waktu tempuh yang berhari-hari tersebut Renita bisa berinteraksi dengan penumpang lain. Mas Tony dan Reni sengaja mengajak tokoh Sasa supaya cerita terbentuk lewat percakapan bukan wawancara.

Usai menonton, saya bertanya apa yang membuat Mas Tony memutuskan untuk memfilmkan sesuatu meski ia belum memiliki sponsor. Ia menjawab kalau cerita yang ia pilih adalah hal-hal yang menarik baginya. Semua proyek pribadinya selalu diawali dari ada hal yang ia ingin orang lain tahu. Seperti film tentang sistem pertanian yang sedang ia kerjakan. Ia penasaran karena memakan beras enak yang ternyata dipanen sepuluh tahun lalu. Dahulu, penduduk di Loksado membuat benih hingga pupuk sendiri.  Setelah mereka menggunakan produk pertanian buatan pabrik, masyarakat sekitar merasa gatal-gatal.




Jumat, 24 Juni 2016

Sepenggal Kisah di Tanjung Lesung



Waktu membuat film tentang Tanjung Lesung beberapa waktu lalu, saya belajar tentang kerjakeras dari dua narasumber. Yang pertama dari pasangan berkewarganegaraan Jerman bernama Ibu Netty dan Opa Karl. Pasangan sepuh yang lama tinggal di kota besar ini ingin menghabiskan masa tuanya daerah bersuasana pantai. Mereka tinggal di villa yang menyenangkan dengan kolam renang tempat keduanya berjemur sambil minum kopi. Tiap sore keduanya jalan-jalan ke pantai. Persis seperti orang yang liburan tiap hari.

Bu Netty mendapatkan hal tersebut tidak dengan mudah. Dulu ia lahir dan besar di Bukittinggi. Karena ingin punya hidup yang lebih baik, ia memutuskan untuk merantau ke Jerman. Di sana, ia harus kerja keras karena ijasahnya di asia tidak diakui untuk bekerja di bidang kesehatan. Bu Netty harus pindah-pindah kerja dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain sambil belajar supaya bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Dia bisa menikmati hasilnya bertahun-tahun kemudian. Bisa cuti lama dan punya uang untuk berkunjung ke banyak negara. Setelah pensiun, tunjangannya pun cukup untuk hidup layak.

Ibu Netty bercerita kalau dibanding banyak negara yang ia kunjungi, Indonesia itu kaya. Tanahnya subur sehingga apa saja bisa hidup sewaktu ditanam. Tinggal orang-orangnya saja yang perlu lebih peduli. Ia beberapa kali bertemu orang-orang yang mau duit atau mau enaknya saja. Tapi mereka akan diam saja saat melihat hal yang tidak beres seperti sampah di jalan. Bagi mereka, hal tersebut bukan tanggung jawabnya. Beda dengan di Jerman. Orang-orang di sana terbiasa untuk jujur, tepat waktu, dan bersungguh-sungguh saat mengerjakan sesuatu sejak kecil. Makanya negara tadi bisa maju karena tiap orang terbiasa untuk kerja keras.


Tokoh lain yang menarik ceritanya adalah seorang pedagang ikan bernama Pak Arif. Saya menjadikannya narasumber ingin bercerita jika wisata di Tanjung Lesung memberi dampak kepada penduduk lokal disekitarnya. Penduduk mendapat pemasukan tambahan dari mengelola homestay dan menyewakan kapal untuk wisata snorkeling dan trip ke Pulau Liwungan.

Waktu ngobrol dan melihat hidup beberapa nelayan, saya sempat melihat mereka punya karakter yang sama: miskin di tengah laut yang kaya. Menjadi nelayan itu hidupnya tergantung musim ikan. Saat laut bermurah hati, nelayan panen banyak ikan. Sebaliknya, ada bulan-bulan tertentu ikan di laut susah untuk di tangkap. Sedihnya, para nelayan ini kebanyakan tidak bisa menabung. Mereka menghabiskan uangnya begitu saja ketika mendapat banyak tangkapan. Giliran musim sepi, banyak nelayan terpaksa menjual barang untuk sekadar makan. Waktu tua mereka menjadi miskin karena badannya sudah tidak kuat lagi untuk melaut.


Dulu, Pak Arif juga begitu. Sampai suatu ketika, ia tidak bisa melaut berbulan-bulan.  Saking miskinnya, ia sampai tidak punya uang untuk membeli beras. Pak Arif kebingungan karena ia tidak bisa mendapatkan pinjaman uang kepada siapapun. Ia terpaksa menitipkan anak dan istrinya di rumah mertua sampai memiliki uang untuk membeli bahan makanan.

Bosan menjadi orang miskin, memaksa Pak Arif untuk menabung. Ia dan istrinya berhemat mati-matian setiap mendapat hasil dari laut. Lama-lama, ia bisa membeli alat tangkap dan kapal sendiri. Setelah memiliki kapal, ia memutuskan untuk menjadi pedagang ikan. Kapal dan alat tangkap tersebut dijalankan orang lain dengan sistem bagi hasil. Pak Arif sekarang hidup berkecukupan. Selain menjadi pedagang ikan, ia juga punya pendapatan dari menyewakan kamar di rumahnya untuk turis dan menjual paket-paket wisata ke turis.

Semoga saja bertemu dengan mereka mengingatkan saya akan pentingnya kerjakeras untuk masa depan. Kalau anda penasaran dengan indahnya Tanjung Lesung dan orang-orang lain yang tinggal di sana, film buatan saya bisa dilihat di sini:  https://youtu.be/4KYGSTRdG_U

Selasa, 14 Juni 2016

Yuk, cari skor tinggi waktu tes IELT


Beberapa waktu lalu, saya harus mengambil tes IELTS untuk melengkapi pendaftaran beasiswa saya. Saya menargetkan untuk mendapat skor minimal 6,5 supaya bisa dipakai untuk mendaftar kuliah juga. Sebelum tes, saya sempat panik. Saya hanya punya waktu dua minggu untuk belajar Bahasa Inggris. Padahal saya sudah lebih dari satu tahun tidak menggunakan bahasa tadi. Mau tidak mau saya harus mencari cara supaya target 6,5 tadi tercapai dalam waktu singkat.



Untuk yang sama sekali buta dengan apa itu IELTS, ini ada sedikit gambaran sebelum anda mengikuti tes tadi. IELTS merupakan salah satu tes yang dipakai untuk mengukur kemampuan Bahasa Inggris seseorang. Ia memiliki skor dari 1 (bukan pemakai Bahasa Inggris) hingga 9 (ahli) untuk menentukan kemampuan seseorang. Dibagi menjadi dua: Academic dan General . Akademic itu untuk orang-orang yang ingin belajar di negara berbahasa pengantar Inggris. Soal-soalnya biasanya berhubungan dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa atau pengetahuan umum. Sedangkan General untuk orang-orang yang ingin tinggal atau bekerja di negara dengan bahasa pengantar Inggris. 

Yang pertama, saya mencari-cari buku untuk berlatih IELTS yang dikeluarkan oleh Universitas Cambridge. Untuk anda yang malas mengeluarkan uang, buku ini bisa dengan mudah didapat berkat kebaikan google. Pastikan buku yang anda download lengkap halamannya dan punya kunci jawaban sehingga anda bisa mengira-ira berapa skor yang anda dapat. Soal IELTS yang akan anda hadapi nanti polanya sama seperti yang ada di buku ini.

Karena buku tadi tebal, mengerjakan buku ini lumayan membosankan. Untuk menghilangkan bosan, saya menyelingi belajar Bahasa Inggris dengan cara lain. Yang pertama: menonton film dalam Bahasa Inggris. Ini sangat membantu untuk nanti mengerjakan soal dalam bentuk listening. Hampir tiap hari saya minimal meluangkan waktu satu jam untuk menonton film. Lumayan membiasakan diri mendengar pengucapan kata Bahasa Inggris. Jangan pernah menggunakan subtitle dalam bahasa Indonesia. Kalau anda menggunakan subtitle, pilih yang dalam Bahasa Inggris. Setidaknya hal tersebut akan memperkaya kosa kata anda. Oh iya, soal listening di IELTS itu sifatnya pemahaman kontek. Pahami dulu maksud percakapan secara keseluruhan sebelum memilih jawaban. Kadang jawaban yang salah sengaja memiliki kata-kata seperti dalam percakapan. Awalnya saya juga sempat berkali-kali terjebak.

Tiap hari saya berusaha membaca novel atau artikel dalam Bahasa Inggris untuk belajar soal dalam bentuk reading. Awalnya, tes jenis ini sulit untuk saya karena saya bukan tipe yang bisa mengingat sesuatu saat membaca sekilas. Padahal waktu yang digunakan untuk tes jenis ini singkat. Waktu mengerjakan tes, saya mengakalinya dengan membaca dahulu soalnya baru mencari paragraf yang menceritakan tentang hal tersebut untuk dibaca lebih teliti. Biasanya, materi tes ini seputar pengetahuan umum. Bisa sejarah dunia atau tentang bumi dan hal-hal luar angkasa yang dulu pernah kita pelajari di IPA atau IPS. Cuma materinya lebih rumit.

Tes ketiga menulis. Tes ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama biasanya berbentuk diagram, bagan, atau peta. Kita diminta menceritakan apa yang terjadi menurut gambar tersebut. Bagian kedua yang nilainya lebih besar biasanya pendapat kita mengenai suatu hal. Yang penting dari tes ini adalah: menulislah sebanyak mungkin. Nilai anda akan berkurang jika karangan anda kurang dari jumlah kata yang diminta. Lalu, gunakan sebanyak mungkin kosakata untuk menunjukkan anda perbendaharaan kata yang banyak. Sebisa mungkin hindari pengulangan kata.

Dan yang terakhir soal speaking. Sebenarnya inti dari tes ini adalah jangan grogi. Biasanya penanya akan memulai dengan hal-hal sederhana. Kita akan diminta untuk menjelaskan siapa diri kita, pekerjaan, dan apa yang kita lakukan di waktu luang. Dan anggap saja sedang bercerita dengan seorang teman. Saya melakukan kesalahan di sini karena tidak paham dengan pertanyaan.

Waktu mendapat hasil tes, saya cukup lega karena mendapat nilai 6,5. Lumayanlah dengan persiapan yang sangat mendadak dan ini kali pertama saya mengikuti tes. Sekarang saya sedang belajar lagi untuk mengejar nilai 7,5. 

Kamis, 09 Juni 2016

Mari Menonton Prenjak dan Film-film Nominasi Cannes

Adegan dari film Kara, Anak Sebatang Pohon
Saya penasaran ingin menonton film Prenjak setelah beberapa media ramai memberitakan kemenangannya di Semaine De La Critique Cannes. Setelah melewatkan beberapa kali pemutarannya di Jakarta, saya menontonnya di Boemboe Dapur Night yang ke- 4 tanggal 5 Juni lalu.  Kami sudah datang ke Dapur Film di Jalan Ampera no 17 A pukul 19.00 sesuai dengan jadwal di undangan. Berhubung ruangannya dipakai untuk taraweh terlebih dahulu, jadilah kita menunggu sambil ngobrol-ngobrol dengan tamu lain.

Waktu kami datang, sudah ada 40an orang yang mengisi daftar tamu. Asyiknya, di sini kita tidak ditarik tiket masuk dengan nominal tertentu. Panitia menyediakan kotak saweran yang bebas kita isi. Saya selalu tertarik dengan cara seperti ini. Saweran memberi kesempatan orang-orang yang ingin menonton tapi tidak punya duit untuk bergabung. Dan, semoga saja yang punya uang memberi donasi lebih untuk mensubsidi yang lain. Serunya lagi, panitia menyediakan banyak makanan gratis. Ada mie ayam, bakso, siomay, sampai es doger segala.



Waktu menonton, kami semua duduk lesehan di karpet. Ada tiga film yang pernah masuk nominasi di Festival Film Cannes yang diputar di sini. Yang pertama judulnya: Kara, Anak Sebatang Pohon. Film buatan tahun 2004 ini awalnya tugas akhir Mas Edwin. Film sepanjang 9 menit ini bercerita tentang seorang anak perempuan yang ibunya meninggal tiba-tiba karena terbunuh oleh Ronald Mc Donald. Kara yang tinggal di daerah pegunungan menjadi obyek foto seorang wartawan. Suatu ketika ia memutuskan pergi untuk mencari pembuhuh sang ibu. Saya suka metafora yang disampaikan film ini. Cuma heran saja kenapa si ibu terbunuh dengan cara yang aneh. Kalau saya yang jadi pembuatnya sih, akan lebih memilih si ibu mati dengan cara tersedak waktu makan produk Mc Donald.

Film kedua berjudul The Fox Exploit The Tiger Might. Film ini bercerita tentang Aseng, seorang anak muda keturunan Tionghoa yang sedang mengalami  masa puber. Aseng tinggal bersama ibunya yang menjual tembakau dan minuman keras. Seorang petugas berkali-kali datang untuk meminta upeti dari ibu Aseng. Aseng ini berteman dengan anak seorang jendral yang bernama David. Entah kenapa terlalu banyak cerita tentang imajenasi seks orang-orang di dalam film. Saya saja sampai bingung ini film mau cerita tentang diskriminasi atau tentang anak muda yang sedang puber?


Film ketiga adalah Prenjak. Film ini bercerita tentang Diah yang menjual korek api kepada Jarwo. Dengan sebatang korek seharga sepuluh ribu rupiah, si Jarwo bisa melihat kemaluan Diah. Kalau ingin tahu siapa Diah dan mengapa ia butuh uang, silakan tonton sendiri. Ga seru kalo dibocorin.

Acara ini menarik karena Edwin sutradara film pertama dan Wregas beserta tim pembuat film Prenjak bisa hadir di sana. Mereka menjawab banyak pertanyaan dari pengunjung. Kebanyakan penonton usianya antara 20 sampai 30an tahun. Kalau dari obrolan sekilas dengan beberapa orang, mereka rata-rata pembuat film atau anak-anak yang ingin belajar membuat film. Ada beberapa pertanyaan yang ditujukan pada Wregas seputar Festival Cannes dan film jenis apa yang membuat juri tertarik. Kata Wregas, Cannes itu punya beberapa festival film yang diselenggarakan organisasi yang berbeda. Bisa saja sebuah film masuk menjadi nominasi dalam beberapa festival. Wregas sendiri mengaku tidak bisa menebak selera juri. Film-film yang menjadi nominasi satu sama lain sangat berbeda cara eksekusinya.

Kalau saya pribadi, tertarik dengan film Prenjak karena film tadi sederhana. Dibuat dalam waktu singkat oleh orang-orang yang berteman lama. Dialog dalam film antara tokoh Jarwo dan Diah itu sangat wajar. Dan, di akhir film penonton bisa melihat alasan Diah membutuhkan uang.  Bisa jadi juri memilih film tadi sebagai pemenang karena dibanding nominator lain, dibuat dengan biaya paling sedikit. Sulit lo membuat sebuah karya yang bisa dinikmati dengan alat dan dana seadanya.



Senin, 30 Mei 2016

Mengatasi Masalah Keuangan ala Pegadaian


Dulu, saya sama sekali tidak pernah berpikir akan berurusan dengan Pegadaian. Sampai tahun lalu saat saya membutuhkan uang tunai dalam waktu singkat. Waktu itu, saya dan suami mendapat proyek untuk mengerjakan sebuah liputan di sepuluh propinsi. Di satu sisi kami senang. Itu artinya kami akan mengunjungi banyak lokasi di Indonesia. Beberapa diantaranya belum pernah kami datangi. Di sisi lain, kami juga bingung. Melakukan serangkaian perjalanan berarti kami harus menyiapkan sejumlah peralatan dan dana operasional. Padahal honor proyek itu baru akan dibayar setelah pekerjaan berjalan bahkan pelunasannya menunggu seluruh liputan selesai. Padahal, total kegiatan tersebut bisa berlangsung antara tiga hingga lima bulan. Kami juga harus mempunyai cadangan biaya hidup sampai masa pembayaran honor.

Waktu itu uang kami baru saja terpakai untuk biaya pulang kampung dan lebaran. Kami juga membutuhkan dana untuk membeli beberapa peralatan yang akan kami pergunakan selama melakukan perjalanan. Saya kemudian teringat kalau memiliki satu set perhiasan emas pemberian suami. Awalnya, saya sempat berpikir untuk menjual kalung dan gelang tersebut. Namun, saya berpikir kalau barang tersebut dijual, saat memiliki dana kembali, saya belum tentu bisa mendapatkannya kembali. Untung saja saya teringat Pegadaian. Saya bisa melakukan gadai emas tadi ke pegadaian untuk mendapat pinjaman modal.


Dulu, saya berpikir kalau menggunakan jasa lembaga keuangan seperti Pegadaian emas membutuhkan waktu lama dan proses yang berbelit-belit. Ternyata saya salah. Saya cukup membawa tanda pengenal dan emas yang akan saya jaminkan. Saya sangat terbantu karena Pegadaian memiliki beberapa kantor cabang di dekat rumah. Saya sempat kaget karena biaya yang saya keluarkan untuk mendapat pinjaman sangat terjangkau. Tiap transaksi, nasabah hanya dikenai biaya administrasi Rp. 15.000. Dengan nilai pinjaman dibawah Rp 20.000.000, tiap 15 hari nasabah hanya perlu membayar 1.15% dari besarnya dana yang ia pinjam. Itu artinya setiap pinjaman satu juta saya hanya perlu membayar Rp. 11.500. Jumlah yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan manfaat yang saya peroleh.

Dan saya memiliki waktu hingga 120 hari untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Tenggang waktu yang cukup untuk mengumpulkan dana untuk mengambil barang yang digadaikan. Menggadaikan perhiasan juga membuat saya belajar cara baru untuk berinvestasi: lewat tabungan emas. Pegawai Pegadaian menawarkan pembelian emas dengan cara cicilan. Bisa dibilang itu mirip menabung. Kita bisa membeli emas dengan berat mulai dari 5 gram hingga 1 kilogram. Uangnya bisa dicicil hingga 5 tahun.

Saya langsung berpikir merencanakan menabung dalam bentuk emas. Bisa jadi, suatu saat nanti saya memerlukan uang dalam waktu singkat. Emas tersebut bisa saya gunakan sewaktu-waktu sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari Pegadaian. Sepertinya, Pegadaian merupakan salah satu alternatif yang bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan kebutuhan uang dalam waktu cepat.

Senin, 25 Januari 2016

Buku yang Menyirami Bibit Perubahan





Saya percaya orang yang banyak membaca buku akan memiliki lebih banyak pilihan untuk memperbaiki hidupnya. Sayangnya, di Indonesia budaya membaca masih rendah. Buku itu benda mati, ia membutuhkan orang dewasa untuk mengenalkan kesenangan membaca pada anak-anak. Hingga kelak, mereka tumbuh menjadi menjadi pecinta buku. Untungnya, perlahan-lahan muncul perpustakaan-perpustakaan komunitas yang menyediakan ruang terutama bagi anak untuk berkenalan dengan buku.


Salah satu taman bacaan favorit saya adalah Mata Aksara. Perpustakaan yang terletak di Desa Umbulmartani, Yogyakarta ini dikelola oleh sepasang suami-istri. Awalnya, Heny Wahdatur Rahmah dan Nuradi Indra Wijaya merasa sayang jika ratusan buku yang selesai dibaca kedua anaknya tak tersentuh. Padahal, bisa jadi buku tadi jauh lebih bermanfaat jika bisa dipergunakan oleh anak-anak lain. Mulailah mereka membuka perpustakaan di pertengahan tahun 2010.



Mata Aksara kerap mengadakan serangkaian lomba dan kegiatan untuk menarik pengunjung dari anak-anak di sekitar. Terutama setiap libur sekolah tiba. Mereka mengajak anak-anak memainkan permainan tradisional seperti lompat karet, main kelereng, sundamanda, dakon, hingga enggrang.  Sesekali, Mata Aksara menggelar lomba menggambar dan melukis untuk anak.


Untuk melengkapi kampanye membaca, Mata Aksara juga mengadakan kelas penulisan. Agustinus Wibowo si travel writer, wartawan koran lokal, hingga blogger pernah menjadi pematerinya. Sesekali mereka  mengadakan diskusi tentang pentingnya mengenalkan bacaan kepada anak-anak. Entah kenapa, meski undangan acara ini ditujukan kepada para orangtua, jarang sekali ada bapak-bapak hadir. Apakah itu pertanda kaum ibu lebih peduli kepada pendidikan anak?

Mbak Heny dan Mas Adi meyakini jika seorang ibu rumah tangga perlu kegiatan positif dan banyak belajar. Supaya mereka  tidak menghabiskan waktunya untuk bergosip atau menonton acara TV yang tidak bermutu. Bukankah seorang ibu harus cerdas supaya bisa mendidik anaknya dengan baik? Mata Aksara kemudian mengembangkan kegiatannya untuk ibu-ibu di sekitarnya. Rata-rata pesertanya merupakan ibu rumah tangga dari golongan menengah ke bawah. Mereka belajar dari buku tentang cara membuat ketrampilan tangan, membatik, merajut, hingga membuat aksesoris. Rencananya, kelas ibu-ibu ini akan berlanjut dengan pelatihan kewirausahaan. Supaya pesertanya bisa memiliki penghasilan tambahan.


Saya pernah bergabung di kelas membatik dan membuat aksesoris mereka. Ibu-ibu yang saya temui menyukai kegiatan tersebut. Selain mendapat teman, mereka punya kesibukan untuk mengurangi kejenuhan mengurus rumah. Beberapa ibu bahkan mengaku aktivitas tersebut membuat mereka lebih pede dan lebih bisa menyampaikan pendapat.

Lama kelamaan, Mata Aksara semakin berkembang. Karena terlalu keasyikan dengan mengajak orang membaca, Mas Adi dan Mbak Heny bahkan kerap memercayakan operasional kos-kosan dan toko material yang menjadi sumber pendapatan mereka kepada orang lain.  


Salah satu ruang kesukaan saya ada di lantai 3. Di sini, ada kebun sayuran organik tempat Mata Aksara praktek buku. Pengelola Mata Aksara mempelajari cara membuat pupuk, sistem pengairan, dan mencocok tanam dari buku. Kadang, saat menanam atau memanen sayuran, mereka melibatkan pengunjung.  Pengunjung bisa belajar tentang pertanian organik sambil bermain air dan tanah.


Kini, Mata Aksara memiliki lebih dari 4000 buku. Kebanyakan merupakan donasi dari berbagai pihak. Ada kalanya mereka menyumbangkan koleksi lama ke perpustakaan lain yang lebih membutuhkan. Sekali waktu, Mata Aksara membawa motor perpustakaannya ke beberapa SD dan perpustakaan dusun di seputaran Sleman. Mereka meminjamkan koleksi bukunya supaya pengunjung perpustakaan-perpustakaan bisa menikmati buku yang beragam. Semoga saja kegiatan mereka kelak menular ke perpustakaan-perpustakaan lain yang mereka bina. Termasuk memberi inspirasi pengunjungnya untuk melakukan hal serupa. Supaya lebih banyak orang-orang yang jatuh cinta dengan buku. Bukankah perubahan sosial berawal dari perubahan cara berpikir?


Kamis, 14 Januari 2016

Sekolah untuk anak Berkebutuhan Khusus


Waktu pertama kali datang ke Sekolah Alam Baturaden, saya tertarik dengan satu anak yang berbeda. Umurnya sekitar 9 tahun tetapi ia bertingkah seperti anak empat tahun. Saya melihatnya sedang merajuk. Seorang fasilitator membujuknya untuk membuat roket bersama murid lain. Beberapa teman sekelas berusaha menghiburnya dan mengajak merakit roket bersama.

Saya langsung membayangkan jika anak down sindrom tersebut belajar di sekolah umum. Bukannya mengajak bermain, anak lain pasti menjadikannya sasaran bullying. Bisa jadi ia akan diejek karena anak lain melihat perbedaan sebagai suatu kekurangan. Tapi tidak di sekolah alam. Murid-murid diajar berpikir kritis sehingga mereka berempati terhadap temannya yang difabel.

Beberapa waktu kemudian, saya beruntung bisa bertemu dengan Lendo Novo sang pencipta konsep sekolah alam. Ia bercerita tentang keinginannya supaya semua anak mendapat kesempatan yang sama di dunia pendidikan. Waktu kecil, Lendo Novo bermimpi bisa bersekolah bersama sang kakak. Sayang, hal tersebut tidak terlaksana karena kakaknya yang down syndrome harus masuk SLB.



Di Sekolah Alam, anak-anak yang berkebutuhan khusus mendapatkan guru bayangan. Fasilitator ini memiliki kemampuan khusus sehingga dapat mendampingi anak difabel untuk mengikuti pelajaran seperti teman lainnya. Sayangnya, konsep sekolah seperti ini hanya dimiliki sekolah-sekolah tertentu. Kebanyakan sekolah yang menerima murid difable adalah sekolah swasta berbiaya mahal. Yang belum tentu terjangkau oleh orangtua dengan pendapatan menengah ke bawah.

Pemerintah sendiri sudah mulai mengkampanyekan sekolah inklusi. Sayang kebanyakan berhenti di tingkat perundangan. Kalaupun sekolah umum menerima murid difabel, mereka tidak memiliki guru yang tahu cara berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.  


Saya jadi teringat teman saya yang tuna netra. Namanya Melisa. Waktu SD, ia mengalami low vision. Di bangku SMP, penglihatannya semakin memburuk. Dulu beberapa kerabatnya menyarankan supaya ia masuk SLB. Hal tersebut ditentang sang ibu dan dokter matanya. Mereka beranggapan Melisa pintar. Jika ia masuk SLB, ia akan kesulitan melanjutkan pendidikan tinggi. Melisa yang ingin sekolah tinggi kemudian memilih masuk sekolah umum. Yang ia tahu, SLB di tingkat sekolah menengah atas kebanyakan hanya menyediakan jurusan musik atau pijat. Sedangkan ia tertarik mempelajari bahasa.

Sebagai murid satu-satunya yang berkebutuhan khusus, Melisa harus bekerja lebih keras supaya tidak tertinggal. Gurunya yang tidak pernah mengajar murid difable kerap tidak tahu bagaimana memperlakukan murid khusus ini. Melisa hanya bisa mendengar pelajaran karena ia tidak bisa membaca papan tulis. Tiap hari ia meminjam catatan teman untuk difotokopi. Di rumah, sang ibu membacakan catatan tersebut untuknya.

Pelajarannya semakin mudah setelah ia berkenalan dengan sebuah lembaga yang menangani tuna netra. Melisa belajar menulis dengan huruf braile. Ia juga mengenal tape untuk merekam guru saat mengajar di kelas.

Menjadi anak yang berbeda kerapkali membuat Melisa harus membayar lebih. Saat ujian, ia harus membayar biaya dua kali lipat murid biasa. Guru-guru kadang menodongnya untuk membawakan makanan dengan alasan mereka meluangkan waktu lebih untuknya dibanding murid lain.

Masalah terberatnya muncul saat masuk SMA. Melisa sempat ditolak 4 sekolah umum meski nilai ebtanas murninya diatas rata-rata. Setiap wawancara, pihak sekolah menolaknya dengan alasan sudah tidak ada kursi atau mereka khawatir Melisa akan dihina murid lain. Akhirnya ia bisa masuk sebuah sekolah karena orangtuanya kenal pemilik yayasan.


Kini, Melisa yang mengambil program S2 Linguistik Terapan mulai bisa belajar di tengah-tengah mahasiswa lain. Beberapa lembaga yang mengurus Tuna Netra mengenalkannya pada teknologi yang memudahkannya belajar.  Selain itu, teman kuliah dan dosennya lebih bertoleransi kepada murid berkebutuhan khusus.

Pemerintah sendiri sudah mulai mengkampanyekan sekolah inklusi. Sayang kebanyakan berhenti di tingkat perundangan. Kalaupun sekolah umum menerima murid difabel, mereka tidak memiliki guru yang tahu cara berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.




Yuk Jadi Relawan di Pesantren Nusantara


Beberapa waktu lalu, saya dan Gugun-- suami saya pergi ke Pesantren Nusantara yang didirikan oleh Pak Munawar. Tadinya, saya mengenal beliau sebagai pengelola Sekolah Rakyat Bogor. Sebuah sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu. Sebagian besar dari 23 lokasi sekolah tersebut ada di gunung atau pelosok yang tidak terjangkau sekolah umum.

Tidak cukup dengan menjalankan Sekolah Rakyat Bogor, Pak Munawar kemudian membuka Pesantren Nusantara. Sekolah Agama yang kami datangi di daerah Beji, Depok merupakan lokasi kedua setelah Pesantren Nusantara yang ada di Caringin, Bogor. Pesantren di Beji ini baru memiliki 19 santri. Maklum, sekolah tadi usianya baru 4 bulan. Murid yang keseluruhannya laki-laki tersebut rata-rata sudah menghafal satu sampai satu setengah juz. Asalnya beragam, mulai dari dari Padang, Bima, dan seputaran Jawa. Kedepannya, pesantren berusaha supaya muridnya kelak datang dari seluruh penjuru Indonesia.

Pesantren Nusantara membiayai operasionalnya dari wakaf. Kebanyakan santrinya berasal dari golongan kurang mampu. Beberapa bahkan mantan anak jalanan. Setelah belajar selama dua tahun, mereka akan kembali ke tempat asalnya untuk mengajar agama. Selain menghapal Al-Quran, santri-santri di sana juga belajar berwirausaha. Harapannya, saat lulus nanti mereka bisa mandiri secara finansial dan menolong orang-orang di sekitarnya. Pesantren Nusantara percaya jika agama harus memiliki sisi sosial. Muslim yang baik harus bisa mengamalkan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah Nabi Muhammad mengajarkan jika manusia yang baik memiliki banyak manfaat untuk orang lain dan alam semesta? Ada yang tertarik jadi santri?

Karena saya merasa sayang jika sekadar datang, saya mengajak adik-adik di Pesantren Nusantara untuk membuat gambar tempelan dari kertas bekas. Rencananya, hiasan-hiasan ini akan dipasang di majalah dinding yang dikerjakan para santri. Deny, teman saya yang mengelola taman Bacaan Cetar juga ikut bergabung. Ia mengajak para santri membuat kotak pensil dari koran bekas. Deny juga menunjukkan foto-foto kerajinan yang ia buat dan jual. Di sela-sela menggambar, mengelem, dan mewarnai kami ngobrol tentang keseharian mereka. Ternyata beberapa santri tertarik ingin belajar menulis, membuat film, dan ketrampilan lain. Mas Munawar menawarkan kepada kami untuk melakukan kegiatan ini tiap bulan. Sebagai kegiatan selingan diluar mengaji. Ada yang mau bergabung? Hubungi saya di lutfiretno@gmail.com ya?