Sabtu, 28 November 2015

Memandang Dewi Anjani dari Sembalun, Lombok


Jumat, 13 November malam, saya dan blogger lain peserta Travel Writer Gathering berkendara menuju Sembalun. Kami butuh dua jam untuk sampai di Penginapan Nauli. Malam itu, langit cerah. Karena di sana tidak banyak lampu, kami bisa memandang ribuan bintang betebaran. Sayang, hawa dingin membuat saya memilih cepat-cepat masuk kamar. Mas Teguh mewakili penyelenggara berkata kalau esok hari kami harus bangun pukul empat pagi. Rencananya akan ada trekking untuk melihat matahari terbit di Pergangsingan. Yang konon merupakan titik terindah di Sembalun.

Saya langsung nyengir. Sebelum berangkat ke Lombok, saya baru saja bergadang berhari-hari untuk membuat poster. Masa liburan masih harus kurang tidur? Saya bahkan hampir tergoda bergabung saat beberapa pemandu menunjukkan foto-foto yang mereka ambil dari Pergangsingan. Cantik. Tapi apa sepadan dibayar dengan bangun pagi dan mendaki dua jam? Rijani yang memiliki ketinggian 3.726 m ini merupakan gunung ketiga tertinggi di Indonesia. Para pendaki kerap menjulukinya Sang Dewi karena keindahan pemandangannya. Beberapa kenalan saya bahkan pernah mendaki gunung ini lebih dari sekali. Saya akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di desa saja esok pagi. Toh suatu saat nanti saya pasti akan kembali untuk sampai ke puncaknya.


Untung saja ada Punky dan Yusuf yang mau diajak jalan-jalan malas saja. Sebangunnya. Karena mencari tempat tinggi untuk melihat matahari terbit terlalu mainstream. Sekitar jam 6 pagi saya bangun. Matahari sudah mulai naik. Saya kemudian mandi dan mengajak Yusuf untuk berjalan kaki mengelilingi penginapan. Punky yang masih tidur sebaiknya tidak kami ganggu. Sebenarnya kalau ingin melihat Rinjani kami tidak perlu jauh-jauh. Tinggal buka pintu kamar, pemandangannya sudah gunung.


 Sepanjang perjalanan, kami menyusuri sawah-sawah yang mengering. Bahkan, ada kebun yang menyisakan tomat-tomat merah yang mulai membusuk. Mungkin, harga panen sedang jatuh sehingga petani memilih untuk tidak memetiknya. Matahari di Lombok lebih terik dan cepat tinggi jika dibndingkan dengan di Jawa. Baru pukul tujuh saja langit sudah membiru. Untunglah ada Yusuf yang bisa dimintai tolong mengambil foto. Hingga saya bisa memiliki gambar untuk kampanye bawa buku ke mana saja.


Rombongan lain baru pulang ke penginapan mendekati pukul dua belas. Setelah mereka bersih-bersih, kami melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini kami menikmati masakan khas Sembalun di rumah Rial, salah seorang pemandu. Mulai dari pepes kepiting yang enak tapi saya cuma bisa icip sedikit gara-gara alergi. Sup buncis dengan daun kacang yang disebut kelak batih. Juga banteq Nganga—semacam sup campuran cabe rawit dan ikan teri. Lebih seru lagi, makanan ini dimakan dengan beras merah. Saya yang bukan penyuka masakan pedas saja sampai nambah. Enaknya, makanan ini tidak punya rasa pahit. Saya baru tahu kalau ibu-ibu ini tidak menambahkan msg ke dalam masakannya.




Kami kemudian pergi ke rumah adat Desa Beleq di Kecamatan Khayangan. Desa tersebut dikelilingi oleh rumpun bambu. Uniknya, pohon-pohon ini dikerangkeng dalam lingkaran. Biasanya hal tersebut dipakai untuk menandai kepemilikan. Setiap datang ke pedesaan Lombok, saya selalu melihat banyak rumpun bambu. Masyarakat masih menggunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari membuat rumah, kandang ayam, hingga keranda. Meskipun bambu tadi ditanam perseorangan, tetangga yang membutuhkan bambu bisa memintanya. Kami jalan-jalan sebentar di rumah adat. Rumah-rumah tersebut menggunakan rumput ilalang kering sebagai atap. Masyarakat setempat menyebutnya rae.


Hanya ada 7 rumah di dalam komplek Rumah Adat Beleq. Konon katanya, rumah-rumah itu tadinya dihuni 7 pasang orang pertama yang tinggal di Lombok. Mereka merupakan moyang orang Sembalun. Bentuknya serupa. Berdinding bambu dan memiliki pintu yang tingginya sekitar satu setengah meter. Katanya, supaya tamu menunduk saat masuk rumah. Lantainya masih berupa tanah yang dipadatkan. Bangunan tersebut tetap dipertahankan seperti bentuknya semula. Di daerah lain, atap rumah tradisioanal dari ilalang sudah mulai berganti. Atap tersebut kerap dinilai tidak praktis karena harus diganti tiap 5 sampai 10 tahun sekali. Kami melewatkan sesi mampir di kebun strawberry dan air terjun supaya bisa sampai di Senggigi sebelum senja.

Rencananya, kami menginap di Resort d’Oria. Dari hasil googling sebelumnya, saya menemukan kalau penginapan ini tepat menghadap matahari terbenam. Pengen cepat ke sana karena pagi hari saya harus terbang subuh. Kami sampai di kawasan Senggigi pukul 5 sore. Di d’Oria, kami disambut dengan ramah oleh Mbak Iva—resort managernya. Mereka memberi kami minuman dingin dan handuk hangat untuk membasuh muka. Ah baik sekali.Mungkin karena tampang kami terlihat kucel dan capai.


 D’Oria Resort, Lombok memiliki kamar-kamar yang didesain secara tematik. Ada ruang batu, daun, dan bambu. Kursi, tempat tidur, cermin, dan aksesorisnya menyesuaikan tema tadi. Saya sekamar dengan Dian di kamar leaf. Bagian paling saya suka dari ruangan tersebut adalah: kamar mandi. Luas dan temboknya terbuat dari batu alam. Tembok dan lantainya tersusun dari batu dan keramik bertekstur indah.


 Dan keinginan menutup hari ini dengan menikmati sunset di pantai terwujud. Kami tinggal menyebrang jalan. Malamnya, kami makan nasi bogem di restoran hotel. Itu nasi bungkus yang isinya ikan tuna dan sambal. Enak banget sumpah. Hampir pengen nambah kalau tidak ingat kami harus mencari oleh-oleh sebelum larut malam.



Rabu, 18 November 2015

Pantai, Gili, dan Langit Biru di Lombok

Hore… Jalan-jalan lagi. Kali ini saya dan rombongan blogger akan mengelilingi pantai dan pulau di Lombok Timur. Perjalanan ini bagian dari acara bernama TWGathering. Kegiatan yang diadakan oleh Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB ini bertujuan mempromosikan wisata di Lombok dan Sumbawa. Dari Kota Mataram kami berkendara sekitar dua jaman ke tempat bernama Tanjung Luar. Setelah berganti baju, kami menyebrang dengan kapal ukuran 8x 1 meter. Untung kapalnya cukup besar, jadi kami tidak terlalu merasakan guncangan ombak.

Pagi itu langit sangat cerah. Warna birunya membayang di air laut. Di beberapa tempat yang lebih dangkal, laut berwarna toska. Beberapa saat setelah meninggalkan daratan, kami bertemu bagan di tengah laut. Bangunan dari bambu tadi menurut pemandu kami dipakai untuk menangkap lobster. Ratusan camar bersayap putih bertengger di bagan-bagan tadi. Mereka terbang ke segala arah saat perahu mendekat. Cantik. Sayang, lensa kamera saya terlalu pendek untuk memoto mereka.

Kami tiba di pulau pertama. Namanya Gili Sunut. Senang rasanya turun dari kapal. Disambut langit biru, pasir putih, dan air yang jernih, kurang apa coba? Pulau ini dulu pernah dihuni waktu jaman Jepang. Sekarang tinggal sisa-sisa rumah yang rusak dan ditinggalkan. Sekeliling pulau penuh dengan pohon banten yang biasa dipakai sebagai pembatas kebun atau pekarangan rumah. Entah kenapa pohon tadi meranggas. Batangnya bergelombang tanpa daun. Saat yang lain berjalan-jalan di pulau, saya memilih untuk duduk dan membaca buku. Seperti biasa, saya menyempatkan diri berfoto untuk akun media sosial. Yoi demi kampanye bawalah (dan baca) buku di mana saja.

Kaki saya beberapa kali hampir kena pecahan kaca. Awalnya, saya heran darimana datangnya sampah tadi. Saya kemudian teringat kalau kaca butuh waktu hingga ribuan tahun untuk terurai. Bisa jadi itu sisa kaca puluhan tahun lalu. Berhubung sudah waktunya makan, kami pergi ke Pantai Pink. Pantai Tangsi ini lebih dikenal dengan nama tadi karena pasirnya berwarna merah muda saat terkena sinar matahari. Warna tersebut berasal dari pecahan hewan-hewan laut. Pulau ini juga bisa ditempuh lewat jalan darat dari Lombok.
 Di sana kami bertemu serombongan turis yang mengendarai motor.

Kami singgah untuk makan siang di salah satu warung. Ternyata operator travel kami sudah menyiapkan berbagai masakan laut. Ada beberapa jenis ikan dibakar, sotong, sampai ikan kuah kuning. Dan, tak ketinggalan selalu ada sambal yang lebih dari satu macam. Namanya juga blogger, dan tidak bisa lepas dari media sosial, teman-teman berebut untuk memoto makanan. Usai makan, kami jalan-jalan sebentar ke atas bukit. Kami bisa melihat keseluruhan lekuk Dari sana Pantai Pink. Ternyata di balik bukit juga ada pantai lain. Sayang mendung tebal, langit mendadak berubah jadi kelabu. Waktu kami hendak turun, tiba-tiba hujan deras turun. Berteduhlah kami di sebuah dagau nelayan. Seorang kakek sedang menjalin jaring ikan di sana.


Usai hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Waktunya snorkeling! Seharusnya kami snorkeling di Semangkok--kawasan yang terkenal sebagai sumur ikan. Katanya sih, ada banyak ikan warna-warni di sana. Berhubung arus air sedang keras, kami memilih tempat lain. Bahaya kan kalau terhempas ombak ke karang. Keselamatan itu yang pertama. Tapi, saya sudah puas kok snorkling di tempat ini. Airnya jernih dan terumpu karangnya masih rapat. Kami kemudian melanjutkan snorkling ke tempat lain bernama Gili Petelu.

Dalam perjalanan pulang, kami mampir di Gili Kambing. Pulau ini salah satu pulau yang tingginya tergantung dengan pasang surut air laut. Saat kami berangkat tadi, pulau ini terendam air. Setelah sore, timbul pasir berwarna putih. Kalau mau, kami bisa jalan kaki ke Gili Maringkik. Dari jauh saya bisa melihat perumahan penduduk di sana. Seluruh penduduk di pulau tadi hidup sebagai nelayan. Aduh, sepertinya seru kalau bisa tinggal di sana beberapa hari untuk membuat film pendek.

Bagian terasyik dari pulau ini adalah bintang laut lucu betebaran di mana-mana. Warnanya pink dan oranye. Sebelum memoto kami sempat berdebat. Bintang laut kan hidupnya di air. Mengambilnya dari laut sama saja dengan memisahkannya dengan oksigen. Untung saja bintang laut jenis tadi masih bisa diangkat dari laut. Ingat, jangan lama-lama. Kami kemudian pergi ke Gili Pasir untuk melihat matahari terbenam. Kami kemudian kembali ke Tanjung Luar.

Setelah menumpang mandi sebentar di sebuah Pom bensin, kami melanjutkan makan malam di Rumah Makan Kelor di daerah Pancor. Rumah makan tadi menyajikan hidangan khas Lombok Timur. Dan, saya suka makanannya. Meskipun lagi-lagi pedas bukan main. Saya tertarik dengan menu yang disebut Kelak kuning. Itu semacam sayur labu dengan daging ayam yang dimasak dengan kuah kunyit kental. Saya sampai menemui tukang masaknya untuk menanyakan bumbunya. Mereka ternyata menambahkan kemiri untuk membuat masakan gurih.

Kami sampai di Wisma Nauli, Sembalun jam 10 malam lebih. Saya kemudian tertidur dengan lelap. Udara di sini dingin dan sejuk untuk tidur. Apalagi selarian tadi lelah. Saya tertidur dengan damai. Ini hari yang menyenangkan.

Senin, 16 November 2015

Tenun dan Kumpul Blogger di Lombok


Jam 6 kurang, saya sudah menunggu bus damri menuju Bandara Soekarno Hatta. Penerbangan saya ke Lombok masih pukul 09.05.  Saya sengaja berangkat lebih awal supaya tidak terjebak macet. Di Bandara sudah ada Indri dan Adhi. Rencananya kami akan liburan bersama blogger dari daerah lain dalam acara TWGathering2015.

Malam sebelumnya, bandara tutup karena debu Letusan Gunung Barujari membahayakan penerbangan. Kalau nanti tidak bisa terbang ke Lombok, kami berniat mendarat di Bali dan menyewa mobil sampai tujuan. Berhubung kami sama-sama penyuka buku, kami menghabiskan waktu menunggu untuk membahas buku bagus. Kami menyempatkan diri foto bersama sedang membaca buku. Saya langsung memposting foto tadi di media sosial. Ceritanya saya sedang mengkampanyekan bacalah buku di mana saja. Jadi sebisa mungkin berusaha memposting foto buku itu teman perjalanan. Setelah terlambat lebih dari satu jam dari jadwal, akhirnya kami terbang juga.
Di Bandara, kami bertemu Yusuf, blogger dari Bandung yang akan jadi rombongan kami. Menurut jadwal, acara jalan-jalan baru akan dimulai besok. Berhubung hari masih siang, kami merasa rugi hanya berdiam diri di hotel. Kami kemudian memutuskan untuk melihat-lihat pembuatan tenun di Desa Sukarara.


Di desa tersebut ada sebuah showroom kerajinan tenun. Kami langsung disambut puluhan kain warna-warni yang tergantung di luar bangunan. Seorang pemandu menyambut kedatangan kami. Ia menemani kami berkeliling ke rumah para penenun. Sebagian perempuan di sana tiap hari menenun di depan rumah. Penenun pertama yang kami temui usianya baru 9 tahun. Ia membuat kain motif rang-rang. Motif tadi berbentuk jajar genjang warna-warni. Di pedesaan Lombok, seorang anak perempuan belajar menenun sejak kecil. Supaya mereka belajar bersabar. Untuk menghasilkan sebuah kain, ia harus duduk berjam-jam. Hal tersebut diulangi hinga dua sampai empat minggu. Semakin lebar dan rumit motif sebuah kain, membutuhkan waktu semakin lama untuk menyelesaikannya.

Dahulu menenun merupakan pekerjaan sampingan. Seseorang hanya melakukanya di sela-sela bercocok tanam. Sejak turisme datang ke Lombok, penduduk membuat kain-kain ini untuk dijual. Motif-motif buatan mereka kebanyakan berupa tanaman atau benda yang ada di sekitarnya. Seperti gambar nanas, ayam, lumbung padi. Kain dengan motif rumit ini biasanya digunakan pada saat upacara adat. Untuk keperluan sehari-hari, penduduk banyak menggunakan motif sabuk anteng. Motif yang hanya garis-garis tadi biasa dipakai untuk menggendong bayi supaya tertidur. Saat ini banyak dijual dalam bentuk syal. Di beberapa tempat, seorang perempuan menyiapkan kain yang ia pakai untuk menikah. Kain ini kelak akan mereka wariskan ke anak perempuannya.


Mumpung bertemu banyak blogger, kami merumpikan teman-teman lain yang jam terbangnya lebih tinggi. Ada banyak orang iri dengan travel blogger yang dibayar untuk bersenang-senang di suatu daerah. Sayang mereka tidak berpikir untuk bisa mendapatkan hal itu ada banyak pengorbanan dibelakangnya. Ada yang bangun jam 3 pagi untuk menulis atau menyiapkan posting di media sosial. Ada juga yang selalu meninggalkan komentar di puluhan blog sebelum tidur untuk memperkenalkan diri. Orang yang langganan menang lomba pun sebelumnya belajar dan bekerja keras bertahun-tahun untuk punya tulisan atau foto bagus. Ada banyak disiplin lain yang tidak terlihat. Kami sih cukup tahu diri untuk tidak iri karena pengorbanan yang kami lakukan belum sebesar itu.


Menjelang magrib, kami pulang ke hotel untuk mandi. Setelah itu kami makan di Rumah Makan Raja Taliwang di Jalan Sudirman. Pecinta sambal pasti kegirangan mendapat menu yang kami santap. Ada lima macam sambal tersaji. Mulai dari sambal mangga, dua jenis sambal kacang, sambal dari potongan terung yang disebut beberok, dan sambal dengan terung bakar. Saya yang tidak kuat dengan masakan pedas harus hati-hati. Meski demikian, saya tetap manambah nasi. Campuran antara lapar dan enak. Sebelum pulang, saya menyempatkan diri memoto detail restoran. Saya suka bangunan rumah makan ini. Dari bambu dan beratap ilalang. Sebagian ruangannya terbuka. Meja dan kursinya dari kayu tidak difinishing.