Kami juga sempat menyaksikan karnaval panjang yang berisi ratusan anak-anak PAUD dan TK. Mereka mengenakan kostum warna-warni. Sebagian besar terbuat dari bahan daur ulang. Baju mereka kebanyakan bertema sayur, bunga, buah, dan tanaman. Bondowoso merupakan daerah pertanian. Mata pencaharian 40% penduduknya dari pertanian.

Kami juga sempat melihat berbagai macam kesenian tradisional Bondowoso. Ada kesenian Singo Wulung yang berbadan besar mirip beruang putih. Dua orang yang menari di dalam kostum berkulit tebal tadi. Di puncak pertunjukan, singa-singa ini meloncati api. Saya ngeri membayangkan kalau mereka meleset sedikit saja. Kostum berat tadi terbuat dari kain yang mudah terbakar. Yang tidak kalah menarik, ada arak-arakan patung besar dengan lampu warna-warni. Rombongan ini diiringi penari-penari dan penyanyi. Ada beberapa penari pria dengan baju loreng merah putih menari sambil mengibas-ngibaskan clurit. Awalnya, saya berpikir itu clurit bohongan. Saya baru tahu kalau senjata tadi terbuat dari besi tajam saat para penari menggoreskannya ke aspal. Muncul bunga-bunga api. Bagaimana kalau tidak sengaja terkena orang? Mereka kan meloncat ke sana ke mari?
Saya baru tahu kalau separuh penduduk Bondowoso adalah etnis Madura. Pantas! Selama di sana, saya bertemu dengan banyak orang yang bercakap-cakap dalam Bahasa Madura. Budaya Madura juga masuk ke kuliner. Sebagian rumah makan di sana menyajikan masakan Madura seperti sate kambing dan kaldu. Etnis Madura ini sudah tinggal di Bondowoso selama beberapa generasi. Namun, mereka masih memegang tradisi dan bahasanya. Di daerah pedesaan bahkan banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia atau Bahasa Jawa.
Saat mengelilingi kota untuk mengambil gambar, saya dan Gugun berhenti sebentar di sebuah stasiun kereta kuno yang tidak lagi digunakan. Bangunan Belanda yang cantik tadi sepertinya baru saja direnovasi. Catnya masih bersih. Saya penasaran dengan peristiwa yang disebut dengan peristiwa gerbong maut. Cerita ini berkali-kali disebut di pembukaan pameran. Di tengah kota, saya juga melihat monumen gerbong maut. Saya baru tahu setelah bertanya ke beberapa orang. Jadi, dahulu pada tahun 47, Belanda ingin menguasai kembali Indonesia. Mereka menangkapi orang-orang yang diduga akan memberontak. Banyak diantaranya petani yang tidak tahu apa-apa.
Karena terlalu banyak orang ditangkap, penjara Bondowoso penuh. Belanda kemudian berniat memindahkan 100 orang tahanan ke Surabaya. Mereka memindahkan tahanan lewat kereta. Tahanan berangkat dari Stasiun Bondowoso dengan gerbong barang. Mereka berdesakan di gerbong yang tidak memiliki jendela. Siang hari, setelah menempuh beberapa jam perjalanan, udara dalam gerbong menjadi sangat panas. Puluhan tahanan meninggal karena mati lemas.
Lokasi yang kami datangi berikutnya adalah perajin kuningan di Desa Cindogo. Hampir seluruh penduduk desa ini bekerja sebagai pembuat kuningan. Kebanyakan beretnis Madura. Perajin yang sekarang merupakan generasi ke tiga para perajin gamelan pada masa belanda. Jaman berganti, dan mereka harus melakukan pelebaran konsumen untuk bertahan. Para perajin kuningan mulai membuat bokor untuk rias pengantin dan cetakan kue. Mereka mengalami masa keemasan pada tahun 90-an. Sebelum krisis moneter, harga kuningan murah. Perajin mendapat banyak keuntungan dari selisih harga jual. Sampai muncul krisis moneter yang melambungkan harga bahan baku. Kuningan yang tadinya sekilo hanya seharga enam ribu rupiah melonjak menjadi empat puluh lima ribu rupiah.
Perajin sempat kesulitan pemasaran. Mereka kemudian berubah memproduksi souvenir. Kuningan-kuningan tersebut dicat sehingga lebih menarik. Produknya juga semakin bervariasi. Mulai dari vas bunga hingga patung hiasan meja. Selain di Bondowoso, kerajinan ini bisa ditemui dengan mudah di Pasar Bringharjo.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar