Mumpung di Sumatra Barat, kami mampir sebentar di kelok 9. Jalan yang konon saat ini menjadi infrastruktur termegah di Indonesia. Waktu melalui jembatan tadi, saya terkagum-kagum oleh ukurannya yang super besar. Jalan tadi terdiri dari 4 ruas jalur. Saking besarnya, truk gandeng pun terlihat kecil saat melintasi jembatan tadi. Jalan tersebut berbentuk dua lantai dengan pilar yang tingginya puluhan meter. Tiba-tiba saya nyinyir dalam hati. Entah berapa banyak gunung dikepras untuk membangun jembatan ini. Sedihnya, manusia menyebut merusak alam dengan pembangunan.
Setelah seharian berkeliling Bukittinggi, kami melanjutkan perjalanan ke Solok.
Dalam perjalanan, kami mampir sebentar ke Istana Pagaruyung di Batu Sangkar. Rumah gadang ini memiliki empat tanduk. Istananya memiliki jendela dan pintu-pintu besar dan terlihat baru. Saya baru tahu kalau beberapa tahun lalu istana ini pernah terbakar. Bagian dalam bangunan ini penuh dengan kain bersulam. Ingin rasanya memiliki sebuah untuk dikoleksi. Saya suka ukir-ukiran yang memenuhi seluruh bangunan. Bentuknya bunga dan sulur-sulur. Di berbagai tempat yang kuat pengaruh Islamnya, ukiran selalu menggunakan tumbuhan. Tujuannya untuk menghindari pemujaan terhadap binatang atau benda hidup. Seluruh bangunan terbuat dari kayu berwarna kekuningan. Pengunjung ingin berfoto di istana bisa menyewa baju adat di lantai dasar.
Sebelum masuk ke Kota Solok, kami mampir sebentar di Danau Singkarak. Sayang, kami terlalu sore waktu sampai ke sana. Langit sudah memutih dan danau kelihatan tidak berwarna sama sekali. Danau ini terkenal memiliki ikan endemik. Bentuknya kecil-kecil seukuran jari kelingking. Masyarakat menyebutnya ikan bilih. Rasanya enak dan harganya mencapai seratus ribu lebih per kilonya.
Kami kesulitan menginap karena Kota Solok tidak memiliki banyak pilihan hotel. Dua buah hotel terpakai untuk sebuah seminar. Kami juga sempat ditolak sebuah hotel karena KTP saya dan Gugun berbeda alamat. Petugas hotel meminta bukti kalau kami sudah menikah. Resepsionis yang bertugas tidak menerima bukti foto pernikahan kami. Setelah berkeliling, akhirnya kami bisa menginap di Hotel Mami yang masih baru.
Pagi hari, saya berjalan-jalan di kota. Saya ingin melihat rumah gadang yang masih dihuni dari dekat. Ada sebuah Rumah Gadang yang masih terawat. Pemiliknya, Nenek Rasidah sudah meninggal. Sekarang rumah tersebut ditempati cucunya. Rumah itu mulai dibangun tahun 78 dan butuh waktu sekitar 5 tahunan untuk meyelesaikannya. Bagian paling lama dalam membuat Rumah Gadang adalah membuat ukiran di kayu surian. Saat ini jumlah pengukir semakin berkurang. Warnanya kebanyakan merah, hitam, kuning, dan coklat. Ongkos mengukir kayu per meter sekitar 600 ribu rupiah. Waktu saya masuk ke dalam rumah, saya terpesona dinding-dinding bangunan. Seluruhnya dari kayu yang sebagian besar berukir.
Rumah Gadang aslinya rumah sebuah kaum. Beberapa keluarga berpatungan untuk membangun tempat berkumpul. Rumah yang masih asli biasanya dilengkapi dengan rumah kecil di halaman. Jumlahnya dua buah. Dahulu gunanya untuk menyimpan beras. Lantai bawah rumah gadang kebanyakan berlantai tanah. Gunanya untukmenyimpan peralatan pertanian atau kandang ayam. Dahulu, rumah-rumah gadang dibangun dengan atap ijuk. Tiap 5 hingga 10 tahun sekali atap rumah tersebut harus diganti. Atap Rumah Gadang berbentuk tanduk kerbau. Banyaknya jumlah gonjong atau ujung tanduk biasanya menandakan berapa banyak ruang di dalam rumah. Sebenarnya saya masih ingin main ke desa-desa. Untuk melihat rumah-rumah gadang lain dan mencicip rendang saat pesta pernikahan. Sayang waktu kami terbatas. Kami harus melanjutkan perjalanan ke tempat lain.
hwaaaaa...ema pengen banget ke Padang..btw foto2nya mbak bagus,,suka deh..:)
BalasHapus