Saya biasa membawa selembar kain lebar tiap bepergian. Kain favorit saya adalah kain sasirangan dari Banjarmasin. Kainnya dingin dan enak dipakai untuk selimut. Pekerjaan (dan hobi) kerap membuat saya berkunjung ke daerah pelosok. Kadang, saya harus menginap di rumah warga untuk bisa melihat keseharian mereka. Jika kebetulan saya mendapat kamar dengan sprei kotor atau tanpa selimut, saya bisa menggunakan kain tersebut sebagai alas tidur.
Di Bali, saya pernah menggunakan kain sasirangan tadi ke sebuah upacara ngaben. Waktu itu saya sedang melakukan penelitian dua minggu di Danau Batur. Penduduk sekitar bercerita jika beberapa hari lagi akan ada upacara ngaben bersama yang diadakan dua tahun sekali. Saya ingin mengikuti acara tersebut seperti layaknya penduduk lokal. Itu artinya saya harus mengenakan kostum mereka. Saya bertanya kepada pemilik penginapan cara mendapatkan kebaya putih. Ia mengantarkan saya ke tukang jahit desa. Kebetulan, saya bertemu seorang ibu yang hamil empat bulan. Karena perempuan hamil tidak boleh sembahyang di pura, ibu tadi memiliki bahan kebaya yang tidak terpakai. Ia menjual kain tersebut kepada saya. Penjahit desa berbaik hati membuatkan kebaya untuk saya secara kilat. Ia tahu saya ingin datang ke upacara ngaben dua hari lagi. Pagi hari sebelum upacara, saya datang untuk mengambil jahitan. Si ibu penjahit membantu saya memakai kain. Untuk bawahannya, saya memakai kain sasirangan yang kemarin menjadi selimut tambahan karena udara Batur sangat dingin.
Selain kain sasirangan, saya sering membawa kain batik madura. Kain bermotif sekar jagat tersebut terbuat dari sutera tipis yang bisa dilipat kecil. Karena kain tadi lemas, saya kerap menggunakannya sebagai selendang. Selain selimut atau rok tiap kehabisan pakaian. Saya biasa membawa kaus warna hitam polos yang terlihat cantik dipadukan dengan kain. Kain ini juga sering saya pakai saat kondangan. Bahannya bisa jatuh dengan enak.
Selain kain lebar, saya kerap membawa syal. Ada yang dari batik, tenun flores, hingga kain dari Toraja. Kebanyakan kain tersebut oleh-oleh dari teman atau hadiah dari tuan rumah yang saya inapi. Ada juga yang ditenun khusus untuk saya oleh tante teman yang tinggal di Maumere. Kata teman, tantenya melihat saya di televisi dan membuatkan seledang. Koleksi syal saya tidak sebanyak dulu. Beberapa hilang di pesawat, perahu, atau bus yang saya tumpangi. Ada juga terselip entah di mana sewaktu saya pindah rumah.
Selain teman jalan, kain punya cerita sendiri dalam hidup saya. Saya dan suami menandai periode penting dalam hidup kami dengan menyimpan kain. Kelak, kami ingin mewariskan kain-kain tersebut pada anak kami. Karena tiap kain menyimpan cerita, kami ingin kain unik untuk disimpan. Kami memulainya dengan membeli sepasang batik waktu menikah. Awalnya, kami ingin membeli sepasang batik motif udan liris. Motif tadi berarti rejeki yang ada terus-menerus. Berkah tersebut bisa diartikan kesehatan, keluarga yang rukun, juga kebahagiaan. Sayangnya, motif ini sulit dicari jika sepasang. Beberapa penjual batik yang kami datangi hanya menjual satu buah. Batik itu seperti tanda-tangan. Motif yang sama akan berbeda jika dibuat tangan lain. Beberapa pembatik yang kami temui berkata bisa menyediakan sepasang kain yang sama dalam waktu dua hingga tiga bulan. Padahal, resepsi tinggal sebulan lagi. Di Pasar Beringharjo kami menemukan penjual kain batik cap dengan motif udan liris. Kain tersebut diwarnai manual di beberapa bagian. Tidak, kami mau batik tulis asli. Saat mencari-cari di internet, kami menemukan sepasang di sebuah toko di Solo. Motifnya cantik. Sayang harganya 11 juta rupiah. Terlalu tinggi untuk kantong kami.
Lokasi pernikahan kami di sebuah situs sejarah di Kotagede. Dua minggu sebelum acara, saya datang ke sana untuk mengecek persiapan resepsi. Tak jauh dari lokasi tadi ada sebuah toko batik. Saya iseng mampir untuk melihat-lihat kain jumputan. Saat melihat-lihat koleksi kain sarimbit mereka, saya jatuh hati dengan sepasang kain motif sidomukti. Kain tadi bermakna harapan supaya pemakainya bisa terbang tinggi dan lambang kemakmuran. Gugun, yang sekarang menjadi suami saya, pun menyukainya. Waktu hari pernikahan, saya memadukan kain tersebut dengan kebaya sederhana yang dibuat dari kain lurik klaten. Kain tadi juga menyediakan kain kecil yang pas dibuat blangkon.
Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego