Minggu, 25 Oktober 2015

Kain Teman Jalan Multifungsi


Saya biasa membawa selembar kain lebar tiap bepergian. Kain favorit saya adalah kain sasirangan dari Banjarmasin. Kainnya dingin dan enak dipakai untuk selimut. Pekerjaan (dan hobi) kerap membuat saya berkunjung ke daerah pelosok. Kadang, saya harus menginap di rumah warga untuk bisa melihat keseharian mereka. Jika kebetulan saya mendapat kamar dengan sprei kotor atau tanpa selimut, saya bisa menggunakan kain tersebut sebagai alas tidur.

 Di Bali, saya pernah menggunakan kain sasirangan tadi ke sebuah upacara ngaben. Waktu itu saya sedang melakukan penelitian dua minggu di Danau Batur. Penduduk sekitar bercerita jika beberapa hari lagi akan ada upacara ngaben bersama yang diadakan dua tahun sekali. Saya ingin mengikuti acara tersebut seperti layaknya penduduk lokal. Itu artinya saya harus mengenakan kostum mereka. Saya bertanya kepada pemilik penginapan cara mendapatkan kebaya putih. Ia mengantarkan saya ke tukang jahit desa. Kebetulan, saya bertemu seorang ibu yang hamil empat bulan. Karena perempuan hamil tidak boleh sembahyang di pura, ibu tadi memiliki bahan kebaya yang tidak terpakai. Ia menjual kain tersebut kepada saya. Penjahit desa berbaik hati membuatkan kebaya untuk saya secara kilat. Ia tahu saya ingin datang ke upacara ngaben dua hari lagi. Pagi hari sebelum upacara, saya datang untuk mengambil jahitan. Si ibu penjahit membantu saya memakai kain. Untuk bawahannya, saya memakai kain sasirangan yang kemarin menjadi selimut tambahan karena udara Batur sangat dingin.

Selain kain sasirangan, saya sering membawa kain batik madura. Kain bermotif sekar jagat tersebut terbuat dari sutera tipis yang bisa dilipat kecil. Karena kain tadi lemas, saya kerap menggunakannya sebagai selendang. Selain selimut atau rok tiap kehabisan pakaian. Saya biasa membawa kaus warna hitam polos yang terlihat cantik dipadukan dengan kain. Kain ini juga sering saya pakai saat kondangan. Bahannya bisa jatuh dengan enak.


Selain kain lebar, saya kerap membawa syal. Ada yang dari batik, tenun flores, hingga kain dari Toraja. Kebanyakan kain tersebut oleh-oleh dari teman atau hadiah dari tuan rumah yang saya inapi. Ada juga yang ditenun khusus untuk saya oleh tante teman yang tinggal di Maumere. Kata teman, tantenya melihat saya di televisi dan membuatkan seledang. Koleksi syal saya tidak sebanyak dulu. Beberapa hilang di pesawat, perahu, atau bus yang saya tumpangi. Ada juga terselip entah di mana sewaktu saya pindah rumah.


Selain teman jalan, kain punya cerita sendiri dalam hidup saya. Saya dan suami menandai periode penting dalam hidup kami dengan menyimpan kain. Kelak, kami ingin mewariskan kain-kain tersebut pada anak kami. Karena tiap kain menyimpan cerita, kami ingin kain unik untuk disimpan. Kami memulainya dengan membeli sepasang batik waktu menikah. Awalnya, kami ingin membeli sepasang batik motif udan liris. Motif tadi berarti rejeki yang ada terus-menerus. Berkah tersebut bisa diartikan kesehatan, keluarga yang rukun, juga kebahagiaan. Sayangnya, motif ini sulit dicari jika sepasang. Beberapa penjual batik yang kami datangi hanya menjual satu buah. Batik itu seperti tanda-tangan. Motif yang sama akan berbeda jika dibuat tangan lain. Beberapa pembatik yang kami temui berkata bisa menyediakan sepasang kain yang sama dalam waktu dua hingga tiga bulan. Padahal, resepsi tinggal sebulan lagi. Di Pasar Beringharjo kami menemukan penjual kain batik cap dengan motif udan liris. Kain tersebut diwarnai manual di beberapa bagian. Tidak, kami mau batik tulis asli. Saat mencari-cari di internet, kami menemukan sepasang di sebuah toko di Solo. Motifnya cantik. Sayang harganya 11 juta rupiah. Terlalu tinggi untuk kantong kami.

Lokasi pernikahan kami di sebuah situs sejarah di Kotagede. Dua minggu sebelum acara, saya datang ke sana untuk mengecek persiapan resepsi. Tak jauh dari lokasi tadi ada sebuah toko batik. Saya iseng mampir untuk melihat-lihat kain jumputan. Saat melihat-lihat koleksi kain sarimbit mereka, saya jatuh hati dengan sepasang kain motif sidomukti. Kain tadi bermakna harapan supaya pemakainya bisa terbang tinggi dan lambang kemakmuran. Gugun, yang sekarang menjadi suami saya, pun menyukainya. Waktu hari pernikahan, saya memadukan kain tersebut dengan kebaya sederhana yang dibuat dari kain lurik klaten. Kain tadi juga menyediakan kain kecil yang pas dibuat blangkon.


Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego

Jumat, 23 Oktober 2015

Berburu Rumah Gadang di Sumatera Barat

Sumatera Barat itu daerah yang berbukit-bukit. Baru sebentar meninggalkan bandara, kami bertemu sebuah air terjun di pinggir jalan. Kami berhenti sebentar untuk mengambil gambar. Saya menyempatkan diri untuk mencuci muka. Sejuk rasanya. Bagian paling menyenangkan dari berkunjung ke Sumatra Barat adalah makanannya. Dari restoran kota hingga warung di desa, propinsi ini penuh dengan masakan enak. Di sini, semua rumah makan menyediakan masakan bersantan kental. Hampir semuanya bisa meramu rempah-rempah dengan pas. Tanda tukang masaknya terbiasa memadukan bumbu selama bertahun-tahun. Ini kali pertama saya mencoba teh telur. Minuman tadi berupa teh yang dibuat dengan kocokan telur. Rasanya hangat. Enak untuk yang sedang flu karena mengandung rempah-rempah dan jeruk nipis. Tiap warung punya ramuan yang berbeda untuk minuman ini. Di propinsi ini, tidak ada yang menggunakan nama Warung Padang. Mereka cukup menyebut Rumah Makan atau Lapau Nasi.


Mumpung di Sumatra Barat, kami mampir sebentar di kelok 9. Jalan yang konon saat ini menjadi infrastruktur termegah di Indonesia. Waktu melalui jembatan tadi, saya terkagum-kagum oleh ukurannya yang super besar. Jalan tadi terdiri dari 4 ruas jalur. Saking besarnya, truk gandeng pun terlihat kecil saat melintasi jembatan tadi. Jalan tersebut berbentuk dua lantai dengan pilar yang tingginya puluhan meter. Tiba-tiba saya nyinyir dalam hati. Entah berapa banyak gunung dikepras untuk membangun jembatan ini. Sedihnya, manusia menyebut merusak alam dengan pembangunan.
Setelah seharian berkeliling Bukittinggi, kami melanjutkan perjalanan ke Solok.


Dalam perjalanan, kami mampir sebentar ke Istana Pagaruyung di Batu Sangkar. Rumah gadang ini memiliki empat tanduk. Istananya memiliki jendela dan pintu-pintu besar dan terlihat baru. Saya baru tahu kalau beberapa tahun lalu istana ini pernah terbakar. Bagian dalam bangunan ini penuh dengan kain bersulam. Ingin rasanya memiliki sebuah untuk dikoleksi. Saya suka ukir-ukiran yang memenuhi seluruh bangunan. Bentuknya bunga dan sulur-sulur. Di berbagai tempat yang kuat pengaruh Islamnya, ukiran selalu menggunakan tumbuhan. Tujuannya untuk menghindari pemujaan terhadap binatang atau benda hidup. Seluruh bangunan terbuat dari kayu berwarna kekuningan. Pengunjung ingin berfoto di istana bisa menyewa baju adat di lantai dasar.


Sebelum masuk ke Kota Solok, kami mampir sebentar di Danau Singkarak. Sayang, kami terlalu sore waktu sampai ke sana. Langit sudah memutih dan danau kelihatan tidak berwarna sama sekali. Danau ini terkenal memiliki ikan endemik. Bentuknya kecil-kecil seukuran jari kelingking. Masyarakat menyebutnya ikan bilih. Rasanya enak dan harganya mencapai seratus ribu lebih per kilonya.
Kami kesulitan menginap karena Kota Solok tidak memiliki banyak pilihan hotel. Dua buah hotel terpakai untuk sebuah seminar. Kami juga sempat ditolak sebuah hotel karena KTP saya dan Gugun berbeda alamat. Petugas hotel meminta bukti kalau kami sudah menikah. Resepsionis yang bertugas tidak menerima bukti foto pernikahan kami. Setelah berkeliling, akhirnya kami bisa menginap di Hotel Mami yang masih baru.


Pagi hari, saya berjalan-jalan di kota. Saya ingin melihat rumah gadang yang masih dihuni dari dekat. Ada sebuah Rumah Gadang yang masih terawat. Pemiliknya, Nenek Rasidah sudah meninggal. Sekarang rumah tersebut ditempati cucunya. Rumah itu mulai dibangun tahun 78 dan butuh waktu sekitar 5 tahunan untuk meyelesaikannya. Bagian paling lama dalam membuat Rumah Gadang adalah membuat ukiran di kayu surian. Saat ini jumlah pengukir semakin berkurang. Warnanya kebanyakan merah, hitam, kuning, dan coklat. Ongkos mengukir kayu per meter sekitar 600 ribu rupiah. Waktu saya masuk ke dalam rumah, saya terpesona dinding-dinding bangunan. Seluruhnya dari kayu yang sebagian besar berukir.


Rumah Gadang aslinya rumah sebuah kaum. Beberapa keluarga berpatungan untuk membangun tempat berkumpul. Rumah yang masih asli biasanya dilengkapi dengan rumah kecil di halaman. Jumlahnya dua buah. Dahulu gunanya untuk menyimpan beras. Lantai bawah rumah gadang kebanyakan berlantai tanah. Gunanya untukmenyimpan peralatan pertanian atau kandang ayam. Dahulu, rumah-rumah gadang dibangun dengan atap ijuk. Tiap 5 hingga 10 tahun sekali atap rumah tersebut harus diganti.  Atap Rumah Gadang berbentuk tanduk kerbau. Banyaknya jumlah gonjong atau ujung tanduk biasanya menandakan berapa banyak ruang di dalam rumah. Sebenarnya saya masih ingin main ke desa-desa. Untuk melihat rumah-rumah gadang lain dan mencicip rendang saat pesta pernikahan. Sayang waktu kami terbatas. Kami harus melanjutkan perjalanan ke tempat lain.

Rabu, 21 Oktober 2015

Singo Wulung, Perajin Kuningan, dan Gerbong Maut di Bondowoso

Ini kali keempat saya berkunjung ke Bondowoso. Setelah mendarat di Surabaya, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil sewaan selama empat jam.  Tujuan pertama kami, alun-alun Kota Bondowoso. Kami datang ke sana untuk meliput Pameran Potensi Desa yang diadakan oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Karena pelaksanaan pameran tersebut bersamaan dengan Hari Jadi Bondowoso yang ke 196, kami beruntung bisa bertemu dengan berbagai komunitas lokal. Seperti komunitas pecinta vespa dan sepeda onthel. Mereka mengadakan pawai. Beramai-ramai berkendara dengan baju daerah atau busana gaya opsir Belanda.Tadinya saya berniat meminjam sepeda untuk numpang foto-foto. Apa daya baterai hape habis dan saya tidak membawa kamera. :D

Kami juga sempat menyaksikan karnaval panjang yang berisi ratusan anak-anak PAUD dan TK. Mereka mengenakan kostum warna-warni. Sebagian besar terbuat dari bahan daur ulang. Baju mereka kebanyakan bertema sayur, bunga, buah, dan tanaman. Bondowoso merupakan daerah pertanian. Mata pencaharian 40% penduduknya dari pertanian.  



Kami juga sempat melihat berbagai macam kesenian tradisional Bondowoso. Ada kesenian Singo Wulung yang berbadan besar mirip beruang putih. Dua orang yang menari di dalam kostum berkulit tebal tadi. Di puncak pertunjukan, singa-singa ini meloncati api. Saya ngeri membayangkan kalau mereka meleset sedikit saja. Kostum berat tadi terbuat dari kain yang mudah terbakar. Yang tidak kalah menarik, ada arak-arakan patung besar dengan lampu warna-warni. Rombongan ini diiringi penari-penari dan penyanyi. Ada beberapa penari pria dengan baju loreng merah putih menari sambil mengibas-ngibaskan clurit. Awalnya, saya berpikir itu clurit bohongan. Saya baru tahu kalau senjata tadi terbuat dari besi tajam saat para penari menggoreskannya ke aspal. Muncul bunga-bunga api. Bagaimana kalau tidak sengaja terkena orang? Mereka kan meloncat ke sana ke mari?

Saya baru tahu kalau separuh penduduk Bondowoso adalah etnis Madura. Pantas! Selama di sana, saya bertemu dengan banyak orang yang bercakap-cakap dalam Bahasa Madura. Budaya Madura juga masuk ke kuliner. Sebagian rumah makan di sana menyajikan masakan Madura seperti sate kambing dan kaldu. Etnis Madura ini sudah tinggal di Bondowoso selama beberapa generasi. Namun, mereka masih memegang tradisi dan bahasanya. Di daerah pedesaan bahkan banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia atau Bahasa Jawa.

Saat mengelilingi kota untuk mengambil gambar, saya dan Gugun berhenti sebentar di sebuah stasiun kereta kuno yang tidak lagi digunakan. Bangunan Belanda yang cantik tadi sepertinya baru saja direnovasi. Catnya masih bersih. Saya penasaran dengan peristiwa yang disebut dengan peristiwa gerbong maut. Cerita ini berkali-kali disebut di pembukaan pameran. Di tengah kota, saya juga melihat monumen gerbong maut. Saya baru tahu setelah bertanya ke beberapa orang. Jadi, dahulu pada tahun 47, Belanda ingin menguasai kembali Indonesia. Mereka menangkapi orang-orang yang diduga akan memberontak. Banyak diantaranya petani yang tidak tahu apa-apa.


Karena terlalu banyak orang ditangkap, penjara Bondowoso penuh. Belanda kemudian berniat memindahkan 100 orang tahanan ke Surabaya. Mereka memindahkan tahanan lewat kereta. Tahanan berangkat dari Stasiun Bondowoso dengan gerbong barang. Mereka berdesakan di gerbong yang tidak memiliki jendela. Siang hari, setelah menempuh beberapa jam perjalanan, udara dalam gerbong menjadi sangat panas. Puluhan tahanan meninggal karena mati lemas.

Lokasi yang kami datangi berikutnya adalah perajin kuningan di Desa Cindogo. Hampir seluruh penduduk desa ini bekerja sebagai pembuat kuningan. Kebanyakan beretnis Madura. Perajin yang sekarang merupakan generasi ke tiga para perajin gamelan pada masa belanda. Jaman berganti, dan mereka harus melakukan pelebaran konsumen untuk bertahan. Para perajin kuningan mulai membuat bokor untuk rias pengantin dan cetakan kue. Mereka mengalami masa keemasan pada tahun 90-an. Sebelum krisis moneter, harga kuningan murah. Perajin mendapat banyak keuntungan dari selisih harga jual. Sampai muncul krisis moneter yang melambungkan harga bahan baku. Kuningan yang tadinya sekilo hanya seharga enam ribu rupiah melonjak menjadi empat puluh lima ribu rupiah.
 Perajin sempat kesulitan pemasaran. Mereka kemudian berubah memproduksi souvenir. Kuningan-kuningan tersebut dicat sehingga lebih menarik. Produknya juga semakin bervariasi. Mulai dari vas bunga hingga patung hiasan meja. Selain di Bondowoso, kerajinan ini bisa ditemui dengan mudah di Pasar Bringharjo.