Jumat, 13 November malam, saya dan blogger lain peserta Travel Writer Gathering berkendara menuju Sembalun. Kami butuh dua jam untuk sampai di Penginapan Nauli. Malam itu, langit cerah. Karena di sana tidak banyak lampu, kami bisa memandang ribuan bintang betebaran. Sayang, hawa dingin membuat saya memilih cepat-cepat masuk kamar. Mas Teguh mewakili penyelenggara berkata kalau esok hari kami harus bangun pukul empat pagi. Rencananya akan ada trekking untuk melihat matahari terbit di Pergangsingan. Yang konon merupakan titik terindah di Sembalun.
Saya langsung nyengir. Sebelum berangkat ke Lombok, saya baru saja bergadang berhari-hari untuk membuat poster. Masa liburan masih harus kurang tidur? Saya bahkan hampir tergoda bergabung saat beberapa pemandu menunjukkan foto-foto yang mereka ambil dari Pergangsingan. Cantik. Tapi apa sepadan dibayar dengan bangun pagi dan mendaki dua jam? Rijani yang memiliki ketinggian 3.726 m ini merupakan gunung ketiga tertinggi di Indonesia. Para pendaki kerap menjulukinya Sang Dewi karena keindahan pemandangannya. Beberapa kenalan saya bahkan pernah mendaki gunung ini lebih dari sekali. Saya akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di desa saja esok pagi. Toh suatu saat nanti saya pasti akan kembali untuk sampai ke puncaknya.
Untung saja ada Punky dan Yusuf yang mau diajak jalan-jalan malas saja. Sebangunnya. Karena mencari tempat tinggi untuk melihat matahari terbit terlalu mainstream. Sekitar jam 6 pagi saya bangun. Matahari sudah mulai naik. Saya kemudian mandi dan mengajak Yusuf untuk berjalan kaki mengelilingi penginapan. Punky yang masih tidur sebaiknya tidak kami ganggu. Sebenarnya kalau ingin melihat Rinjani kami tidak perlu jauh-jauh. Tinggal buka pintu kamar, pemandangannya sudah gunung.
Sepanjang perjalanan, kami menyusuri sawah-sawah yang mengering. Bahkan, ada kebun yang menyisakan tomat-tomat merah yang mulai membusuk. Mungkin, harga panen sedang jatuh sehingga petani memilih untuk tidak memetiknya. Matahari di Lombok lebih terik dan cepat tinggi jika dibndingkan dengan di Jawa. Baru pukul tujuh saja langit sudah membiru. Untunglah ada Yusuf yang bisa dimintai tolong mengambil foto. Hingga saya bisa memiliki gambar untuk kampanye bawa buku ke mana saja.
Rombongan lain baru pulang ke penginapan mendekati pukul dua belas. Setelah mereka bersih-bersih, kami melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini kami menikmati masakan khas Sembalun di rumah Rial, salah seorang pemandu. Mulai dari pepes kepiting yang enak tapi saya cuma bisa icip sedikit gara-gara alergi. Sup buncis dengan daun kacang yang disebut kelak batih. Juga banteq Nganga—semacam sup campuran cabe rawit dan ikan teri. Lebih seru lagi, makanan ini dimakan dengan beras merah. Saya yang bukan penyuka masakan pedas saja sampai nambah. Enaknya, makanan ini tidak punya rasa pahit. Saya baru tahu kalau ibu-ibu ini tidak menambahkan msg ke dalam masakannya.
Kami kemudian pergi ke rumah adat Desa Beleq di Kecamatan Khayangan. Desa tersebut dikelilingi oleh rumpun bambu. Uniknya, pohon-pohon ini dikerangkeng dalam lingkaran. Biasanya hal tersebut dipakai untuk menandai kepemilikan. Setiap datang ke pedesaan Lombok, saya selalu melihat banyak rumpun bambu. Masyarakat masih menggunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari membuat rumah, kandang ayam, hingga keranda. Meskipun bambu tadi ditanam perseorangan, tetangga yang membutuhkan bambu bisa memintanya. Kami jalan-jalan sebentar di rumah adat. Rumah-rumah tersebut menggunakan rumput ilalang kering sebagai atap. Masyarakat setempat menyebutnya rae.
Hanya ada 7 rumah di dalam komplek Rumah Adat Beleq. Konon katanya, rumah-rumah itu tadinya dihuni 7 pasang orang pertama yang tinggal di Lombok. Mereka merupakan moyang orang Sembalun. Bentuknya serupa. Berdinding bambu dan memiliki pintu yang tingginya sekitar satu setengah meter. Katanya, supaya tamu menunduk saat masuk rumah. Lantainya masih berupa tanah yang dipadatkan. Bangunan tersebut tetap dipertahankan seperti bentuknya semula. Di daerah lain, atap rumah tradisioanal dari ilalang sudah mulai berganti. Atap tersebut kerap dinilai tidak praktis karena harus diganti tiap 5 sampai 10 tahun sekali. Kami melewatkan sesi mampir di kebun strawberry dan air terjun supaya bisa sampai di Senggigi sebelum senja.
Rencananya, kami menginap di Resort d’Oria. Dari hasil googling sebelumnya, saya menemukan kalau penginapan ini tepat menghadap matahari terbenam. Pengen cepat ke sana karena pagi hari saya harus terbang subuh. Kami sampai di kawasan Senggigi pukul 5 sore. Di d’Oria, kami disambut dengan ramah oleh Mbak Iva—resort managernya. Mereka memberi kami minuman dingin dan handuk hangat untuk membasuh muka. Ah baik sekali.Mungkin karena tampang kami terlihat kucel dan capai.
D’Oria Resort, Lombok memiliki kamar-kamar yang didesain secara tematik. Ada ruang batu, daun, dan bambu. Kursi, tempat tidur, cermin, dan aksesorisnya menyesuaikan tema tadi. Saya sekamar dengan Dian di kamar leaf. Bagian paling saya suka dari ruangan tersebut adalah: kamar mandi. Luas dan temboknya terbuat dari batu alam. Tembok dan lantainya tersusun dari batu dan keramik bertekstur indah.
Dan keinginan menutup hari ini dengan menikmati sunset di pantai terwujud. Kami tinggal menyebrang jalan. Malamnya, kami makan nasi bogem di restoran hotel. Itu nasi bungkus yang isinya ikan tuna dan sambal. Enak banget sumpah. Hampir pengen nambah kalau tidak ingat kami harus mencari oleh-oleh sebelum larut malam.