Sabtu, 28 November 2015

Memandang Dewi Anjani dari Sembalun, Lombok


Jumat, 13 November malam, saya dan blogger lain peserta Travel Writer Gathering berkendara menuju Sembalun. Kami butuh dua jam untuk sampai di Penginapan Nauli. Malam itu, langit cerah. Karena di sana tidak banyak lampu, kami bisa memandang ribuan bintang betebaran. Sayang, hawa dingin membuat saya memilih cepat-cepat masuk kamar. Mas Teguh mewakili penyelenggara berkata kalau esok hari kami harus bangun pukul empat pagi. Rencananya akan ada trekking untuk melihat matahari terbit di Pergangsingan. Yang konon merupakan titik terindah di Sembalun.

Saya langsung nyengir. Sebelum berangkat ke Lombok, saya baru saja bergadang berhari-hari untuk membuat poster. Masa liburan masih harus kurang tidur? Saya bahkan hampir tergoda bergabung saat beberapa pemandu menunjukkan foto-foto yang mereka ambil dari Pergangsingan. Cantik. Tapi apa sepadan dibayar dengan bangun pagi dan mendaki dua jam? Rijani yang memiliki ketinggian 3.726 m ini merupakan gunung ketiga tertinggi di Indonesia. Para pendaki kerap menjulukinya Sang Dewi karena keindahan pemandangannya. Beberapa kenalan saya bahkan pernah mendaki gunung ini lebih dari sekali. Saya akhirnya memutuskan untuk berjalan-jalan di desa saja esok pagi. Toh suatu saat nanti saya pasti akan kembali untuk sampai ke puncaknya.


Untung saja ada Punky dan Yusuf yang mau diajak jalan-jalan malas saja. Sebangunnya. Karena mencari tempat tinggi untuk melihat matahari terbit terlalu mainstream. Sekitar jam 6 pagi saya bangun. Matahari sudah mulai naik. Saya kemudian mandi dan mengajak Yusuf untuk berjalan kaki mengelilingi penginapan. Punky yang masih tidur sebaiknya tidak kami ganggu. Sebenarnya kalau ingin melihat Rinjani kami tidak perlu jauh-jauh. Tinggal buka pintu kamar, pemandangannya sudah gunung.


 Sepanjang perjalanan, kami menyusuri sawah-sawah yang mengering. Bahkan, ada kebun yang menyisakan tomat-tomat merah yang mulai membusuk. Mungkin, harga panen sedang jatuh sehingga petani memilih untuk tidak memetiknya. Matahari di Lombok lebih terik dan cepat tinggi jika dibndingkan dengan di Jawa. Baru pukul tujuh saja langit sudah membiru. Untunglah ada Yusuf yang bisa dimintai tolong mengambil foto. Hingga saya bisa memiliki gambar untuk kampanye bawa buku ke mana saja.


Rombongan lain baru pulang ke penginapan mendekati pukul dua belas. Setelah mereka bersih-bersih, kami melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini kami menikmati masakan khas Sembalun di rumah Rial, salah seorang pemandu. Mulai dari pepes kepiting yang enak tapi saya cuma bisa icip sedikit gara-gara alergi. Sup buncis dengan daun kacang yang disebut kelak batih. Juga banteq Nganga—semacam sup campuran cabe rawit dan ikan teri. Lebih seru lagi, makanan ini dimakan dengan beras merah. Saya yang bukan penyuka masakan pedas saja sampai nambah. Enaknya, makanan ini tidak punya rasa pahit. Saya baru tahu kalau ibu-ibu ini tidak menambahkan msg ke dalam masakannya.




Kami kemudian pergi ke rumah adat Desa Beleq di Kecamatan Khayangan. Desa tersebut dikelilingi oleh rumpun bambu. Uniknya, pohon-pohon ini dikerangkeng dalam lingkaran. Biasanya hal tersebut dipakai untuk menandai kepemilikan. Setiap datang ke pedesaan Lombok, saya selalu melihat banyak rumpun bambu. Masyarakat masih menggunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari membuat rumah, kandang ayam, hingga keranda. Meskipun bambu tadi ditanam perseorangan, tetangga yang membutuhkan bambu bisa memintanya. Kami jalan-jalan sebentar di rumah adat. Rumah-rumah tersebut menggunakan rumput ilalang kering sebagai atap. Masyarakat setempat menyebutnya rae.


Hanya ada 7 rumah di dalam komplek Rumah Adat Beleq. Konon katanya, rumah-rumah itu tadinya dihuni 7 pasang orang pertama yang tinggal di Lombok. Mereka merupakan moyang orang Sembalun. Bentuknya serupa. Berdinding bambu dan memiliki pintu yang tingginya sekitar satu setengah meter. Katanya, supaya tamu menunduk saat masuk rumah. Lantainya masih berupa tanah yang dipadatkan. Bangunan tersebut tetap dipertahankan seperti bentuknya semula. Di daerah lain, atap rumah tradisioanal dari ilalang sudah mulai berganti. Atap tersebut kerap dinilai tidak praktis karena harus diganti tiap 5 sampai 10 tahun sekali. Kami melewatkan sesi mampir di kebun strawberry dan air terjun supaya bisa sampai di Senggigi sebelum senja.

Rencananya, kami menginap di Resort d’Oria. Dari hasil googling sebelumnya, saya menemukan kalau penginapan ini tepat menghadap matahari terbenam. Pengen cepat ke sana karena pagi hari saya harus terbang subuh. Kami sampai di kawasan Senggigi pukul 5 sore. Di d’Oria, kami disambut dengan ramah oleh Mbak Iva—resort managernya. Mereka memberi kami minuman dingin dan handuk hangat untuk membasuh muka. Ah baik sekali.Mungkin karena tampang kami terlihat kucel dan capai.


 D’Oria Resort, Lombok memiliki kamar-kamar yang didesain secara tematik. Ada ruang batu, daun, dan bambu. Kursi, tempat tidur, cermin, dan aksesorisnya menyesuaikan tema tadi. Saya sekamar dengan Dian di kamar leaf. Bagian paling saya suka dari ruangan tersebut adalah: kamar mandi. Luas dan temboknya terbuat dari batu alam. Tembok dan lantainya tersusun dari batu dan keramik bertekstur indah.


 Dan keinginan menutup hari ini dengan menikmati sunset di pantai terwujud. Kami tinggal menyebrang jalan. Malamnya, kami makan nasi bogem di restoran hotel. Itu nasi bungkus yang isinya ikan tuna dan sambal. Enak banget sumpah. Hampir pengen nambah kalau tidak ingat kami harus mencari oleh-oleh sebelum larut malam.



Rabu, 18 November 2015

Pantai, Gili, dan Langit Biru di Lombok

Hore… Jalan-jalan lagi. Kali ini saya dan rombongan blogger akan mengelilingi pantai dan pulau di Lombok Timur. Perjalanan ini bagian dari acara bernama TWGathering. Kegiatan yang diadakan oleh Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB ini bertujuan mempromosikan wisata di Lombok dan Sumbawa. Dari Kota Mataram kami berkendara sekitar dua jaman ke tempat bernama Tanjung Luar. Setelah berganti baju, kami menyebrang dengan kapal ukuran 8x 1 meter. Untung kapalnya cukup besar, jadi kami tidak terlalu merasakan guncangan ombak.

Pagi itu langit sangat cerah. Warna birunya membayang di air laut. Di beberapa tempat yang lebih dangkal, laut berwarna toska. Beberapa saat setelah meninggalkan daratan, kami bertemu bagan di tengah laut. Bangunan dari bambu tadi menurut pemandu kami dipakai untuk menangkap lobster. Ratusan camar bersayap putih bertengger di bagan-bagan tadi. Mereka terbang ke segala arah saat perahu mendekat. Cantik. Sayang, lensa kamera saya terlalu pendek untuk memoto mereka.

Kami tiba di pulau pertama. Namanya Gili Sunut. Senang rasanya turun dari kapal. Disambut langit biru, pasir putih, dan air yang jernih, kurang apa coba? Pulau ini dulu pernah dihuni waktu jaman Jepang. Sekarang tinggal sisa-sisa rumah yang rusak dan ditinggalkan. Sekeliling pulau penuh dengan pohon banten yang biasa dipakai sebagai pembatas kebun atau pekarangan rumah. Entah kenapa pohon tadi meranggas. Batangnya bergelombang tanpa daun. Saat yang lain berjalan-jalan di pulau, saya memilih untuk duduk dan membaca buku. Seperti biasa, saya menyempatkan diri berfoto untuk akun media sosial. Yoi demi kampanye bawalah (dan baca) buku di mana saja.

Kaki saya beberapa kali hampir kena pecahan kaca. Awalnya, saya heran darimana datangnya sampah tadi. Saya kemudian teringat kalau kaca butuh waktu hingga ribuan tahun untuk terurai. Bisa jadi itu sisa kaca puluhan tahun lalu. Berhubung sudah waktunya makan, kami pergi ke Pantai Pink. Pantai Tangsi ini lebih dikenal dengan nama tadi karena pasirnya berwarna merah muda saat terkena sinar matahari. Warna tersebut berasal dari pecahan hewan-hewan laut. Pulau ini juga bisa ditempuh lewat jalan darat dari Lombok.
 Di sana kami bertemu serombongan turis yang mengendarai motor.

Kami singgah untuk makan siang di salah satu warung. Ternyata operator travel kami sudah menyiapkan berbagai masakan laut. Ada beberapa jenis ikan dibakar, sotong, sampai ikan kuah kuning. Dan, tak ketinggalan selalu ada sambal yang lebih dari satu macam. Namanya juga blogger, dan tidak bisa lepas dari media sosial, teman-teman berebut untuk memoto makanan. Usai makan, kami jalan-jalan sebentar ke atas bukit. Kami bisa melihat keseluruhan lekuk Dari sana Pantai Pink. Ternyata di balik bukit juga ada pantai lain. Sayang mendung tebal, langit mendadak berubah jadi kelabu. Waktu kami hendak turun, tiba-tiba hujan deras turun. Berteduhlah kami di sebuah dagau nelayan. Seorang kakek sedang menjalin jaring ikan di sana.


Usai hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Waktunya snorkeling! Seharusnya kami snorkeling di Semangkok--kawasan yang terkenal sebagai sumur ikan. Katanya sih, ada banyak ikan warna-warni di sana. Berhubung arus air sedang keras, kami memilih tempat lain. Bahaya kan kalau terhempas ombak ke karang. Keselamatan itu yang pertama. Tapi, saya sudah puas kok snorkling di tempat ini. Airnya jernih dan terumpu karangnya masih rapat. Kami kemudian melanjutkan snorkling ke tempat lain bernama Gili Petelu.

Dalam perjalanan pulang, kami mampir di Gili Kambing. Pulau ini salah satu pulau yang tingginya tergantung dengan pasang surut air laut. Saat kami berangkat tadi, pulau ini terendam air. Setelah sore, timbul pasir berwarna putih. Kalau mau, kami bisa jalan kaki ke Gili Maringkik. Dari jauh saya bisa melihat perumahan penduduk di sana. Seluruh penduduk di pulau tadi hidup sebagai nelayan. Aduh, sepertinya seru kalau bisa tinggal di sana beberapa hari untuk membuat film pendek.

Bagian terasyik dari pulau ini adalah bintang laut lucu betebaran di mana-mana. Warnanya pink dan oranye. Sebelum memoto kami sempat berdebat. Bintang laut kan hidupnya di air. Mengambilnya dari laut sama saja dengan memisahkannya dengan oksigen. Untung saja bintang laut jenis tadi masih bisa diangkat dari laut. Ingat, jangan lama-lama. Kami kemudian pergi ke Gili Pasir untuk melihat matahari terbenam. Kami kemudian kembali ke Tanjung Luar.

Setelah menumpang mandi sebentar di sebuah Pom bensin, kami melanjutkan makan malam di Rumah Makan Kelor di daerah Pancor. Rumah makan tadi menyajikan hidangan khas Lombok Timur. Dan, saya suka makanannya. Meskipun lagi-lagi pedas bukan main. Saya tertarik dengan menu yang disebut Kelak kuning. Itu semacam sayur labu dengan daging ayam yang dimasak dengan kuah kunyit kental. Saya sampai menemui tukang masaknya untuk menanyakan bumbunya. Mereka ternyata menambahkan kemiri untuk membuat masakan gurih.

Kami sampai di Wisma Nauli, Sembalun jam 10 malam lebih. Saya kemudian tertidur dengan lelap. Udara di sini dingin dan sejuk untuk tidur. Apalagi selarian tadi lelah. Saya tertidur dengan damai. Ini hari yang menyenangkan.

Senin, 16 November 2015

Tenun dan Kumpul Blogger di Lombok


Jam 6 kurang, saya sudah menunggu bus damri menuju Bandara Soekarno Hatta. Penerbangan saya ke Lombok masih pukul 09.05.  Saya sengaja berangkat lebih awal supaya tidak terjebak macet. Di Bandara sudah ada Indri dan Adhi. Rencananya kami akan liburan bersama blogger dari daerah lain dalam acara TWGathering2015.

Malam sebelumnya, bandara tutup karena debu Letusan Gunung Barujari membahayakan penerbangan. Kalau nanti tidak bisa terbang ke Lombok, kami berniat mendarat di Bali dan menyewa mobil sampai tujuan. Berhubung kami sama-sama penyuka buku, kami menghabiskan waktu menunggu untuk membahas buku bagus. Kami menyempatkan diri foto bersama sedang membaca buku. Saya langsung memposting foto tadi di media sosial. Ceritanya saya sedang mengkampanyekan bacalah buku di mana saja. Jadi sebisa mungkin berusaha memposting foto buku itu teman perjalanan. Setelah terlambat lebih dari satu jam dari jadwal, akhirnya kami terbang juga.
Di Bandara, kami bertemu Yusuf, blogger dari Bandung yang akan jadi rombongan kami. Menurut jadwal, acara jalan-jalan baru akan dimulai besok. Berhubung hari masih siang, kami merasa rugi hanya berdiam diri di hotel. Kami kemudian memutuskan untuk melihat-lihat pembuatan tenun di Desa Sukarara.


Di desa tersebut ada sebuah showroom kerajinan tenun. Kami langsung disambut puluhan kain warna-warni yang tergantung di luar bangunan. Seorang pemandu menyambut kedatangan kami. Ia menemani kami berkeliling ke rumah para penenun. Sebagian perempuan di sana tiap hari menenun di depan rumah. Penenun pertama yang kami temui usianya baru 9 tahun. Ia membuat kain motif rang-rang. Motif tadi berbentuk jajar genjang warna-warni. Di pedesaan Lombok, seorang anak perempuan belajar menenun sejak kecil. Supaya mereka belajar bersabar. Untuk menghasilkan sebuah kain, ia harus duduk berjam-jam. Hal tersebut diulangi hinga dua sampai empat minggu. Semakin lebar dan rumit motif sebuah kain, membutuhkan waktu semakin lama untuk menyelesaikannya.

Dahulu menenun merupakan pekerjaan sampingan. Seseorang hanya melakukanya di sela-sela bercocok tanam. Sejak turisme datang ke Lombok, penduduk membuat kain-kain ini untuk dijual. Motif-motif buatan mereka kebanyakan berupa tanaman atau benda yang ada di sekitarnya. Seperti gambar nanas, ayam, lumbung padi. Kain dengan motif rumit ini biasanya digunakan pada saat upacara adat. Untuk keperluan sehari-hari, penduduk banyak menggunakan motif sabuk anteng. Motif yang hanya garis-garis tadi biasa dipakai untuk menggendong bayi supaya tertidur. Saat ini banyak dijual dalam bentuk syal. Di beberapa tempat, seorang perempuan menyiapkan kain yang ia pakai untuk menikah. Kain ini kelak akan mereka wariskan ke anak perempuannya.


Mumpung bertemu banyak blogger, kami merumpikan teman-teman lain yang jam terbangnya lebih tinggi. Ada banyak orang iri dengan travel blogger yang dibayar untuk bersenang-senang di suatu daerah. Sayang mereka tidak berpikir untuk bisa mendapatkan hal itu ada banyak pengorbanan dibelakangnya. Ada yang bangun jam 3 pagi untuk menulis atau menyiapkan posting di media sosial. Ada juga yang selalu meninggalkan komentar di puluhan blog sebelum tidur untuk memperkenalkan diri. Orang yang langganan menang lomba pun sebelumnya belajar dan bekerja keras bertahun-tahun untuk punya tulisan atau foto bagus. Ada banyak disiplin lain yang tidak terlihat. Kami sih cukup tahu diri untuk tidak iri karena pengorbanan yang kami lakukan belum sebesar itu.


Menjelang magrib, kami pulang ke hotel untuk mandi. Setelah itu kami makan di Rumah Makan Raja Taliwang di Jalan Sudirman. Pecinta sambal pasti kegirangan mendapat menu yang kami santap. Ada lima macam sambal tersaji. Mulai dari sambal mangga, dua jenis sambal kacang, sambal dari potongan terung yang disebut beberok, dan sambal dengan terung bakar. Saya yang tidak kuat dengan masakan pedas harus hati-hati. Meski demikian, saya tetap manambah nasi. Campuran antara lapar dan enak. Sebelum pulang, saya menyempatkan diri memoto detail restoran. Saya suka bangunan rumah makan ini. Dari bambu dan beratap ilalang. Sebagian ruangannya terbuka. Meja dan kursinya dari kayu tidak difinishing.

Minggu, 25 Oktober 2015

Kain Teman Jalan Multifungsi


Saya biasa membawa selembar kain lebar tiap bepergian. Kain favorit saya adalah kain sasirangan dari Banjarmasin. Kainnya dingin dan enak dipakai untuk selimut. Pekerjaan (dan hobi) kerap membuat saya berkunjung ke daerah pelosok. Kadang, saya harus menginap di rumah warga untuk bisa melihat keseharian mereka. Jika kebetulan saya mendapat kamar dengan sprei kotor atau tanpa selimut, saya bisa menggunakan kain tersebut sebagai alas tidur.

 Di Bali, saya pernah menggunakan kain sasirangan tadi ke sebuah upacara ngaben. Waktu itu saya sedang melakukan penelitian dua minggu di Danau Batur. Penduduk sekitar bercerita jika beberapa hari lagi akan ada upacara ngaben bersama yang diadakan dua tahun sekali. Saya ingin mengikuti acara tersebut seperti layaknya penduduk lokal. Itu artinya saya harus mengenakan kostum mereka. Saya bertanya kepada pemilik penginapan cara mendapatkan kebaya putih. Ia mengantarkan saya ke tukang jahit desa. Kebetulan, saya bertemu seorang ibu yang hamil empat bulan. Karena perempuan hamil tidak boleh sembahyang di pura, ibu tadi memiliki bahan kebaya yang tidak terpakai. Ia menjual kain tersebut kepada saya. Penjahit desa berbaik hati membuatkan kebaya untuk saya secara kilat. Ia tahu saya ingin datang ke upacara ngaben dua hari lagi. Pagi hari sebelum upacara, saya datang untuk mengambil jahitan. Si ibu penjahit membantu saya memakai kain. Untuk bawahannya, saya memakai kain sasirangan yang kemarin menjadi selimut tambahan karena udara Batur sangat dingin.

Selain kain sasirangan, saya sering membawa kain batik madura. Kain bermotif sekar jagat tersebut terbuat dari sutera tipis yang bisa dilipat kecil. Karena kain tadi lemas, saya kerap menggunakannya sebagai selendang. Selain selimut atau rok tiap kehabisan pakaian. Saya biasa membawa kaus warna hitam polos yang terlihat cantik dipadukan dengan kain. Kain ini juga sering saya pakai saat kondangan. Bahannya bisa jatuh dengan enak.


Selain kain lebar, saya kerap membawa syal. Ada yang dari batik, tenun flores, hingga kain dari Toraja. Kebanyakan kain tersebut oleh-oleh dari teman atau hadiah dari tuan rumah yang saya inapi. Ada juga yang ditenun khusus untuk saya oleh tante teman yang tinggal di Maumere. Kata teman, tantenya melihat saya di televisi dan membuatkan seledang. Koleksi syal saya tidak sebanyak dulu. Beberapa hilang di pesawat, perahu, atau bus yang saya tumpangi. Ada juga terselip entah di mana sewaktu saya pindah rumah.


Selain teman jalan, kain punya cerita sendiri dalam hidup saya. Saya dan suami menandai periode penting dalam hidup kami dengan menyimpan kain. Kelak, kami ingin mewariskan kain-kain tersebut pada anak kami. Karena tiap kain menyimpan cerita, kami ingin kain unik untuk disimpan. Kami memulainya dengan membeli sepasang batik waktu menikah. Awalnya, kami ingin membeli sepasang batik motif udan liris. Motif tadi berarti rejeki yang ada terus-menerus. Berkah tersebut bisa diartikan kesehatan, keluarga yang rukun, juga kebahagiaan. Sayangnya, motif ini sulit dicari jika sepasang. Beberapa penjual batik yang kami datangi hanya menjual satu buah. Batik itu seperti tanda-tangan. Motif yang sama akan berbeda jika dibuat tangan lain. Beberapa pembatik yang kami temui berkata bisa menyediakan sepasang kain yang sama dalam waktu dua hingga tiga bulan. Padahal, resepsi tinggal sebulan lagi. Di Pasar Beringharjo kami menemukan penjual kain batik cap dengan motif udan liris. Kain tersebut diwarnai manual di beberapa bagian. Tidak, kami mau batik tulis asli. Saat mencari-cari di internet, kami menemukan sepasang di sebuah toko di Solo. Motifnya cantik. Sayang harganya 11 juta rupiah. Terlalu tinggi untuk kantong kami.

Lokasi pernikahan kami di sebuah situs sejarah di Kotagede. Dua minggu sebelum acara, saya datang ke sana untuk mengecek persiapan resepsi. Tak jauh dari lokasi tadi ada sebuah toko batik. Saya iseng mampir untuk melihat-lihat kain jumputan. Saat melihat-lihat koleksi kain sarimbit mereka, saya jatuh hati dengan sepasang kain motif sidomukti. Kain tadi bermakna harapan supaya pemakainya bisa terbang tinggi dan lambang kemakmuran. Gugun, yang sekarang menjadi suami saya, pun menyukainya. Waktu hari pernikahan, saya memadukan kain tersebut dengan kebaya sederhana yang dibuat dari kain lurik klaten. Kain tadi juga menyediakan kain kecil yang pas dibuat blangkon.


Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego

Jumat, 23 Oktober 2015

Berburu Rumah Gadang di Sumatera Barat

Sumatera Barat itu daerah yang berbukit-bukit. Baru sebentar meninggalkan bandara, kami bertemu sebuah air terjun di pinggir jalan. Kami berhenti sebentar untuk mengambil gambar. Saya menyempatkan diri untuk mencuci muka. Sejuk rasanya. Bagian paling menyenangkan dari berkunjung ke Sumatra Barat adalah makanannya. Dari restoran kota hingga warung di desa, propinsi ini penuh dengan masakan enak. Di sini, semua rumah makan menyediakan masakan bersantan kental. Hampir semuanya bisa meramu rempah-rempah dengan pas. Tanda tukang masaknya terbiasa memadukan bumbu selama bertahun-tahun. Ini kali pertama saya mencoba teh telur. Minuman tadi berupa teh yang dibuat dengan kocokan telur. Rasanya hangat. Enak untuk yang sedang flu karena mengandung rempah-rempah dan jeruk nipis. Tiap warung punya ramuan yang berbeda untuk minuman ini. Di propinsi ini, tidak ada yang menggunakan nama Warung Padang. Mereka cukup menyebut Rumah Makan atau Lapau Nasi.


Mumpung di Sumatra Barat, kami mampir sebentar di kelok 9. Jalan yang konon saat ini menjadi infrastruktur termegah di Indonesia. Waktu melalui jembatan tadi, saya terkagum-kagum oleh ukurannya yang super besar. Jalan tadi terdiri dari 4 ruas jalur. Saking besarnya, truk gandeng pun terlihat kecil saat melintasi jembatan tadi. Jalan tersebut berbentuk dua lantai dengan pilar yang tingginya puluhan meter. Tiba-tiba saya nyinyir dalam hati. Entah berapa banyak gunung dikepras untuk membangun jembatan ini. Sedihnya, manusia menyebut merusak alam dengan pembangunan.
Setelah seharian berkeliling Bukittinggi, kami melanjutkan perjalanan ke Solok.


Dalam perjalanan, kami mampir sebentar ke Istana Pagaruyung di Batu Sangkar. Rumah gadang ini memiliki empat tanduk. Istananya memiliki jendela dan pintu-pintu besar dan terlihat baru. Saya baru tahu kalau beberapa tahun lalu istana ini pernah terbakar. Bagian dalam bangunan ini penuh dengan kain bersulam. Ingin rasanya memiliki sebuah untuk dikoleksi. Saya suka ukir-ukiran yang memenuhi seluruh bangunan. Bentuknya bunga dan sulur-sulur. Di berbagai tempat yang kuat pengaruh Islamnya, ukiran selalu menggunakan tumbuhan. Tujuannya untuk menghindari pemujaan terhadap binatang atau benda hidup. Seluruh bangunan terbuat dari kayu berwarna kekuningan. Pengunjung ingin berfoto di istana bisa menyewa baju adat di lantai dasar.


Sebelum masuk ke Kota Solok, kami mampir sebentar di Danau Singkarak. Sayang, kami terlalu sore waktu sampai ke sana. Langit sudah memutih dan danau kelihatan tidak berwarna sama sekali. Danau ini terkenal memiliki ikan endemik. Bentuknya kecil-kecil seukuran jari kelingking. Masyarakat menyebutnya ikan bilih. Rasanya enak dan harganya mencapai seratus ribu lebih per kilonya.
Kami kesulitan menginap karena Kota Solok tidak memiliki banyak pilihan hotel. Dua buah hotel terpakai untuk sebuah seminar. Kami juga sempat ditolak sebuah hotel karena KTP saya dan Gugun berbeda alamat. Petugas hotel meminta bukti kalau kami sudah menikah. Resepsionis yang bertugas tidak menerima bukti foto pernikahan kami. Setelah berkeliling, akhirnya kami bisa menginap di Hotel Mami yang masih baru.


Pagi hari, saya berjalan-jalan di kota. Saya ingin melihat rumah gadang yang masih dihuni dari dekat. Ada sebuah Rumah Gadang yang masih terawat. Pemiliknya, Nenek Rasidah sudah meninggal. Sekarang rumah tersebut ditempati cucunya. Rumah itu mulai dibangun tahun 78 dan butuh waktu sekitar 5 tahunan untuk meyelesaikannya. Bagian paling lama dalam membuat Rumah Gadang adalah membuat ukiran di kayu surian. Saat ini jumlah pengukir semakin berkurang. Warnanya kebanyakan merah, hitam, kuning, dan coklat. Ongkos mengukir kayu per meter sekitar 600 ribu rupiah. Waktu saya masuk ke dalam rumah, saya terpesona dinding-dinding bangunan. Seluruhnya dari kayu yang sebagian besar berukir.


Rumah Gadang aslinya rumah sebuah kaum. Beberapa keluarga berpatungan untuk membangun tempat berkumpul. Rumah yang masih asli biasanya dilengkapi dengan rumah kecil di halaman. Jumlahnya dua buah. Dahulu gunanya untuk menyimpan beras. Lantai bawah rumah gadang kebanyakan berlantai tanah. Gunanya untukmenyimpan peralatan pertanian atau kandang ayam. Dahulu, rumah-rumah gadang dibangun dengan atap ijuk. Tiap 5 hingga 10 tahun sekali atap rumah tersebut harus diganti.  Atap Rumah Gadang berbentuk tanduk kerbau. Banyaknya jumlah gonjong atau ujung tanduk biasanya menandakan berapa banyak ruang di dalam rumah. Sebenarnya saya masih ingin main ke desa-desa. Untuk melihat rumah-rumah gadang lain dan mencicip rendang saat pesta pernikahan. Sayang waktu kami terbatas. Kami harus melanjutkan perjalanan ke tempat lain.

Rabu, 21 Oktober 2015

Singo Wulung, Perajin Kuningan, dan Gerbong Maut di Bondowoso

Ini kali keempat saya berkunjung ke Bondowoso. Setelah mendarat di Surabaya, kami melanjutkan perjalanan dengan mobil sewaan selama empat jam.  Tujuan pertama kami, alun-alun Kota Bondowoso. Kami datang ke sana untuk meliput Pameran Potensi Desa yang diadakan oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Karena pelaksanaan pameran tersebut bersamaan dengan Hari Jadi Bondowoso yang ke 196, kami beruntung bisa bertemu dengan berbagai komunitas lokal. Seperti komunitas pecinta vespa dan sepeda onthel. Mereka mengadakan pawai. Beramai-ramai berkendara dengan baju daerah atau busana gaya opsir Belanda.Tadinya saya berniat meminjam sepeda untuk numpang foto-foto. Apa daya baterai hape habis dan saya tidak membawa kamera. :D

Kami juga sempat menyaksikan karnaval panjang yang berisi ratusan anak-anak PAUD dan TK. Mereka mengenakan kostum warna-warni. Sebagian besar terbuat dari bahan daur ulang. Baju mereka kebanyakan bertema sayur, bunga, buah, dan tanaman. Bondowoso merupakan daerah pertanian. Mata pencaharian 40% penduduknya dari pertanian.  



Kami juga sempat melihat berbagai macam kesenian tradisional Bondowoso. Ada kesenian Singo Wulung yang berbadan besar mirip beruang putih. Dua orang yang menari di dalam kostum berkulit tebal tadi. Di puncak pertunjukan, singa-singa ini meloncati api. Saya ngeri membayangkan kalau mereka meleset sedikit saja. Kostum berat tadi terbuat dari kain yang mudah terbakar. Yang tidak kalah menarik, ada arak-arakan patung besar dengan lampu warna-warni. Rombongan ini diiringi penari-penari dan penyanyi. Ada beberapa penari pria dengan baju loreng merah putih menari sambil mengibas-ngibaskan clurit. Awalnya, saya berpikir itu clurit bohongan. Saya baru tahu kalau senjata tadi terbuat dari besi tajam saat para penari menggoreskannya ke aspal. Muncul bunga-bunga api. Bagaimana kalau tidak sengaja terkena orang? Mereka kan meloncat ke sana ke mari?

Saya baru tahu kalau separuh penduduk Bondowoso adalah etnis Madura. Pantas! Selama di sana, saya bertemu dengan banyak orang yang bercakap-cakap dalam Bahasa Madura. Budaya Madura juga masuk ke kuliner. Sebagian rumah makan di sana menyajikan masakan Madura seperti sate kambing dan kaldu. Etnis Madura ini sudah tinggal di Bondowoso selama beberapa generasi. Namun, mereka masih memegang tradisi dan bahasanya. Di daerah pedesaan bahkan banyak yang tidak bisa berbahasa Indonesia atau Bahasa Jawa.

Saat mengelilingi kota untuk mengambil gambar, saya dan Gugun berhenti sebentar di sebuah stasiun kereta kuno yang tidak lagi digunakan. Bangunan Belanda yang cantik tadi sepertinya baru saja direnovasi. Catnya masih bersih. Saya penasaran dengan peristiwa yang disebut dengan peristiwa gerbong maut. Cerita ini berkali-kali disebut di pembukaan pameran. Di tengah kota, saya juga melihat monumen gerbong maut. Saya baru tahu setelah bertanya ke beberapa orang. Jadi, dahulu pada tahun 47, Belanda ingin menguasai kembali Indonesia. Mereka menangkapi orang-orang yang diduga akan memberontak. Banyak diantaranya petani yang tidak tahu apa-apa.


Karena terlalu banyak orang ditangkap, penjara Bondowoso penuh. Belanda kemudian berniat memindahkan 100 orang tahanan ke Surabaya. Mereka memindahkan tahanan lewat kereta. Tahanan berangkat dari Stasiun Bondowoso dengan gerbong barang. Mereka berdesakan di gerbong yang tidak memiliki jendela. Siang hari, setelah menempuh beberapa jam perjalanan, udara dalam gerbong menjadi sangat panas. Puluhan tahanan meninggal karena mati lemas.

Lokasi yang kami datangi berikutnya adalah perajin kuningan di Desa Cindogo. Hampir seluruh penduduk desa ini bekerja sebagai pembuat kuningan. Kebanyakan beretnis Madura. Perajin yang sekarang merupakan generasi ke tiga para perajin gamelan pada masa belanda. Jaman berganti, dan mereka harus melakukan pelebaran konsumen untuk bertahan. Para perajin kuningan mulai membuat bokor untuk rias pengantin dan cetakan kue. Mereka mengalami masa keemasan pada tahun 90-an. Sebelum krisis moneter, harga kuningan murah. Perajin mendapat banyak keuntungan dari selisih harga jual. Sampai muncul krisis moneter yang melambungkan harga bahan baku. Kuningan yang tadinya sekilo hanya seharga enam ribu rupiah melonjak menjadi empat puluh lima ribu rupiah.
 Perajin sempat kesulitan pemasaran. Mereka kemudian berubah memproduksi souvenir. Kuningan-kuningan tersebut dicat sehingga lebih menarik. Produknya juga semakin bervariasi. Mulai dari vas bunga hingga patung hiasan meja. Selain di Bondowoso, kerajinan ini bisa ditemui dengan mudah di Pasar Bringharjo.



Selasa, 05 Mei 2015

Kemping Horee di Gathnas OANC Bandung

Jumat tanggal 1 Mei lalu saya dan Gugun sejak jam 9 pagi nongkrong di pool Primajasa Cililitan. Kami mau ke Bandung untuk kemping rame-rame dengan komunitas OANC. Itu komunitas pecinta kegiatan luar ruangan yang ketemu di Kaskus. Ini tahun kelima mereka mengadakan Gathering Nasional.

Kemping di Bandung
Gara-gara nggak tahu kalau naik bus harus ambil nomer antri, kami santai-santai dan makan ketoprak dulu. Akibatnya, kami terdampar dan kepanasan lebih dari dua jam untuk dapat giliran berangkat. Di pool, kami ketemu Om Anwar, Griska, Arum, dan Uci yang juga mau ke gathnas. Saya dan Gugun naik bus tujuan Tasik jam sebelas lebih. Tapi lumayan, dengan ongkos 38.000, kami dapat bus ber-AC dan tempat duduk. Kami sampai di depan Rumah Sakit AMC Cileunyi jam 3 lebih. Di sana, sudah ada Ame dan Timbul yang setia menunggu peserta.

Berhubung peserta sudah terkumpul, Ame menyewakan angkot tambahan untuk mengantar kami ke Bumi Perkemahan Kiara Payung.  Di angkot saya kenalan dengan Novi. Kami menghabiskan waktu dengan membahas supir angkot yang pecinta Hello Kitty. Pintu, dinding, dashbor, sampai kaca depan angkot penuh dengan sticker Hello Kity warna pink. Si sopir bahkan menaruh boneka kecil di depan kemudi. Kontras sekali dengan penampilannya yang berkulit gelap, rambut gondrong, dan memutar lagu-lagu Maroon 5.
Mobil berjalan ke arah luar kota. Kalau menurut tanda di pinggir jalan yang saya lihat, bumi perkemahannya ada di Sumedang, bukan Bandung. Kami lewat kebun-kebun sayur yang berbukit-bukit. Saat sampai, hampir separuh peserta datang duluan. Kami dapet nomer 169 dan 170.


Pertama sampai, saya langsung mencari tukang jual makanan. Buat jaga-jaga karena di pengumuman panitia hanya menyediakan 4 kali makan besar. Untunglah, panitia berbaik hati menjamu kita dengan cemilan dan kue-kue tambahan. Malam pertama menginap, peserta dibanjiri dengan jajan pasar. Ga tau namanya, yang penting enak. Lalu, ada juga kopi panas dari kedai ilalang. Paginya, panitia menyediakan surabi. Lengkap dengan penjual dan gerobaknya.

Besoknya, saya bangun jam 6 pagi untuk jalan-jalan sebentar. Senengnya pagi-pagi menghirup udara segar. Sambil kenalan atau ngobrol dengan teman lama yang nggak nyangka ketemu di sini. Gathnas kali ini banyak keluarga muda yang ikut. Lucu, lihat anak-anak balita yang baru belajar jalan liburan bareng orangtuanya. Sayang, saya beberapa kali melihat orang merokok di dekat bayi-bayi tadi. Tega banget. Pengen deh ngomong kalo saluran pernapasan bayi itu belum sempurna. Mereka rentan dengan racun dari asap rokok.
Sepertinya, acara paling di tunggu adalah pembagian doorprize. Peserta pasang telinga setiap panitia menyebut nomer. Lumayan kan kalau bisa dapet tenda, sepatu, atau jaket dari sponsor? Dalam sehari entah berapa kali saya mendengar percakapan: “Kau dapet apa? Nomerku belum dipanggil”. Saking nggak mau kelewatan doorprize, peserta nitip nomer tiap kali mau ke toilet atau sembahyang. Ini salah satu muka bahagia setelah dapet hadiah.


Gathnas kali ini materinya tentang fotografi dan travel writer. Tiap sesi, peserta rebutan bertanya. Entah karena mereka tertarik dengan materi, atau gara-gara kalau bertanya dapet kaos? Acara paling ramai adalah api unggun di malam kedua. Lagi-lagi peserta dimanjakan dengan makanan. Panitia menyediakan berkarung-karung jagung manis. Juga ayam bikini dengan berbagai rasa. Saya dan 6 orang teman baru rame-rame mencicipi rasa ayam goreng kalasan. Enak. Trus masih ada kacang dan ubi rebus. Ditambah bandrek dan bajigur panas. Tidur kenyang deh. Sepertinya, masih ada peserta yang tidak rela acara berakhir. Sebagian masih kumpul-kumpul. Saya masih mendengar suara mereka sampai jam 4 pagi.


Sebelum pulang, kami berkali-kali foto bareng. Sepertinya foto paling banyak dikopi peserta adalah foto membentuk angka 5 di sekeliling banner gathnas. Sampai ketemu tahun depan. Tempatnya sih belum ditentukan, tapi kemungkinan di seputaran Jawa Tengah.  Semoga lebih ramai dan lebih banyak teman. Juga bagi-bagi lebih banyak doorprize :D