Kamis, 11 September 2014

Jelajah Alternatif di Sulawesi Selatan

 Kali kedua mengunjungi Sulawesi Selatan, saya memilih untuk pergi ke arah timur Kota Makassar. Saya penasaran dengan hutan tropis di Bantaeng dan puluhan anggrek liarnya. Saya juga ingin mendengar langsung cerita pembuatan perahu pinisi yang sudah ribuan tahun turun temurun dilakukan penduduk Bulukumba.
Dari Makassar, beberapa teman menyarankan supaya saya mengambil travel ke Bantaeng. Katanya, cara tadi lebih aman karena banyak preman di Terminal Malengkeri. Menurut mereka, perempuan mungil seperti saya rawan menjadi korban kejahatan. Berhubung saya suka memakai transportasi umum saat di luar daerah, saya mengabaikan peringatan tadi.


Angkutan umum ke arah Bantaeng dan Bulukumba menggunakan mobil jenis panther dan kijang. Mobil akan berangkat setelah terisi minimal delapan penumpang. Sembari menunggu, saya duduk-duduk sambil ngobrol dengan pencari penumpang dan sopir di pinggir jalan. Saya hampir bosan karena mobil berangkat lebih dari satu jam kemudian. 


Kami berangkat dengan mobil kijang hijau buatan pertengahan tahun 90-an sekitar jam tiga sore. Saya sempat kaget waktu tahu selain sopir masih ada 10 orang dewasa di dalam mobil. Belum lagi ditambah tiga orang balita. Untung kendaraan segera berjalan sehingga saya bisa membuka jendela dan sedikit bernapas. Sepertinya, mobil ini sengaja tidak memiliki AC untuk menghemat bahan bakar.

Masuk ke daerah Janeponto, di kiri dan kanan jalan terdapat rumah-rumah panggung dari kayu. Di beberapa tempat, kotak-kotak tambak garam dan kincir air membentang panjang. Mobil singgah sebentar di deretan toko oleh-oleh. Rak-rak toko tadi penuh berbagai macam kue kering tradisional. Ada kue kering seperti jalinan benang dari gula jawa, roti kacang, dan banyak kue kering yang saya tidak tahu namanya. Meja-meja juga penuh dengan makanan dari  ketan berisi daging bernama gogos. Karena  dan telur asin. Saya membeli beberapa secara acak untuk tuan rumah saya nanti. 

Seharusnya, Makassar Bantaeng cukup ditempuh dalam waktu kurang dari 3 jam. Karena lambat, kami baru masuk ke Bantaeng lebih dari 4 jam perjalanan. Saya menjadi penumpang yang terakhir turun. Kenalan seperjalanan lain yang baru saya kenal berbaik hati menawarkan supaya saya singgah atau menginap di rumah mereka. Mereka sedikit khawatir waktu saya bilang yang hendak saya temui ini teman laki-laki. Mereka pikir, saya mengenalnya lewat facebook. Dan, mereka sering mendengar korban penipuan jenis ini.

Jam tujuh lebih, sopir menurunkan saya di pinggir jalan. Awalnya saya sempat ragu sudahkah turun di tempat yang tepat? Ardi, teman saya, menyuruh berhenti di BTN Arakeke. Dan, tempat saya menunggu sama sekali tidak ada petunjuk nama bank. Tak lama kemudian Ardi menjemput. Ia menjelaskan kalau di Bantaeng, BTN dipakai untuk menyebut semua perumahan. Bukan bank seperti yang saya sangka. Karena dahulu pada awal pembangunan perumahan penduduk membeli dengan kredit dari Bank BTN.


Malamnya, saya dan teman-teman Ardi ramai-ramai makan konro kuda. Ini pertama kalinya saya makan daging kuda. Saya sempat berpikir kalau daging kuda itu alot. Empuk ternyata. Hanya saja seratnya lebih besar dibanding sapi atau babi. Baunya juga agak amis. Di kawasan Janeponto, Bantaeng, dan Bulukumba, kuda merupakan hewan yang diternakkan. Sama seperti sapi di Jawa. Mereka juga dipakai untuk mengangkat beban atau mengerjakan sawah.

Bersambung tanggal 25/09/2014

Tidak ada komentar :

Posting Komentar