Rabu, 06 Agustus 2014

Menghutankan kembali Daerah Bangkalan

hutan wisata madura
Riset dan syuting film itu bagian paling menyenangkan. Bisa dibilang saya dibayar untuk liburan selama seminggu di seputaran Gunung Geger, Bangkalan. Tiap hari kegiatan saya berkeliling desa sembari ngobrol dengan penduduk lokal. Beberapa tetua yang saya temui bercerita kalau tahun 70-an, daerah Geger tandus. Tanaman apapun yang ditanam selalu mati. Pemerintah berkali-kali berusaha mengadakan kegiatan penghijauan. Namun selalu gagal. Masyarakat enggan menanam kayu karena tidak tahu apa keuntungannya.
Hingga beberapa tokoh desa mulai menanam akasia di tanah-tanah miliknya. Sepuluh tahun kemudian, para penanam pohon tadi mulai memanen kayu. Mereka mendapat banyak uang dari berjualan kayu. Penduduk mulai ikut-ikutan menanami lahannya. Hutan Geger kini hijau. Di antara rumah-rumah penduduk terdapat beraneka ragam pepohonan.

Selain mendapat keuntungan ekonomi, penduduk juga mendapat manfaat ekologis. Mereka sudah mendapat air saat mengebor sumur sedalam belasan meter. Padahal, dahulu penduduk harus melubangi tanah lebih hingga tiga puluh meteran. Di Desa Togubeng bahkan seorang pemilik sumber air mendapat pemasukan dari berjualan air. Tiap hari ada puluhan tangki air membeli air dari sumber airnya untuk dijual di desa lain yang kekeringan.

Berhubung tempat ini dikelilingi gunung dan jauh dari kota, komunikasi di daerah ini tidak terlalu lancar. Sinyal susah dan warnet yang ada sering sekali bermasalah. Saya terpaksa harus ke kota untuk mengirim laporan lewat email.

batik tulis madura
Karena tidak menemukan warnet, saya memilih ngopi di mall sambil mencari wifi. Setelah itu saya keliling Pasar Ki Lemah Duwur untuk melihat-lihat batik. Dan, saya harus menahan diri untuk tidak khilaf memborong. Ada banyak motif batik di sini. Saya membeli batik sutra cap seharga 200.000 setelah menawar. Banyak batik diual hanya dengan harga 45.000 sampai 60.000 rupiah. Bayangkan, selain cap ada batik tulis! Entah berapa upah pembuatnya.

Sayang kain dengan harga tadi terlalu kaku saat dipakai. Batik yang lebih halus harganya berkisar antara 120.000 hingga 150.000. Di antara berbagai motif yang ada, saya menyukai batik dari daerah Tanjung Bumi. Coraknya rumit dan dibuat dengan ketelitian tinggi. Pilihan warnanya juga bagus. Harganya kebanyakan mulai 250.000. Batik-batik dengan pola sangat rumit dan pewarna alam harganya bisa diatas satu juta rupiah. 

Ironisnya, meski Madura terkenal sebagai penghasil batik tulis, penduduk di pedesaan lebih menyukai mengenakan batik tuban. Setidaknya itu yang saya lihat di perempuan-perempuan Desa Geger. Mereka membeli batik tuban karena lebih murah dan kainnya lemas. Padahal yang disebut batik tadi sebenarnya kain sarung yang dicetak dengan motif batik.
sewa mobil madura
Saya agak kesulitan mencari angkutan umum untuk kembali ke Desa Geger untuk pulang. Mobil-mobil ke arah tersebut hanya ada hingga siang hari. Saya harus menunggu di daerah bernama Tanah Merah untuk mendapat angkutan umum. Berhubung lebih dari satu jam tidak ada angkot, terpaksalah saya naik mobil sayur. Di Geger, pick up pengangkut sayur  menjadi angkutan sehari-hari penduduk.

Selain sinyal, di Geger pilihan kulinernya terbatas. Jarang ada penjual makanan dengan menu di luar mie ayam dan bakso. Waktu kurang kerjaan, saya pergi ke kota untuk mencari Bebek Sinjay. Saking bosennya dengan menu di sana, saya iseng mencoba jajanan pinggir jalan. Biasanya, saya menghindari panganan dengan warna mengerikan. Tapi, saya tergoda dengan es campur di sana gara-gara berkali-kali melihat orang jajan. Kelihatannya enak. Es tadi isinya santan manis dengan roti tawar dan semacam agar-agar dengan warna-warna mencolok. Sepertinya pembuatnya menggunakan pewarna tekstil. Setelah menghabiskan satu mangkok, saya demam semalaman. Ternyata badan saya tidak sekebal penduduk lokal.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar