Waktu mendapat tawaran membuat film tentang hutan rakyat, saya langsung mengajukan Madura. Yang pertama, dalam benak saya, Madura itu identik dengan daerah yang tandus. Saya dengar di sana ada hutan yang tadinya lahan kritis. Cerita tentang masyarakat menghutankan gurun sepertinya menarik. Alasan kedua, yang lebih jujur, saya belum pernah ke Madura :D
Dari Jogja, saya dan Aldi memilih naik bus. Kami memesan mobil travel di Surabaya karena tidak menemukan rute kendaraan umum ke sana. Kami sengaja memilih bus paling malam. Supaya bisa sampai di Surabaya pagi buta untuk melihat matahari terbit di Jembatan Suramadu.
Kami sampai di Surabaya jam empat kurang. Mobil kemudian menuju Jembatan Suramadu setelah membayar tol seharga Rp 30.000 rupiah. Ternyata, perjalanan di jembatan hanya butuh beberapa menit. Dan, kami sampai di ujung jembatan sebelum matahari terbit.
Karena masih terlalu pagi untuk bertamu, kami memilih untuk berputar-putar dulu. Tujuan pertamanya: pantai. Kami kemudian pergi ke arah Tanjung Bumi. Di tengah jalan, kami melihat matahari terbit ini.
Berhubung saya ingin mencoba kuliner khas Bangkalan, kami kembali lagi ke daerah Ketetangan. Di jalan tadi ada Warung Makan Bebek Sinjay yang direkomendasikan banyak orang. Sayang rumah makan tadi tutup tiap hari Jumat. Akhirnya kami makan di Warung Bebek Songkem. Saya mencoba bebek kukus. Menurut banner, daging tersebut dimasak dengan pelepah pisang sehingga empuk dan rendah kolesterol. Rasanya lumayan dan pedas. Saya malah lebih menyukai minuman khas Madura. Terbuat dari bermacam-macam rempah-rempah hangat seperti jahe. Sayang, saya lupa namanya :P
Akhirnya kami menuju Kecamatan Geger. Keluar dari Kota Bangkalan, jalan berubah menjadi aspal yang lebih banyak terkelupas. Beberapa malah tinggal jalan berbatu dan berpasir. Berkali-kali saya melihat masjid-masjid besar di pinggir jalan. Rata-rata sepi. Mungkin karena jauh dari perumahan. Kata Abah, tuan rumah saya, masjid di daerahnya kebanyakan sumbangan dari para perantau. Mereka bekerja di luar daerah sebagai TKI atau pedagang besi tua. Tiap ada pembangunan masjid, para perantau ini berebut menyumbang untuk menunjukkan kesuksesan mereka.
Di tengah jalan, saya melihat penunjuk jalan bertuliskan Makam Arosbaya. Mampirlah kami di sana. tempatnya sepi. Hanya ada beberapa peziarah. Isinya ratusan nisan. Saya tertarik melihat ratusan botol air minum yang diisi dengan air sumur. Air tadi dijual Rp 5.000 per botol. Padahal pengunjung bisa saja ngambil sendiri dari sumur yang cuma beberatus meter dari kuburan.
Pemandangan di luar mobil terlihat berdebu. Beberapa daerah terlihat gersang karena kurang air. Dari kejauhan terlihat bukit-bukit tandus. Pemandangan berubah saat mobil masuk ke kawasan Geger. Dari jauh kami melihat pepohonan yang rapat seperti hamparan karpet hijau. Sepertinya, itu hutan yang katanya dahulu lahan kritis.
Bersambung. Tulisan tentang Hutan Geger yang tadinya tanah tandus tunggu rabu depan ya?
Rabu, 30 Juli 2014
Jalan-jalan di Bangkalan, Madura
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Jadi pengen ke daerah Bangkalan deh, sekalian kopdar disana sama teman-teman Plat-M. Udah lama banget ga kesana :D
BalasHapus