Mendengar kata Pulau Lombok, saya selalu teringat pantai cantik dan Festival Bau Nyale. Acara tersebut merupakan agenda yang ingin saya ikuti kembali. Dahulu, waktu masih duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah melihat liputan tentang perburuan cacing ini di sebuah stasiun televisi. Ada rekaman gambar tentang penduduk Lombok yang beramai-ramai di pinggir pantai untuk menangkap cacing laut warna-warni. Lalu, cacing-cacing tadi dibuat berbagai macam masakan. Sepertinya enak.
Dan, keinginan tadi secara tidak sengaja terkabul pertengahan Februari dua lalu. Ceritanya, ada teman lama dari Azerbaijan datang dan mengajak pergi ke Lombok. Saya awalnya menolak karena ada acara penting di kantor. Berhubung tiap hari meng-gogling foto-foto tentang Bau Nyale, tiba-tiba saja saya ingin melihat langsung acaranya. Akhirnya, dua hari sebelum festival, saya memutuskan membolos dan khilaf membeli tiket :D
Ada banyak orang datang dari jauh khusus untuk melihat festival tersebut. Kami sempat bertemu rombongan fotografer Bali yang datang untuk hunting foto. Saya dan Feri kemudian bermain bersama serombongan anak kecil yang berlari-lari di bukit. Umur mereka antara delapan hingga dua belas tahun. Mereka bilang, rumahnya di daerah Praya, sekitar 19 kilometer dari Kuta. Anak-anak tadi datang naik truk bersama orangtua dan sekitar dua puluhan tetangga desanya. Rombongan mereka membuat tenda di tepi pantai untuk menunggu nyale.
Malamnya, saya dan Feri menginap di atas sebuah bukit. Tadinya, saya berencana mencari penginapan di seputaran pantai. Sayang, tidak ada lagi kamar kosong. Untung aja malam itu udara cerah. Asyik lo, bisa melihat bintang-bintang dan bulan yang tinggal separuh sebelum tidur. Dari bukit tempat kami menginap, kami bisa mengamati puluhan lampu milik para pencari gurita. Sinarnya menari membuat garis-garis kuning di atas air lalut. Semakin malam, pengunjung bertambah banyak. Sekitar pukul tujuh malam, jalanan sempat macet. Bunyi klakson bersaut-sautan. Dari jauh lampu-lampu kendaraan berderet membentuk garis panjang mirip ular keemasan.
Festival ini konon dimulai sejak abad 16. Bau dalam Bahasa Sasak artinya menangkap. Nyale adalah nama lokal untuk sejenis cacing Palolo berwarna oranye dan hijau. Masyarakat Sasak percaya kalau nyale merupakan jelmaan seorang putri. Dulu, ada putri cantik bernama Mandalika dari Kerajaan Tunjung Bitu di Pantai Selatan Lombok. Saking cantiknya, banyak pangeran ingin memperistrinya.
Putri Mandalika bingung saat para pangeran-pangeran hendak perang untuk mendapatkannya. Kalau Putri Mandalika memilih salah satu, ia takut pangeran lain tersinggung dan muncul perang. Suatu hari, Sang Putri meminta seluruh pangeran untuk datang ke Pantai Kuta. Setelah banyak orang berkumpul di Pantai, Putri Mandalika meloncat ke laut. Tubuhnya hilang ditelan ombak dan berubah jadi cacing warna-warni. Sebelum terjun , ia berkata jika ia mencintai semua orang dan memilih supaya bisa dinikmati banyak orang.
Sejak saat itu, tiap tahun sekali cacing-cacing ini keluar. Penduduk lokal beramai-ramai menangkapnya untuk dimakan. Lama-kelamaan, acara ini jadi bagian dari pariwisata. Banyak orang dari tempat-tempat yang jauh datang (termasuk saya :D) hanya karena ingin tahu. Sekitar pukul setengah empat pagi, Feri yang udah tidak sabar, turun untuk membeli serok. Pedagang dadakan menjual barang tadi di sepanjang jalan. Harga per buahnya sepuluh ribu rupiah. Tidak sampai sepuluh menit, Feri kembali sambil berlari. Katanya, ada banyak orang yang sedang menuju bagian lain pantai. Aslinya, saya masih mengantuk. Tapi masa jauh-jauh datang cuma mau pindah tidur? Saya terpaksa bangun dan mengikuti Feri. Kami kemudian bergabung dengan barisan orang yang bergegas menuju pantai.
Kiri kanan jalan yang kami lewati penuh kerumunan orang menonton pertunjukan tradisional. Anehnya, sesekali saya melewati orang-orang bersarung yang tertidur di pinggir jalan. Kok bisa ya tidak terganggu dengan orang-orang yang ribut dan lalu-lalang? Saya dan Feri takjub melihat lautan sepeda motor di tempat parkir. Entah berapa banyak jumlahnya. Kami yakin lebih dari seribu motor. Waktu sampai di pantai, saya melepas sandal. Kalau tidak, pasir-pasir seukuran merica bercampur air memberati sandal. Kami langsung bergabung dengan pengunjung lain yang lebih dulu mencebur ke laut. Semuanya membawa ember dan serok. Senter menjadi perlengkapan wajib karena matahari belum muncul.
Para pencari nyale ini berjam-jam membungkuk sambil mengamati permukaan air laut. Tiap kali ada bayangan mirip tali menari-nari, mereka langsung menangkapnya dengan serok. Ramai pokoknya! Apalagi banyak yang berteriak heboh saat berhasil menangkap nyale berukuran besar. Kami juga tertawa keras saat ada ombak besar datang. Ini festival paling menyenangkan yang pernah saya datangi. Saya bahkan tidak peduli baju basah kuyup terkena ombak. Tiap kali berhasil menangkap nyale, saya dan Feri harus berhati-hati memindahkan cacing dari serok ke botol air minum yang kami jadikan tempat penampungan. Tubuh cacing tadi terlalu rapuh. Terpencet sedikit saja, nyale bisa luruh menjadi cairan. Kami berkali-kali membunuh nyale hanya karena kurang sabar saat melepas dari jaring. Baru sejam, jaring kami penuh dengan cairan berwarna cokelat dan hijau. Hiks :(
Gara-gara melihat orang-orang yang memburu nyale di tengah embernya penuh cacing gemuk, Feri mengajak berpindah tempat. Kami jalan melewati terumbu karang yang sudah mati. Saya memakai sandal lagi gara-gara karang-karang tajam tadi menggores kaki. Dan, kami mulai berteriak-teriak kegirangan waktu melihat nyale-nyale yang ada di tengah laut lebih besar. Sepertinya, waktu berada di pinggir pantai kami cuma dapat sisa-sisa nyale yang lolos dari tangkapan orang-orang. Cuma, di sini ombaknya jauh lebih besar. Tiap kali ombak datang, saya asal-asalan mencelupkan serok ke air. Hasilnya: nyale-nyale gemuk yang berukuran dua atau tiga kali lebih panjang daripada tangkapan di tepi pantai. Menyenangkan sekali. Kalau air lagi surut, kami jongkok dan menangkap nyale-nyale yang terjebak di sela-sela terumbu karang. Kadang, kami melirik orang-orang yang ada di kiri dan kanan kami yang sedari tadi berendam dekat laut dengan tatapan iri. Umumnya, ember-ember mereka hampir terisi separuhnya oleh nyale.
Sekitar pukul tujuh, orang-orang mulai meninggalkan pantai. Saya dan Feri sempat kebingungan melihat hasil tangkapan kami yang hanya segenggam. Yeah, terlalu sedikit untuk dimasak, tapi sayang kalau hanya dilepas begitu saja. Hallo, saya harus membeli tiket pesawat untuk sampai di sini loh. Saking penasaran sama rasanya, kami mencari penjual nyale di pantai. Untungnya, saya menemukan nyale bakar di pasar keesokan harinya. Saya jadi bisa mencicipi rasanya yang mirip kerang.