Jumat, 31 Oktober 2014

Lombok dan Festival Bau Nyale


Pantai Lombok

Mendengar kata Pulau Lombok, saya selalu teringat pantai cantik dan Festival Bau Nyale. Acara tersebut merupakan agenda yang ingin saya ikuti kembali. Dahulu, waktu masih duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah melihat liputan tentang perburuan cacing ini di sebuah stasiun televisi. Ada rekaman gambar tentang penduduk Lombok yang beramai-ramai di pinggir pantai untuk menangkap cacing laut warna-warni. Lalu, cacing-cacing tadi dibuat berbagai macam masakan. Sepertinya enak.

Dan, keinginan tadi secara tidak sengaja terkabul pertengahan Februari dua lalu. Ceritanya, ada teman lama dari Azerbaijan datang dan mengajak pergi ke Lombok. Saya awalnya menolak karena ada acara penting di kantor. Berhubung tiap hari meng-gogling foto-foto tentang Bau Nyale, tiba-tiba saja saya ingin melihat langsung acaranya. Akhirnya, dua hari sebelum festival, saya memutuskan membolos dan khilaf membeli tiket :D
Pantai Lombok

Parahnya, Laura membatalkan kepergiannya. Saya kemudian menghubungi Feri, teman yang tinggal di Mataram. Kami memutuskan pergi ke Kawasan Pantai Kuta sejak sore hari. Pantai Segar waktu itu mulai didatangi pengunjung yang sebagian berasal dari Lombok Tengah. Beberapa orang yang kami temui berkata kalau nyale baru akan muncul besok pagi buta. Sambil menunggu, saya dan Feri menghabiskan waktu untuk jalan-jalan di bukit sambil mencari tempat untuk melihat matahari terbenam.

Ada banyak orang datang dari jauh khusus untuk melihat festival tersebut. Kami sempat bertemu rombongan fotografer Bali yang datang untuk hunting foto. Saya dan Feri kemudian bermain bersama serombongan anak kecil yang berlari-lari di bukit. Umur mereka antara delapan hingga dua belas tahun. Mereka bilang, rumahnya di daerah Praya, sekitar 19 kilometer dari Kuta. Anak-anak tadi datang naik truk bersama orangtua dan sekitar dua puluhan tetangga desanya. Rombongan mereka membuat tenda di tepi pantai untuk menunggu nyale.

Malamnya, saya dan Feri menginap di atas sebuah bukit. Tadinya, saya berencana mencari penginapan di seputaran pantai. Sayang, tidak ada lagi kamar kosong. Untung aja malam itu udara cerah. Asyik lo, bisa melihat bintang-bintang dan bulan yang tinggal separuh sebelum tidur. Dari bukit tempat kami menginap, kami bisa mengamati puluhan lampu milik para pencari gurita. Sinarnya menari membuat  garis-garis kuning di atas air lalut. Semakin malam, pengunjung bertambah banyak. Sekitar pukul tujuh malam, jalanan sempat macet. Bunyi klakson bersaut-sautan. Dari jauh lampu-lampu kendaraan berderet membentuk garis panjang mirip ular keemasan.

Festival ini konon dimulai sejak abad 16. Bau dalam Bahasa Sasak artinya menangkap. Nyale adalah nama lokal untuk sejenis cacing Palolo berwarna oranye dan hijau. Masyarakat Sasak percaya kalau nyale merupakan jelmaan seorang putri. Dulu, ada putri cantik bernama Mandalika dari Kerajaan Tunjung Bitu di Pantai Selatan Lombok. Saking cantiknya, banyak pangeran ingin memperistrinya.
Putri Mandalika bingung saat para pangeran-pangeran hendak perang untuk mendapatkannya. Kalau Putri Mandalika memilih salah satu, ia takut pangeran lain tersinggung dan muncul perang. Suatu hari, Sang Putri meminta seluruh pangeran untuk datang ke Pantai Kuta. Setelah banyak orang berkumpul di Pantai, Putri Mandalika meloncat ke laut. Tubuhnya hilang ditelan ombak dan berubah jadi cacing warna-warni. Sebelum terjun , ia berkata jika ia mencintai semua orang dan memilih supaya bisa dinikmati banyak orang.

Sejak saat itu, tiap tahun sekali cacing-cacing ini keluar. Penduduk lokal beramai-ramai menangkapnya untuk dimakan. Lama-kelamaan, acara ini jadi bagian dari pariwisata. Banyak orang dari tempat-tempat yang jauh datang (termasuk saya :D) hanya karena ingin tahu. Sekitar pukul setengah empat pagi, Feri yang udah tidak sabar, turun untuk membeli serok. Pedagang dadakan menjual barang tadi di sepanjang jalan. Harga per buahnya sepuluh ribu rupiah. Tidak sampai sepuluh menit, Feri kembali sambil berlari. Katanya, ada banyak orang yang sedang menuju bagian lain pantai. Aslinya, saya masih mengantuk. Tapi masa jauh-jauh datang cuma mau pindah tidur? Saya terpaksa bangun dan mengikuti Feri. Kami kemudian bergabung dengan barisan orang yang bergegas menuju pantai.

Kiri kanan jalan yang kami lewati penuh kerumunan orang menonton pertunjukan tradisional. Anehnya, sesekali saya melewati orang-orang bersarung yang tertidur di pinggir jalan. Kok bisa ya tidak terganggu dengan orang-orang yang ribut dan lalu-lalang? Saya dan Feri takjub melihat lautan sepeda motor di tempat parkir. Entah berapa banyak jumlahnya. Kami yakin lebih dari seribu motor. Waktu sampai di pantai, saya melepas sandal. Kalau tidak, pasir-pasir seukuran merica bercampur air memberati sandal. Kami langsung bergabung dengan pengunjung lain yang lebih dulu mencebur ke laut. Semuanya membawa ember dan serok. Senter menjadi perlengkapan wajib karena matahari belum muncul.
Festival Bau Nyale

Para pencari nyale ini berjam-jam membungkuk sambil mengamati permukaan air laut. Tiap kali ada bayangan mirip tali menari-nari, mereka langsung menangkapnya dengan serok. Ramai pokoknya! Apalagi banyak yang berteriak heboh saat berhasil menangkap nyale berukuran besar. Kami juga tertawa keras saat ada ombak besar datang. Ini festival paling menyenangkan yang pernah saya datangi. Saya bahkan tidak peduli baju basah kuyup terkena ombak. Tiap kali berhasil menangkap nyale, saya dan Feri harus berhati-hati memindahkan cacing dari serok ke botol air minum yang kami jadikan tempat penampungan. Tubuh cacing tadi terlalu rapuh. Terpencet sedikit saja, nyale bisa luruh menjadi cairan. Kami berkali-kali membunuh nyale hanya karena kurang sabar saat melepas dari jaring. Baru sejam, jaring kami penuh dengan cairan berwarna cokelat dan hijau. Hiks :(

Gara-gara melihat orang-orang yang memburu nyale di tengah embernya penuh cacing gemuk, Feri mengajak berpindah tempat. Kami jalan melewati terumbu karang yang sudah mati. Saya memakai sandal lagi gara-gara karang-karang tajam tadi menggores kaki. Dan, kami mulai berteriak-teriak kegirangan waktu melihat nyale-nyale yang ada di tengah laut lebih besar. Sepertinya, waktu berada di pinggir pantai kami cuma dapat sisa-sisa nyale yang lolos dari tangkapan orang-orang. Cuma, di sini ombaknya jauh lebih besar. Tiap kali ombak datang, saya asal-asalan mencelupkan serok ke air. Hasilnya: nyale-nyale gemuk yang berukuran dua atau tiga kali lebih panjang daripada tangkapan di tepi pantai. Menyenangkan sekali. Kalau air lagi surut, kami jongkok dan menangkap nyale-nyale yang terjebak di sela-sela terumbu karang. Kadang, kami melirik orang-orang yang ada di kiri dan kanan kami yang sedari tadi berendam dekat laut dengan tatapan iri. Umumnya, ember-ember mereka hampir terisi separuhnya oleh nyale.
 
Pantai Kuta Lombok
Sekitar pukul tujuh, orang-orang mulai meninggalkan pantai. Saya dan Feri sempat kebingungan melihat hasil tangkapan kami yang hanya segenggam. Yeah, terlalu sedikit untuk dimasak, tapi sayang kalau hanya dilepas begitu saja. Hallo, saya harus membeli tiket pesawat untuk sampai di sini loh. Saking penasaran sama rasanya, kami mencari penjual nyale di pantai. Untungnya, saya menemukan nyale bakar di pasar keesokan harinya. Saya jadi bisa mencicipi rasanya yang mirip kerang.

Kamis, 11 September 2014

Jelajah Alternatif di Sulawesi Selatan

 Kali kedua mengunjungi Sulawesi Selatan, saya memilih untuk pergi ke arah timur Kota Makassar. Saya penasaran dengan hutan tropis di Bantaeng dan puluhan anggrek liarnya. Saya juga ingin mendengar langsung cerita pembuatan perahu pinisi yang sudah ribuan tahun turun temurun dilakukan penduduk Bulukumba.
Dari Makassar, beberapa teman menyarankan supaya saya mengambil travel ke Bantaeng. Katanya, cara tadi lebih aman karena banyak preman di Terminal Malengkeri. Menurut mereka, perempuan mungil seperti saya rawan menjadi korban kejahatan. Berhubung saya suka memakai transportasi umum saat di luar daerah, saya mengabaikan peringatan tadi.


Angkutan umum ke arah Bantaeng dan Bulukumba menggunakan mobil jenis panther dan kijang. Mobil akan berangkat setelah terisi minimal delapan penumpang. Sembari menunggu, saya duduk-duduk sambil ngobrol dengan pencari penumpang dan sopir di pinggir jalan. Saya hampir bosan karena mobil berangkat lebih dari satu jam kemudian. 


Kami berangkat dengan mobil kijang hijau buatan pertengahan tahun 90-an sekitar jam tiga sore. Saya sempat kaget waktu tahu selain sopir masih ada 10 orang dewasa di dalam mobil. Belum lagi ditambah tiga orang balita. Untung kendaraan segera berjalan sehingga saya bisa membuka jendela dan sedikit bernapas. Sepertinya, mobil ini sengaja tidak memiliki AC untuk menghemat bahan bakar.

Masuk ke daerah Janeponto, di kiri dan kanan jalan terdapat rumah-rumah panggung dari kayu. Di beberapa tempat, kotak-kotak tambak garam dan kincir air membentang panjang. Mobil singgah sebentar di deretan toko oleh-oleh. Rak-rak toko tadi penuh berbagai macam kue kering tradisional. Ada kue kering seperti jalinan benang dari gula jawa, roti kacang, dan banyak kue kering yang saya tidak tahu namanya. Meja-meja juga penuh dengan makanan dari  ketan berisi daging bernama gogos. Karena  dan telur asin. Saya membeli beberapa secara acak untuk tuan rumah saya nanti. 

Seharusnya, Makassar Bantaeng cukup ditempuh dalam waktu kurang dari 3 jam. Karena lambat, kami baru masuk ke Bantaeng lebih dari 4 jam perjalanan. Saya menjadi penumpang yang terakhir turun. Kenalan seperjalanan lain yang baru saya kenal berbaik hati menawarkan supaya saya singgah atau menginap di rumah mereka. Mereka sedikit khawatir waktu saya bilang yang hendak saya temui ini teman laki-laki. Mereka pikir, saya mengenalnya lewat facebook. Dan, mereka sering mendengar korban penipuan jenis ini.

Jam tujuh lebih, sopir menurunkan saya di pinggir jalan. Awalnya saya sempat ragu sudahkah turun di tempat yang tepat? Ardi, teman saya, menyuruh berhenti di BTN Arakeke. Dan, tempat saya menunggu sama sekali tidak ada petunjuk nama bank. Tak lama kemudian Ardi menjemput. Ia menjelaskan kalau di Bantaeng, BTN dipakai untuk menyebut semua perumahan. Bukan bank seperti yang saya sangka. Karena dahulu pada awal pembangunan perumahan penduduk membeli dengan kredit dari Bank BTN.


Malamnya, saya dan teman-teman Ardi ramai-ramai makan konro kuda. Ini pertama kalinya saya makan daging kuda. Saya sempat berpikir kalau daging kuda itu alot. Empuk ternyata. Hanya saja seratnya lebih besar dibanding sapi atau babi. Baunya juga agak amis. Di kawasan Janeponto, Bantaeng, dan Bulukumba, kuda merupakan hewan yang diternakkan. Sama seperti sapi di Jawa. Mereka juga dipakai untuk mengangkat beban atau mengerjakan sawah.

Bersambung tanggal 25/09/2014

Rabu, 06 Agustus 2014

Menghutankan kembali Daerah Bangkalan

hutan wisata madura
Riset dan syuting film itu bagian paling menyenangkan. Bisa dibilang saya dibayar untuk liburan selama seminggu di seputaran Gunung Geger, Bangkalan. Tiap hari kegiatan saya berkeliling desa sembari ngobrol dengan penduduk lokal. Beberapa tetua yang saya temui bercerita kalau tahun 70-an, daerah Geger tandus. Tanaman apapun yang ditanam selalu mati. Pemerintah berkali-kali berusaha mengadakan kegiatan penghijauan. Namun selalu gagal. Masyarakat enggan menanam kayu karena tidak tahu apa keuntungannya.
Hingga beberapa tokoh desa mulai menanam akasia di tanah-tanah miliknya. Sepuluh tahun kemudian, para penanam pohon tadi mulai memanen kayu. Mereka mendapat banyak uang dari berjualan kayu. Penduduk mulai ikut-ikutan menanami lahannya. Hutan Geger kini hijau. Di antara rumah-rumah penduduk terdapat beraneka ragam pepohonan.

Selain mendapat keuntungan ekonomi, penduduk juga mendapat manfaat ekologis. Mereka sudah mendapat air saat mengebor sumur sedalam belasan meter. Padahal, dahulu penduduk harus melubangi tanah lebih hingga tiga puluh meteran. Di Desa Togubeng bahkan seorang pemilik sumber air mendapat pemasukan dari berjualan air. Tiap hari ada puluhan tangki air membeli air dari sumber airnya untuk dijual di desa lain yang kekeringan.

Berhubung tempat ini dikelilingi gunung dan jauh dari kota, komunikasi di daerah ini tidak terlalu lancar. Sinyal susah dan warnet yang ada sering sekali bermasalah. Saya terpaksa harus ke kota untuk mengirim laporan lewat email.

batik tulis madura
Karena tidak menemukan warnet, saya memilih ngopi di mall sambil mencari wifi. Setelah itu saya keliling Pasar Ki Lemah Duwur untuk melihat-lihat batik. Dan, saya harus menahan diri untuk tidak khilaf memborong. Ada banyak motif batik di sini. Saya membeli batik sutra cap seharga 200.000 setelah menawar. Banyak batik diual hanya dengan harga 45.000 sampai 60.000 rupiah. Bayangkan, selain cap ada batik tulis! Entah berapa upah pembuatnya.

Sayang kain dengan harga tadi terlalu kaku saat dipakai. Batik yang lebih halus harganya berkisar antara 120.000 hingga 150.000. Di antara berbagai motif yang ada, saya menyukai batik dari daerah Tanjung Bumi. Coraknya rumit dan dibuat dengan ketelitian tinggi. Pilihan warnanya juga bagus. Harganya kebanyakan mulai 250.000. Batik-batik dengan pola sangat rumit dan pewarna alam harganya bisa diatas satu juta rupiah. 

Ironisnya, meski Madura terkenal sebagai penghasil batik tulis, penduduk di pedesaan lebih menyukai mengenakan batik tuban. Setidaknya itu yang saya lihat di perempuan-perempuan Desa Geger. Mereka membeli batik tuban karena lebih murah dan kainnya lemas. Padahal yang disebut batik tadi sebenarnya kain sarung yang dicetak dengan motif batik.
sewa mobil madura
Saya agak kesulitan mencari angkutan umum untuk kembali ke Desa Geger untuk pulang. Mobil-mobil ke arah tersebut hanya ada hingga siang hari. Saya harus menunggu di daerah bernama Tanah Merah untuk mendapat angkutan umum. Berhubung lebih dari satu jam tidak ada angkot, terpaksalah saya naik mobil sayur. Di Geger, pick up pengangkut sayur  menjadi angkutan sehari-hari penduduk.

Selain sinyal, di Geger pilihan kulinernya terbatas. Jarang ada penjual makanan dengan menu di luar mie ayam dan bakso. Waktu kurang kerjaan, saya pergi ke kota untuk mencari Bebek Sinjay. Saking bosennya dengan menu di sana, saya iseng mencoba jajanan pinggir jalan. Biasanya, saya menghindari panganan dengan warna mengerikan. Tapi, saya tergoda dengan es campur di sana gara-gara berkali-kali melihat orang jajan. Kelihatannya enak. Es tadi isinya santan manis dengan roti tawar dan semacam agar-agar dengan warna-warna mencolok. Sepertinya pembuatnya menggunakan pewarna tekstil. Setelah menghabiskan satu mangkok, saya demam semalaman. Ternyata badan saya tidak sekebal penduduk lokal.

Rabu, 30 Juli 2014

Jalan-jalan di Bangkalan, Madura

Waktu mendapat tawaran membuat film tentang hutan rakyat, saya langsung mengajukan Madura. Yang pertama, dalam benak saya, Madura itu identik dengan daerah yang tandus. Saya dengar di sana ada hutan yang tadinya lahan kritis. Cerita tentang masyarakat menghutankan gurun sepertinya menarik. Alasan kedua, yang lebih jujur, saya belum pernah ke Madura :D

Dari Jogja, saya dan Aldi memilih naik bus. Kami memesan mobil travel di Surabaya karena tidak menemukan rute kendaraan umum ke sana. Kami sengaja memilih bus paling malam. Supaya bisa sampai di Surabaya pagi buta untuk melihat matahari terbit di Jembatan Suramadu.


Kami sampai di Surabaya jam empat kurang. Mobil kemudian menuju Jembatan Suramadu setelah membayar tol seharga Rp 30.000 rupiah. Ternyata, perjalanan di jembatan hanya butuh beberapa menit. Dan, kami sampai di ujung jembatan sebelum matahari terbit.

Karena masih terlalu pagi untuk bertamu, kami memilih untuk berputar-putar dulu. Tujuan pertamanya: pantai. Kami kemudian pergi ke arah Tanjung Bumi. Di tengah jalan, kami melihat matahari terbit ini.

Berhubung saya ingin mencoba kuliner khas Bangkalan, kami kembali lagi ke daerah Ketetangan. Di jalan tadi ada Warung Makan Bebek Sinjay yang direkomendasikan banyak orang. Sayang rumah makan tadi tutup tiap hari Jumat. Akhirnya kami makan di Warung Bebek Songkem. Saya mencoba bebek kukus. Menurut banner, daging tersebut dimasak dengan pelepah pisang sehingga empuk dan rendah kolesterol. Rasanya lumayan dan pedas. Saya malah lebih menyukai minuman khas Madura. Terbuat dari bermacam-macam rempah-rempah hangat seperti jahe. Sayang, saya lupa namanya :P


Akhirnya kami menuju Kecamatan Geger. Keluar dari Kota Bangkalan, jalan berubah menjadi aspal yang lebih banyak terkelupas. Beberapa malah tinggal jalan berbatu dan berpasir. Berkali-kali saya melihat masjid-masjid besar di pinggir jalan. Rata-rata sepi. Mungkin karena jauh dari perumahan. Kata Abah, tuan rumah saya, masjid di daerahnya kebanyakan sumbangan dari para perantau. Mereka bekerja di luar daerah sebagai TKI atau pedagang besi tua. Tiap ada pembangunan masjid, para perantau ini berebut menyumbang untuk menunjukkan kesuksesan mereka.



Di tengah jalan, saya melihat penunjuk jalan bertuliskan Makam Arosbaya. Mampirlah kami di sana. tempatnya sepi. Hanya ada beberapa peziarah. Isinya ratusan nisan. Saya tertarik melihat ratusan botol air minum yang diisi dengan air sumur. Air tadi dijual Rp 5.000 per botol. Padahal pengunjung bisa saja ngambil sendiri dari sumur yang cuma beberatus meter dari kuburan.  


Pemandangan di luar mobil terlihat berdebu. Beberapa daerah terlihat gersang karena kurang air. Dari kejauhan terlihat bukit-bukit tandus. Pemandangan berubah saat mobil masuk ke kawasan Geger. Dari jauh kami melihat pepohonan yang rapat seperti hamparan karpet hijau. Sepertinya, itu hutan yang katanya dahulu lahan kritis. 

Bersambung. Tulisan tentang Hutan Geger yang tadinya tanah tandus tunggu rabu depan ya?

Rabu, 16 Juli 2014

Suatu Hari di Lampung: Musium Ruwa Jurai dan Berburu Seruit

Setelah badan memar dan pegal gara-gara perjalanan ekstrim ke perkebunan kopi, saya memilih untuk jalan-jalan santai di Lampung. Kali ini, saya ditemani Angger pergi ke Museum Ruwa Jurai. Di sana, kami melihat-lihat kronologi sejarah kebudayaan Lampung. Ada juga beragam kain tapis—kain sarung adat yang terbuat dari benang kapas, emas, dan sutra.  Selain itu, peraga yang berisi mengenai alat-alat upacara masyarakat adat Lampung yang terbagi atas Suku Pepadun dan Saibatin. Ada foto dan peralatan yang digunakan saat upacara kelahiran, asah gigi, penikahan, dan kematian. Sayangnya, alat peraganya tidak terlalu menarik untuk dilihat. Coba kalau dibuat seperti pameran seni. Orang-orang pasti dengan senang hati berfoto narsis dan memajangnya di media sosial. Bukankah hal tersebut akan mengundang orang lain untuk datang ke museum?

Pernikahan Lampung
Untung saja kami bertemu dengan Pak Budi, Kepala Seksi Pelayanan Museum Lampung. Bapak yang latar belakang pendidikan formalnya sosiologi dan museum ini bisa bercerita banyak tentang barang-barang yang ada di sana. Saya jadi tahu kalau rumah kayu yang ada di depan museum namanya Lamban Pesagi—rumah persegi.  Rumah panggung yang berasal dari Lampung Barat tersebut usianya sekitar 250 hingga 300 tahun. Rumah tersebut dibongkar ulang dan disusun kembali di museum. Sayangnya, seluruh permukaan dindingnya penuh dengan coretan tip-ex dan tinta dari pengunjung iseng. Sepertinya pelakunya tidak berpikir kalau ulah mereka membuat sebuah peninggalan sejarah menjadi kurang menarik dilihat?

Coretan di Museum
Kata Pak Budi, pihak Museum Lampung berkali-kali mencoba mencari cara untuk menghilangkan coretan tadi. Mereka harus menggunaan cara yang tidak merusak kayunya. Pihak museum pernah menggunakan solar, minyak kayu putih, sampai tiner. Zat-zat tadi secara alami juga digunakan untuk merawat kayu. Sayangnya, usaha tersebut belum membuahkan hasil. 

Bola Besi Transmigrasi
Menurut saya, bagian paling menarik dari museum ini adalah sebuah bola besi yang diameternya hampir dua meter. Benda dengan berat sekitar 5 ton ini dalamnya berupa ruang kosong. Bola besi dipakai untuk membuka hutan. Dulu sekitar tahun 50-an hingga 60-an, alat tersebut digunakan untuk membuka lahan transmigrasi di Lampung Timur dan Tengah. Setelah hutan dibabat, sisa-sisa kayunya disuntik perontok kayu supaya lebih mudah hancur.  Bola ini diisi dengan air dan ditarik oleh dua traktor untuk menggilas tunggul-tunggul kayu. Biasanya sebuah lahan diratakan oleh beberapa bola besi. Supaya tidak bertabrakan, ada seseorang yang memberi aba-aba ke mana bola harus menggelinding dengan sandi morse dari atas bukit atau tempat tinggi.

Kami sempat ngobrol juga tentang Pulau Sumatra yang dikenal dengan nama Negeri Swarnadipa. Juga tentang orang-orang Melayu di Sumatera yang cenderung menyukai perhiasan dari emas. Kata Pak Budi, emas dikenal di Indonesia sejak jaman Hindhu Buddha. Masyarakat tempo dulu menggunakan logam untuk menunjukkan status sosial mereka. Emas merupakan simbol keluarga raja dan kaum brahmana. Sejak dulu beberapa daerah di Sumatra sudah menjadi penghasil emas.

Sebenarnya, saya ingin ngobrol lebih lanjut. Saya masih ingin bertanya tentang perdagangan kopi di Lampung dan bagaimana cara sejarah direkonstruksi. Sayangnya, hari sudah terlalu siang dan saya kelaparan.  Saya dan Angger kemudian mencari makan. Kami penasaran dengan sambal Seruit. Sejak hari pertama di Lampung, saya bertanya ke beberapa orang tentang makanan khas Lampung. Kebanyakan menjawab tidak tahu. Sampai sopir mobil rental kami bercerita tentang sambal seruit. Jadi ingin mencicipi makanan yang katanya seperti makanan kucing.

Sambal Seruit khas Lampung
Saya bertanya kepada beberapa teman di mana bisa mendapat sambal seruit. Hasilnya nihil. Sampai seorang teman Angger yang kebetulan kami temui di jalan menunjukkan Warung Bebek Gila Debora. Sebenarnya, rumah makan tadi menunya masakan serba bebek. Di daftar menunya tertulis kalau seruit harus dipesan sehari sebelumnya :( Kami mendapatkannya saat itu juga dengan harga dua kali lipat. Harga seporsinya jadi 150 ribu rupiah.

Setelah menunggu lama, datanglah ikan patin bakar. Dalam nampan, selain seekor patin ada pelengkap sambal yang menurut saya beraneka ragam. Ada sambal terasi dan tomat, mangga matang, mentimun, terong bakar. Itu masih normal, tapi dicampur dengan mangga matang dan tempoyak? Itu durian yang disimpan berhari-hari hingga beralkohol. Semua makanan ini diremas-remas menjadi satu. Rasanya enak meski bentuknya terlihat tidak menarik. Lebih baik tidak saya sebut di sini :)

Sambal seruit juga dilengkapi dengan sekeranjang lalapan. Mulai dari terong, selada, mentimun, jengkol, daun kemangi sampai daun-daunan yang saya tidak tahu apa namanya. Saya memasukkan menu ini ke makanan yang ingin saya nikmati lagi kalau nanti kembali ke Lampung.