Senin, 26 Agustus 2013

Sekolah Kecil di Huaulu, Maluku

Hari ini saya rencananya mau seharian ke Suku Huaulu. Sebelum datang ke Sawai, tadinya sih saya pengen nginep di rumah mereka. Berhubung saya sama sekali tidak ada gambaran seperti apa cara hidup mereka, sepertinya saya belum bisa menginap. Akhirnya saya memutuskan untuk singgah seharian saja.
Saya diantar ke sana oleh Udin, pekerja penginapan naik motor. Dari Sawai, kami harus melewati jalan jelek sekali. Nggak jelas kapan terakhir di aspal. Jalannya berlubang-lubang, berkelok-kelok, dan naik turun. Kalau naik motor sendirian, kayaknya saya bakal jatuh. Jalan berubah menjadi aspal halus waktu kami lewat Trans Seram.

Pulau Seram

Sekitar satu jam kemudian, kami berbelok ke jalan berbatu. Berhubung jembatan putus, kami memarkirkan motor dan terpaksa menyebrang sungai. Orang-orang yang saya temui bilang jembatan tadi putus sejak tiga tahun lalu.  Sungai tadi lebarnya sekitar tiga meter dan di beberapa bagian kedalamannya lebih dari dua meter. Saya mencari bagian yang tidak terlalu dalam untuk menyebrang. Sungai ini airnya jernih dan dingin. Di dasarnya ada batu warna-warni. Setelah itu kami harus berjalan kaki ke desa sejauh tiga kilo.

Ahh..terpaksa jalan-jalan capek lagi. Padahal saya berniat kali ini liburan malas yang tidak ada acara olahraga beratnya. Lebih nggak enak lagi, cuaca siang itu sangat menyengat. Untung saya selalu sedia payung. Sebelum sampai di desa, saya melihat sekolah baru yang belum selesai dibangun. Papan nama “SD Kecil Huaulu” terpampang di depannya. Saya penasaran singgah karena mendengar di sekolah tadi hanya ada satu guru. Beliau berasal dari desa Kanike yang sengaja tinggal untuk mengajar anak-anak di sana.
Saya ngobrol sebentar dengan Bapak Joris Liliman. Beliau lulusan Sekolah Pendidikan Guru antara tahun 82-83. Bapak tadi bercerita kalau sekolah ini adalah tempat pendidikan formal pertama yang dibangun di Desa Huaulu. Dulu, ada mitos kalau seorang anak akan mati jika pergi ke sekolah.


Pendirian sekolah ini bermula pada tahun 2008. Saat itu Pak Joris datang ke Huaulu dan melihat banyak anak sedang bermain bola. Tidak ada satupun yang bisa membaca dan menulis. Bapak ini kemudian ingin mengajar mereka. Dia percaya, masa depan seseorang akan lebih baik saat mereka punya ilmu.
Dengan bantuan seorang Pendeta dari Ambon dan tokoh masyarakat, tahun 2009 di Huaulu dibangun sekolah darurat. Penduduk desa patungan untuk membuat bangunannya. Sekolah yang mulai beroperasi Maret 2009 ini awalnya bangunan kayu dengan atap sagu. Mereka tidak punya meja dan kursi. Murid-murid pertamanya menggunakan papan kayu untuk duduk dan menulis.


Awalnya tidak mudah untuk mengajak anak-anak di sana bersekolah. Anak-anak kecil di Huaulu terbiasa pergi ke hutan untuk mengumpulkan buah atau sayuran pada jam sekolah. Pak Joris berusaha menunjukkan kalau sekolah itu menyenangkan. Ia memperlihatkan foto-foto anak-anak memakai seragam dan bersekolah yang ada di sebuah kalender suatu LSM. Untuk membujuk anak-anak supaya datang ke sekolah, Pak Joris membawa kue-kue dan permen.

Bangunan sekolah yang sekarang mendapat bantuan dari Dana Alokasi Khusus. Murid-muridnya memakai seragam sekolah bantuan dari sebuah Yayasan. Mereka menggunakan berbagai macam buku pelajaran karena buku tadi sumbangan dari mahasiswa Jogja yang lewat Huaulu sewaktu mau mendaki Gunung Binaya.

Hingga kini, Pak Joris masih jadi satu-satunya guru karena Dinas Pendidikan belum menyetujui usulan penambahan guru. Berhubung hanya ada satu guru untuk enam kelas, jamnya harus dibagi. Dari jam delapan sampai sepuluh anak kelas satu dan dua masuk sekolah. Jam sebelas sampai dua belas untuk kelas tiga dan empat. Bapak Joris kemudian pulang ke rumah yang jaraknya sekitar 500 meter dari sekolah untuk makan siang dan istirahat. Setelah itu dari jam dua sampai jam lima, Pak Joris kembali lagi ke sekolahan untuk mengajar. Rata-rata, di tiap kelas ada 5 sampai 13 murid. Total satu sekolahan ada 46 orang.

Mendengar cerita Pak Joris, saya langsung terpesona berat. Dari dulu, saya pengen punya sekolahan. Tapi sampai saat ini saya belum berani untuk tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu lama dan punya komitmen untuk membangun sesuatu. Saya iri sekaligus salut terhadap beliau.

Siang itu, saya mengikuti pelajaran anak kelas empat SD. Saya agak kaget waktu materinya tentang Bank. Jadi, Pak Joris menyalin pertanyaan dari sebuah buku Bahasa Indonesia. Temanya tentang hidup hemat dan menabung di Bank. Saya cuma bisa diam. Menurut saya, materi tadi lebih cocok diajarkan untuk anak-anak di kota.

Bank terdekat dari Huaulu jaraknya sekitar 100 kilometer. Saya tidak yakin anak-anak ini pernah ke bank. Menabung belum ada di budaya mereka. Suku Huaulu masih hidup dari berburu dan meramu. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil hutan dan sungai. Apa yang mereka dapat hari ini ya dimakan hari ini. Sepertinya, tidak ada konsep menyimpan sesuatu untuk kebutuhan jangka panjang.


Suku Huaulu sudah mengenal uang. Mereka menjual cengkeh, kopi, atau langsat saat panen. Tapi mereka engga menimbun uang karena uang tadi sekadar dipakai untuk membeli garam, ikan kering, atau baju. Barang yang dijual pun hanya kelebihan saat panen. Jika panen kopi mereka sedikit, biasanya mereka mengonsumsinya sendiri.

Sekolah kecil di Huaulu ini mungkin hanya satu cerita. Ada banyak cerita sejenis di seluruh Indonesia raya. Di mana buku sekolah yang dicetak di sebuah kota di Jawa dipakai dipakai di Aceh sampai Papua yang berbeda budaya. Saya bukan ahli pendidikan, tapi saya lebih setuju kalau di masing-masing tempat ada penduduk lokal yang cukup cerdas dan mau peduli. Mereka menyediakan ruangan di rumahnya untuk tempat buku-buku dan ada orang-orang yang menyediakan waktunya untuk mengajak orang lain membaca.
Lalu, ada sekumpulan orang-orang yang punya kelebihan harta membantu menyumbang buku. Supaya anak-anak ini bisa melihat cara hidup lain di luar mereka. Saya rasa, sekolah saja tidak cukup. Untuk menjaga supaya buku-buku tersebut berguna, perlu ada orang yang mengajak membaca. Di banyak tempat, saya sering melihat buku-buku bagus tergeletak begitu saja di perpustakaan karena tidak ada yang menyentuh.

Setelah itu saya berjalan mengelilingi desa. Desa ini kecil. Ada jalan dari tanah membelah desa. Rumah-rumah panggung penduduk yang terbuat dari papan dan beratap daun sagu berjajar di kiri dan kanan jalan. Sebagian besar rumah tidak memiliki dinding. Di desa, ada sekitar 30 rumah yang masing-masing dihuni oleh dua atau tiga keluarga. Bagian dalam rumah terbagi atas dua ruangan. Ruang luar yang dipakai untuk duduk-duduk, menerima tamu, dan tidur. Dan ruang dalam yang berdinding dipakai untuk dapur dan menyimpan barang. Di atap biasanya ada beberapa gulungan tikar dari daun dan tumpukan bantal. Tikar tersebut berfungsi ganda. Kalau malam berguna untuk alas tidur dan siang harinya dipakai untuk menjemur cengkeh dan kopi.

Ada beberapa toilet umum di sela-sela beberapa rumah. Kalau dilihat dari bangunannya yang terbuat dari semen dan berpintu plastik, sepertinya itu bantuan dari pemerintah. Di desa ini ada banyak sekali anak kecil, tapi saya engga bisa memoto mereka yang sedang bermain karena sepertinya mereka tidak nyaman dengan orang asing.

Saya sebenarnya pengen ngobrol lebih banyak dengan orang-orang Huaulu. Sayang, saya tidak mengerti bahasa mereka dan kebanyakan penduduk Huaulu tidak bisa berbahasa Indonesia. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke penginapan. Sebelum pulang, saya berhenti sebentar di perkampungan transmigran untuk membeli buah semangka.

Sorenya, penginapan ramai dengan anak-anak kecil. Kami makan semangka bareng dan bermain. Kami membuat perahu dan burung dengan kertas lipat warna-warni yang saya bawa dari Jogja. Sebelumnya, kami menulis cita-cita kami di kertas-kertas tadi. Setelah selesai, kami menaruh kapal-kapal tadi.


Sore itu saya memuaskan diri bermain di laut. Sepertinya, besok saya harus pergi dari tempat ini. Sebenarnya, saya ingin tinggal lebih lama. Sawai tempat yang indah. Begitu bangun pagi, saya bisa melihat terumbu karang di laut dari kamar saya. Tiap pagi jalan-jalan sambil memoto perkampungan dan hutan dengan latar belakang langit dan laut yang sangat biru. Sorenya bermain dengan anak-anak kecil. Mungkin, kalau tinggal lebih lama saya bisa membacakan buku dan mengajar mereka. Tapi sepertinya ini bukan tempat saya. Saya masih belum bisa tinggal di tempat dengan akses internet terbatas. Tempat yang tidak ada buku-buku dan teman-teman untuk berdiskusi.

6 komentar :

  1. lutfii, jadi pengen jalan eksplor budaya bareng deehh..

    BalasHapus
  2. nice blog...perjalanan yang asik....di tunggu cerita2 selanjutnya....
    oh iya ini tulisan yang pernah di posting di blog temen.
    http://augenedit.com/?p=400
    dan ini blog yang masih mentah belum ada ide buat ngmbanginnya..
    http://ciungekapraya.wordpress.com/profildesa/

    BalasHapus
  3. mbak lutfi... pengen ikutan jalan2nya. >.<

    BalasHapus
  4. Jauh juga 100 km kalo mau ke bandung, kayak jkt-bandung :-(

    BalasHapus
  5. Mba Penginapan di sawai pak Ali punya no HPnya gak? inap permalamnya berapa ya..? kalo dari Sawai ke Transmigrasi jalannya tembus? dan satu lagi dari Sawai ke Orabeach ada transportasi laut, apa harus sewa..? trimkasih bnyak sebelumnya... ditunggu jawabnnya

    BalasHapus
  6. Hallo, Pak Ali bisa dihubungi di 082111181137. Dari Sawai ke lokasi transmigrasi ada jalan desa trus lewat jalan propinsi. Detail tentang transportasi bisa ditanyakan ke Pak Ali. Salam

    BalasHapus