Untuk masuk ke wilayah perkampungan, kami harus turun ke tangga sempit. Warung-warung cendera mata berjajar di kiri dan kanan jalan. Kebanyakan benda yang dijual di sana pasmina dan baju buatan pabrik. Banyak juga souvenir buatan Cina. Dan lagi-lagi, kami dikerubuti serombongan penduduk lokal dengan pertanyaan standarnya. Ada puluhan turis, sebagian besar bule dan disusul wajah Jepang. Jalan tadi sesak dengan orang. Saya langsung kumat sinisnya waktu lihat para turis tadi moto apapun yang sepertinya engga ada di daerah asal mereka.
Ya, tempat ini kaya museum hidup. Suku minoritas Hmong yang ada di sini jadi kaya bahan tontonan. Turis-turis tadi pada terpesona pada penduduk-penduduk yang miskin dan sibuk menyulam di depan gubuknya. Beberapa nggak bisa nutupin kekagumannya waktu lihat anak-anak kecil yang kucel dan ingusan.
Sepertinya, dalam sehari ada ratusan turis datang ke tempat ini. Tapi kok penduduk H’mong tetep aja miskin? Duit dari tiket masuknya ke mana ya? Saya ngerasa, mereka tu kaya dieksploitasi. Beberapa penduduk lokal sengaja mengeksploitasi dirinya. Mereka minta duit atau “maksa” turis belanja saat tahu dirinya difoto. Sebenarnya, saya pengen ngobrol sama penduduk lokal. Saya penasaran sama kehidupan sekari-hari mereka. Sayangnya, kebanyakan penduduk lokal yang saya temui Bahasa Inggrisnya terbatas. Mereka cuma bisa copy paste bilang: Siapa namamu? Dari mana asalmu? Punya berapa saudara? Buntut-buntutnya: Belanja dari saya ya? Atau: saya temani jalan-jalan ke desa ya? Saya sih nggak keberatan kalau mereka bisa diajak ngobrol dan cerita. Tapi, tiap kali saya berusaha ngajak ngobrol, mereka cuma ngelihatin dengan wajah nggak paham.
Setelah ngelewatin rumah-rumah penduduk, air terjun, dan tempat pertunjukkan, kami berhenti sebentar di pinggir sungai. Emily dan saya main ayunan bareng dua bocah yang umurnya mungkin dua dan empat tahunan. Mereka tadinya lucu dan menyenangkan. Awalnya, kami seneng-seneng aja ngebagi makanan waktu anak-anak itu minta. Mereka bisa bahasa Inggris lo. Lama-lama, kami males setelah mereka bilang: One dolar please? Bosen terlalu lama di tempat yang ramai, saya dan Emily mutusin pergi ke Desa San Sa Ho dan Desa Lao Chai.
Kami jalan ngikutin tangga keluar Desa Cat-cat. Setelah lewat jembatan penyebrangan, kami ketemu dengan banyak orang lagi duduk-duduk di motor. Pas kami tanya jalan, mereka mikir kami minta diantar ke Sapa. Kami berkali-kali ngejelasin kalau kami mau jalan-jalan ke desa lain. Kami papasan dengan seorang cewek pake baju tradisional Suku Hmong yang nganterin beberapa turis. Bajunya bersih dan kelihatan kalo dia cewek cetakan salon. Maksudnya, kulitnya terawat dan dia dandan pakai eye liner segala. Bahasa Inggrisnya bagus. Saya baru ngeh kalo perempuan-perempuan muda yang Bahasa Inggrisnya bagus itu biasanya dilatih sama penjual paket tour untuk jadi guide. Kami nanya jalan ke dia. Dia bilang, dia bingung ngejelasin arah beloknya. Dia nawarin untuk jalan bareng trus nanti dia nunjukin belokannya. Emily, yang salah tangkap, ngajakin tanya ke orang lain. Dia mikir tu guide nawarin jasa. Bukan salah dia juga sih. Penduduk lokal yang kami temui dari kemarin setelah berbasa-basi selalu nawarin dagangan. Beberapa maksa.
Kami trus tanya orang lain. Kami nunjukin peta lokasi yang pengen kami tuju karena dia nggak bisa Bahasa Inggris. Dia nunjuk ke arah jalan. Kami, dengan sok taunya berpikir lurus aja ikuti jalan. Saya jalan pelan-pelan banget. Capek bo, setelah berhari-hari kurang tidur. Sebentar-sebentar, kami berhenti. Rute jalan ini nyenengin karena kami cuma ketemu penduduk lokal. Pemandangan di kanan kiri kami penuh dengan bukit-bukit hijau dan sawah. Meski dah jam sebelas lebih, kami masih ngerasa kaya pagi karena Puncak Fansipan masih tertutup kabut (atau awan ya? :D). Sejam kemudian, kami mulai kelaparan. Kami mulai menghibur diri kalau desanya dah dekat.
Beberapa waktu kemudian, kami lewat rumah penduduk yang terbuat dari papan dan beratap seng. Rata-rata rumah punya kandang babi. Karena nggak ada orangnya, kami nganjutin jalan. Kami kemudian lewat barisan rumah lain. Di antaranya ada ibu dan anak yang lagi merendam daun perdu di ember raksasa. Daun-daun tadi ngeluarin air yang warnanya biru pekat mirip kaya tinta. Sepertinya itu proses pembuatan pewarna pakaian. Saya baru sadar kenapa banyak tangan penjual yang kami temui berwarna biru kehitaman. Saya berusaha tanya apa benar itu pewarna pakaian. Mereka berdua pergi menjauh sambil teriak “No” Lagi-lagi. Itu maksudnya bukan pewarna pakaian atau mereka nggak ngerti apa yang saya bicarakan?
Kami trus jalan dan ketemu beberapa orang. Waktu, kami tanya di mana tempat makan dengan cara menirukan cara orang makan, semua menjauh. Tadinya sih, kami berharap bisa mampir ke rumah penduduk lokal dan nyicipin makanan sehari-hari mereka. Tapi kalo gitu caranya, kayaknya nggak bakal bisa. Untung aja, kami lihat rumah makan. Horee... Meski ibu penjual yang kami temui juga nggak bisa Bahasa Inggris, dia ngerti kalau kami pengen makan. Dia nunjukin mie. Sebenarnya, saya sudah enek makan mie. Di Hanoi, sepertinya saya kebanyakan makan mie. Kali ini saya pasrah saking laparnya. Pas ibunya masak, saya tungguin. Di Hanoi, sebagian besar penjual makanan naruh terlalu banyak MSG. Dan, kalau saya engga bilang jangan, ibu tadi juga naruh sesendok besar MSG.
Suami pemilik rumah makan tadi ternyata lumayan bisa Bahasa Inggris. Dia bilang kalau sekarang kami ada di Desa Sin Chai. Yang arahnya berlawanan dengan desa yang kami tuju. Kami makan siang di samping jendela dengan pemandangan keren. Gunung-gunung hijau dan beberapa rumah dari kayu. Berasa di desa banget. Habis makan, kami beli snack lokal. Ada yang rasanya kaya enting-enting, ada yang kaya egg rool. Kami bawa makanan tadi ke atas bukit dan piknik di sana. Nggak pa-pa nyasar. Yang penting kami dapat tempat nyenengin dan engga banyak turis. Tadinya, kami mau lanjutin jalan terus ke air terjun yang kami datangi hari sebelumnya. Lalu nanti naik ojek dari sana. Tapi bapak yang kami temui bilang kalau jalannya rusak dan bercabang. Kami bisa tersasar. Akhirnya kami mutusin kembali ke Sapa.

Pas perjalanan pulang, pemandangannya berubah. Puncak Fansipan kelihatan dan langit biru di belakangnya. Kami ketemu kerbau-kerbau dan anak kecil yang jadi penggembalanya. Pengen nyoba naik kerbau. Sayang kotor banget dan persediaan baju bersih saya dah hampir habis. Saya mulai tepar pas jalan pulang. Waktu dekat Sapa, saya ngajak Emily berhenti bentar di sebuah galeri lukisan untuk beli es krim. Saya, yang biasanya kalo belanja di warung engga pakai nawar, setelah kemarin diajarin Paul dan M, iseng aja nyoba. Kami dapet dua es krim dengan harga 10.000 dong ( Rp 5 ribu). Murah banget. Mana makannya tempat yang pemandangannya keren. Galeri tadi bentuknya rumah panggung dari kayu. Restorannya menghadap ke arah lembah yang di bawahnya sawah-sawah. Pengen deh punya rumah kaya gitu.
Saya dan Emily ngobrol tentang etnis minoritas yang kami temui. Lumayan banyak turis yang terganggu dengan cara mereka nawarin dagangan. Kalau, sekali, dua kali dikerubuti dan ditanya dengan pertanyaan yang itu-itu aja sih mungkin engga masalah. Tapi dalam sekali jalan, turis-turis tadi dikeributi sampai belasan kali oleh puluhan orang yang berbeda. Bagi kami, yang bukan orang Vietnam, suara mereka mirip satu sama lain dan seperti lengkingan. Banyak turis yang kemudian ngejawab dengan kasar.
Malamnya, saya, Emily, dan Lee, teman sehotel dari Belanda makan malam di restoran asyik yang saya lupa namanya. Di Sapa, banyak banget restoran dengan menu Eropa. Harganya sebenarnya lumayan mahal buat tukang jalan-jalan yang pengen irit kaya kami. Tapi nggak pa-pa lah sekali-kali. Habis makan, Lee pulang. Saya dan Emily lanjutin liat-liat kota kalau malam. Kami jalan kaki ngelewatin pasar yang masih buka sampai malam. Lanjut ke pusat kota dan lewat Gereja Sapa. Banyak banget orang di sana. Gereja tadi kelihatan cantik karena dihiasi lampu warna-warni. Dinding gereja penuh jendela besar dengan lukisan kaca. Kami mutusin untuk balik lagi ke gereja besok pagi. Pengen lihat lukisan dan dalamnya kalau siang hari.
Kami trus jalan ke arah Danau Sapa. Kota ini mirip kaya kota di Eropa. Rumah-rumahnya berjajar rapi. Trus nggak tau ada acara apa, di pohon-pohon pinggir jalan banyak lampu warna-warni. Kami ketemu banyak penduduk lokal yang bukan suku minoritas. Padahal kalo siang, jalanan tadi penuh dengan turis yang diikuti penduduk dengan baju tradisional yang nawarin dagangan. Ada banyak orang jalan kaki berombongan dengan teman atau bareng keluarga. Saya dan Emily sampai heran, wajah-wajah mereka kelihatan bahagia. Baru saja merayakan sesuatu atau mereka memang selalu bahagia? Pas perjalanan pulang, kami lihat beberapa perempuan muda yang tadi siang kami temui pakai baju tradisional dan jadi guide nongkrong di cafe dengan baju seperti layaknya anak muda jaman sekarang. Saya penaasaran pengen tahu kenapa. Sayang, saya cuma sebentar di sini. Ada banyak hal yang masih ingin saya tahu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar