Hari terakhir di Sapa. Sebenarnya kalau tidak ada acara nikahan sepupu, saya masih ingin tinggal beberapa hari lagi untuk keliling desa. Masih penasaran dengan penduduk lokal dan baju unik mereka. Sejak pukul empat sore, saya duduk-duduk di bar. Ada Tom dan Ryan yang sedang main bilyar. Ryan ini turis pertama yang beberapa hari sebelumnya saya temui di stasiun kereta. Waktu itu, dia sempat nggak ramah karena mikir saya mau nipu dia.
Seharusnya, travel menjemput saya jam 5. Tapi sampai pukul 5.15, mereka belum juga datang. Saya meminta pemilik penginapan untuk menelepon travel tempat saya membeli tiket. Setengah jam kemudian, travel belum datang. Saya mulai panik dan meminta pemilik penginapan untuk menelfon lagi. Dari seberang telepon, penjual tiket meminta maaf. Dia bilang akan menyuruh orang untuk menjemput saya.
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan menjemput saya naik sepeda motor. Kami kemudian menunggu di pinggir jalan. Sepertinya, bus yang seharusnya saya naiki sudah pergi dan dia mencarikan gantinya. Perempuan tadi menyetop sebuah travel dan menyampaikan sesuatu dalam Bahasa Vietnam ke sopirnya. Jadilah saya ikut travel tadi.
Travel sampai di Kota Lao Cai hampir pukul 19.00. Saya mulai cemas karena harus menukar tiket dahulu dan kereta berangkat pukul 19.30. Waktunya terlalu mepet. Ibu tempat saya membeli tiket kemarin berpesan kalau saya harus mengambil tiket di kounter yang letaknya di sebelah kanan stasiun. Saya berlari ke sana karena takut terlambat.
Sampai di agen kereta, saya bertemu dua petugas. Waktu saya menunjukkan kuitansi pembelian tiket, seorang petugas menunjuk ke arah sebrang jalan. “5 minutes walk” Saya bingung, jalan yang ia tunjuk ada banyak. Saat saya bertanya, ternyata dia tidak mengerti Bahasa Inggris. Dia hanya menunjuk-nunjuk ke seberang jalan kemudian pergi berlalu.
Saya jalan kaki dan menyusuri pertokoan yang di maksud. Saya berkali-kali bertanya ke beberapa orang sambil menunjukkan alamat yang tertulis di tiket saya. Beberapa menunjukkan arah yang salah. Hingga ada seseorang bilang saya harus kembali ke ujung jalan. Akhirnya saya menemukan agen perjalanan yang dimaksud. Tapi kantornya terkunci. Tidak ada orang di sana. Saya mencoba bertanya ke pemilik toko yang ada di kiri dan kanan kantor tadi. Orang-orang yang saya tanya hanya menyingkir sambil memberi isyarat kalau mereka tidak bisa Bahasa Inggris.
Saya duduk sebentar di depan kantor tadi. Bengong kaya anak ilang. Karena saya tidak yakin kalau orang yang saya tunggu akan datang, saya memutuskan kembali ke agen kereta api yang saya datangi sebelumnya. Untung saja di sana saya bertemu seorang ibu yang bisa berbahasa Inggris. Dia menelfon seseorang yang membawa tiket saya. Ia kemudian mengajak saya menunggu di depan pintu stasiun.
Saya mulai panik. Berkali-kali saya melirik ke arah jam di dinding stasiun. Sudah pukul 19.25. Sebentar lagi kereta berangkat. Saya mulai berpikir untuk membeli tiket lain. Saya harus sampai Hanoi besok pagi karena harus mengejar pesawat. Kayaknya bakalan kehilangan 600 sampai 700 ribu dong (300 sampai 350 ribu rupiah). Tapi itu lebih mending daripada ketinggalan pesawat. Saya mulai mengutuk-ngutuk tempat saya membeli tiket kemarin. Nggak tanggung jawab banget!
Daaannnn, seorang laki-laki datang dengan wajah tidak bersalah sambil menyerahkan tiket saya. Tu Mas tau nggak kalau dia telat dikit aja saya ketinggalan kereta? Saya mengucapkan terimakasih ke si ibu dan berlari.
Setelah menaruh barang bawaan, saya mengeluarkan sandwich raksasa yang tadi saya pesan di hotel. Tadinya sih saya mau makan malam di stasiun karena kalau semuanya berjalan normal, masih ada waktu untuk makan. Tapi kata Tom, sebaiknya dalam perjalanan membawa bekal untuk jaga-jaga. Sandwich tadi panjangnya lebih dari 30 senti. Meskipun peyok karena ketimpa bawaan lain, kentang gorengnya lumayan buat ganjal perut.
Tak lama kemudian, dua laki-laki yang umurnya masih awal dua puluh tahunan datang. Dia menunjukkan tiketnya ke saya. Saya bingung. Apa maksud dia saya salah tempat? Orang yang tidur di atas bangun dan menjelaskan pakai Bahasa Inggris. Tiket dia di gerbong sebelah, tapi dia ingin menukarnya supaya bisa bareng dengan temannya. Saya yang terlanjur capai dan males pindah tempat bilang engga.
Ternyataaa... si teman tadi memilih untuk ada di gerbong saya. Ceritanya, cowok yang ada di gerbong saya tiba-tiba jadi drama king. Hampir nangis gitu pas mau ditinggalin ke gerbong sebelah. Halah, lebay banget. Mereka berduaan di kasur di atas saya. Nggak tau apa yang diobrolin, yang pasti ribut banget. Berasa kaya dunia milik berdua. Sebenarnya saya kesel dan pengen protes. Sayangnya, saya nggak bisa bahasa mereka. Batal deh tidur. Padahal saya sengaja milih naik kereta yang ada tempat tidurnya karena pengen istirahat.
Beberapa jam kemudian, ada petugas kereta datang. Mereka berdebat sebentar. Petugas tadi nyuruh salah satu cowok pergi ke gerbong lain. Diam-diam saya hore-hore. Bukannya saya jahat dan tidak merestui kisah cinta kalian, tapi jangan ganggu tidur orang dong.
Belum sempat tidur, saya di bangunkan penumpang di kasur seberang saya. Lupa jam berapa, tapi langit di luar masih gelap. Saya melihat kota Hanoi di luar. Beberapa pasar tradisional sudah ramai. Mereka berjualan di lapak-lapak dengan bantuan cahaya dari lampu minyak.
Beberapa menit kemudian, kereta berhenti. Saya turun dan mencari-cari kamar mandi. Toilet pertama yang saya temui bau banget. Saya batal masuk karena hampir mutah. Akhirnya saya menemukan toilet yang cukup bersih di luar. Lumayan lah untuk mandi. Di depannya, ada lima orang bapak-bapak dan ibu sedang sibuk bermain kartu. Umur mereka diatas lima puluh tahun. Seseorang meneriakkan kata 5.000 dong tanpa menoleh ke saya.
Langit mulai berwarna putih. Saya mengeluarkan peta dan mulai berjalan kaki. Tujuan saya Mausoleum Ho Chi Mih. Saya melewati bangunan-bangunan megah dengan arsitektur Perancis yang sekarang sebagian berfungsi sebagai kedutaan. Waktu lewat Lapangan Lenin, saya berhenti sebentar untuk memoto. Pagi itu ada puluhan orang di sana. Ada satu kelompok besar ibu-ibu dan bapak-bapak sedang senam pagi. Lalu ada anak-anak kecil yang berlarian atau bermain sepeda. Entah itu kegiatan rutin tiap hari, atau kebetulan saya lewat tempat tadi pas hari Jumat?
Di seberang jalan ada bangunan monumen dari batu bata kuno dengan bendera merah Vietnam mencolok di puncaknya. Tower tadi jadi bagian dari Museum Sejarah Militer Vietnam. Saya ingin mendekat tapi pintu menuju ke sana tertutup. Sepertinya ini terlalu pagi. Saya kemudian melanjutkan perjalanan. Hanoi kalo pagi nyenengin untuk jalan kaki. Lengang. Nanti, kalau sudah jam 8 dan sore setelah jam empat, jalannya ramai banget. Penuh ribuan motor yang keburu-buru. Dan hebatnya, saya yang biasa nyasar, kali ini bisa membaca peta dengan benar! Sampai deh di Lapangan Mausouleumnya Ho Chi Mih. Konon di dalamnya, ada tubuh kakek yang mukanya menghiasi semua mata uang di Vietnam. Kalau nggak salah, mausoleumnya buka jam 8. Dan ini belum ada jam 6.
Pagi itu ada banyak sekali orang tua dan muda di lapangan. Pada olahraga. Menurut saya, bagian paling keren dari tata kota Vietnam adalah banyak ruang terbuka untuk warganya. Di hampir setiap pojokan kota, pasti ada taman yang bisa dipakai buat duduk-duduk atau olahraga.
Saya milih untuk duduk dan liat-liat. Dekat dengan jam 6, ada petugas keluar dari Mausoleum. Orang-orang mulai menyingkir dari lapangan. Muncul pasukan pakai seragam putih-putih dari dalam bangunan abu-abu dari batu. Jumlahnya sepertinya ada kalau dua puluhan. Mereka kemudian naikin bendera. Semua orang yang ada di lapangan berdiri dan diam sambil ngelihat ke arah tiang bendera dengan penuh hormat. Padahal nggak ada yang nyuruh lo. Saya yang tadinya duduk jadi ikutan berdiri karena nggak enak hati. Setelah upacara selesai, orang-orang kembali olahraga.
Berhubung jam buka mausoleum masih lama, saya pergi ke deretan cafe di pinggir jalan untuk nyari sarapan. Gara-gara ngelihat ada tumpukan kelapa muda. Selain sarapan, saya juga pesen tadi. Ternyata isinya bukan minuman kelapa muda. Ada santan kental dan jeli rasa air kelapa didalamnya. Saya nggak ngerti gimana cara bikinnya.
Jam delapan, saya balik ke maousoleum. Hari Jumat mereka ngga buka, saudara-saudara. Berhubung tiba-tiba ujan, saya memutuskan untuk jalan kaki ke Goethe Institute. Ada tukang ojek nyamperin saya. Saya bilang saya mau jalan-jalan ke arah dekat Temple of Literature. Dia berusaha meyakinkan kalau tempat itu jauh. Perasaan di peta letaknya jauh lebih dekat daripada ke stasiun kereta. Toh, saya juga nggak keburu-buru karena memang pengen liat-liat kota.
Sampai di Goethe Institute, Mai Lan yang saya titipin laptop belum datang karena hujan deras. Ya sudah, saya nunggu di Doc Lab sambil nonton film. Ada banyak film festival di arsip mereka. Pengen ngopiii.... Pas Mai Lan datang, ia kemudian nelponin taksi. Dia bilang kalau ongkos taksi sampai ke bandara sekitar 250 ribu dong (sekitar 125 ribu).
Waktu taksinya datang, saya langsung masuk dan tidur saking capeknya. Pas bangun, saya kaget karena meteran taksi sudah menunjukkan angka 380 ribu. Padahal, bandara masih jauh. Sepertinya argo taksi bergerak terlalu cepat. Sampai di bandara, argo berhenti di angka 490 sekian ribu. Hampir dua kali lipat tarif normal. Saya protes dan bilang hanya mau membayar 250 ribu karena itu harga umum. Sopir tadi akhirnya bilang iya. Karena nggak punya uang kecil, saya bayar dengan dua lembar dua ratusan ribu dong.
Awalnya, si sopir taksi cuma mengembalikan seratus ribu. Mau nipu saya lagi ya? Enak aja. Saya tahu, jadi sopir taksi itu nggak mudah. Tiap hari harus ngadepin macet dan harus kejar setoran harian yang besar. Tapi bukan berarti Anda punya hak untuk ngambil sesuatu yang bukan milikmu. Kadang, saya melebihkan uang kalau tukang taksi yang ramah, tapi untuk yang ini, males deh.
Berhubung pesawat saya masih lama, saya keliling bandara sambil nyari penukaran uang. Lumayan, masih ada sisa yang diubah ke dolar jadi 57 dolar. Dolar yang saya bawa dari Indonesia pun masih utuh. Yang tujuh dolar saya pakai untuk beli selendang sutra. Tadinya saya berusaha nggak khilaf, tapi kali ini motifnya jumputan, mirip jumputan yang ada di Indonesia. Dan, 7 dolar untuk sebuah seledang dari sutra engga mahal.
Saya kemudian terbang pakai Malaysian Airlines ke Kuala Lumpur. Dari sana, saya ganti pesawat ke Jakarta. Sebenarnya, dari Kuala Lumpur ada penerbangan langsung ke Jogja. Cuma harus terbang siang hari berikutnya, dan saya harus sampai di Jogja Sabtu pagi.
Pesawat sampai di Jakarta jam 10 malam. Mulailah saya kaya anak ilang. Sendirian muter-muter bandara sambil nunggu besok pagi jam 4 buat check in. Herannya, kali ini saya bisa tidur di tempat umum. Mungkin saking capeknya kali? Dan, pesawat saya yang tiketnya hampir satu juta itu tetep telat. Saya baru sampai di Jogja setengah depan. Saya pulang sebentar untuk mandi trus ganti baju dan datang ke nikahan sepupu saya.