Rabu, 10 Juli 2013

38 Jam untuk Pulang

Hari terakhir di Sapa. Sebenarnya kalau tidak ada acara nikahan sepupu, saya masih ingin tinggal beberapa hari lagi untuk keliling desa. Masih penasaran dengan penduduk lokal dan baju unik mereka. Sejak pukul empat sore, saya duduk-duduk di bar. Ada Tom dan Ryan yang sedang main bilyar. Ryan ini turis pertama yang beberapa hari sebelumnya saya temui di stasiun kereta. Waktu itu, dia sempat nggak ramah karena mikir saya mau nipu dia.

Rice field view hotel

Seharusnya, travel menjemput saya jam 5. Tapi sampai pukul 5.15, mereka belum juga datang. Saya meminta pemilik penginapan untuk menelepon travel tempat saya membeli tiket. Setengah jam kemudian, travel belum datang. Saya mulai panik dan meminta pemilik penginapan untuk menelfon lagi. Dari seberang telepon, penjual tiket meminta maaf. Dia bilang akan menyuruh orang untuk menjemput saya.

Sapa Traditional textile
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan menjemput saya naik sepeda motor. Kami kemudian menunggu di pinggir jalan. Sepertinya, bus yang seharusnya saya naiki sudah pergi dan dia mencarikan gantinya. Perempuan tadi menyetop sebuah travel dan menyampaikan sesuatu dalam Bahasa Vietnam ke sopirnya. Jadilah saya ikut travel tadi.

Travel sampai di Kota Lao Cai hampir pukul 19.00. Saya mulai cemas karena harus menukar tiket dahulu dan kereta berangkat pukul 19.30. Waktunya terlalu mepet. Ibu tempat saya membeli tiket kemarin berpesan kalau saya harus mengambil tiket di kounter yang letaknya di sebelah kanan stasiun. Saya berlari ke sana karena takut terlambat.

Sampai di agen kereta, saya bertemu dua petugas. Waktu saya menunjukkan kuitansi pembelian tiket, seorang petugas menunjuk ke arah sebrang jalan. “5 minutes walk” Saya bingung, jalan yang ia tunjuk ada banyak. Saat saya bertanya, ternyata dia tidak mengerti Bahasa Inggris. Dia hanya menunjuk-nunjuk ke seberang jalan kemudian pergi berlalu.

Hanoi
Saya jalan kaki dan menyusuri pertokoan yang di maksud. Saya berkali-kali bertanya ke beberapa orang sambil menunjukkan alamat yang tertulis di tiket saya. Beberapa menunjukkan arah yang salah. Hingga ada seseorang bilang saya harus kembali ke ujung jalan. Akhirnya saya menemukan agen perjalanan yang dimaksud. Tapi kantornya terkunci. Tidak ada orang di sana. Saya mencoba bertanya ke pemilik toko yang ada di kiri dan kanan kantor tadi. Orang-orang yang saya tanya hanya menyingkir sambil memberi isyarat kalau mereka tidak bisa Bahasa Inggris.

Saya duduk sebentar di depan kantor tadi. Bengong kaya anak ilang. Karena saya tidak yakin kalau orang yang saya tunggu akan datang, saya memutuskan kembali ke agen kereta api yang saya datangi sebelumnya. Untung saja di sana saya bertemu seorang ibu yang bisa berbahasa Inggris. Dia menelfon seseorang yang membawa tiket saya. Ia kemudian mengajak saya menunggu di depan pintu stasiun.

Saya mulai panik. Berkali-kali saya melirik ke arah jam di dinding stasiun. Sudah pukul 19.25. Sebentar lagi kereta berangkat. Saya mulai berpikir untuk membeli tiket lain. Saya harus sampai Hanoi besok pagi karena harus mengejar pesawat. Kayaknya bakalan kehilangan 600 sampai 700 ribu dong (300 sampai 350 ribu rupiah). Tapi itu lebih mending daripada ketinggalan pesawat. Saya mulai mengutuk-ngutuk tempat saya membeli tiket kemarin. Nggak tanggung jawab banget!

Daaannnn, seorang laki-laki datang dengan wajah tidak bersalah sambil menyerahkan tiket saya. Tu Mas tau nggak kalau dia telat dikit aja saya ketinggalan kereta? Saya mengucapkan terimakasih ke si ibu dan berlari.
Setelah menaruh barang bawaan, saya mengeluarkan sandwich raksasa yang tadi saya pesan di hotel. Tadinya sih saya mau makan malam di stasiun karena kalau semuanya berjalan normal, masih ada waktu untuk makan. Tapi kata Tom, sebaiknya dalam perjalanan membawa bekal untuk jaga-jaga. Sandwich tadi panjangnya lebih dari 30 senti. Meskipun peyok karena ketimpa bawaan lain, kentang gorengnya lumayan buat ganjal perut. 

Tak lama kemudian, dua laki-laki yang umurnya masih awal dua puluh tahunan datang. Dia menunjukkan tiketnya ke saya. Saya bingung. Apa maksud dia saya salah tempat? Orang yang tidur di atas bangun dan menjelaskan pakai Bahasa Inggris. Tiket dia di gerbong sebelah, tapi dia ingin menukarnya supaya bisa bareng dengan temannya. Saya yang terlanjur capai dan males pindah tempat bilang engga.

Ternyataaa... si teman tadi memilih untuk ada di gerbong saya. Ceritanya, cowok yang ada di gerbong saya tiba-tiba jadi drama king. Hampir nangis gitu pas mau ditinggalin ke gerbong sebelah. Halah, lebay banget. Mereka berduaan di kasur di atas saya. Nggak tau apa yang diobrolin, yang pasti ribut banget. Berasa kaya dunia milik berdua. Sebenarnya saya kesel dan pengen protes. Sayangnya, saya nggak bisa bahasa mereka. Batal deh tidur. Padahal saya sengaja milih naik kereta yang ada tempat tidurnya karena pengen istirahat.
Beberapa jam kemudian, ada petugas kereta datang. Mereka berdebat sebentar. Petugas tadi nyuruh salah satu cowok pergi ke gerbong lain. Diam-diam saya hore-hore. Bukannya saya jahat dan tidak merestui kisah cinta kalian, tapi jangan ganggu tidur orang dong.

Belum sempat tidur, saya di bangunkan penumpang di kasur seberang saya. Lupa jam berapa, tapi langit di luar masih gelap. Saya melihat kota Hanoi di luar. Beberapa pasar tradisional sudah ramai. Mereka berjualan di lapak-lapak dengan bantuan cahaya dari lampu minyak.

Beberapa menit kemudian, kereta berhenti. Saya turun dan mencari-cari kamar mandi. Toilet pertama yang saya temui bau banget. Saya batal masuk karena hampir mutah. Akhirnya saya menemukan toilet yang cukup bersih di luar. Lumayan lah untuk mandi. Di depannya, ada lima orang bapak-bapak dan ibu sedang sibuk bermain kartu. Umur mereka diatas lima puluh tahun. Seseorang meneriakkan kata 5.000 dong tanpa menoleh ke saya.

Ho Chi Mi Mausoleum Hanoi
Langit mulai berwarna putih. Saya mengeluarkan peta dan mulai berjalan kaki. Tujuan saya Mausoleum Ho Chi Mih. Saya melewati bangunan-bangunan megah dengan arsitektur Perancis yang sekarang sebagian berfungsi sebagai kedutaan. Waktu lewat Lapangan Lenin, saya berhenti sebentar untuk memoto. Pagi itu ada puluhan orang di sana. Ada satu kelompok besar ibu-ibu dan bapak-bapak sedang senam pagi. Lalu ada anak-anak kecil yang berlarian atau bermain sepeda. Entah itu kegiatan rutin tiap hari, atau kebetulan saya lewat tempat tadi pas hari Jumat?

Di seberang jalan ada bangunan monumen dari batu bata kuno dengan bendera merah Vietnam mencolok di puncaknya. Tower tadi jadi bagian dari Museum Sejarah Militer Vietnam. Saya ingin mendekat tapi pintu menuju ke sana tertutup. Sepertinya ini terlalu pagi. Saya kemudian melanjutkan perjalanan. Hanoi kalo pagi nyenengin untuk jalan kaki. Lengang. Nanti, kalau sudah jam 8 dan sore setelah jam empat, jalannya ramai banget. Penuh ribuan motor yang keburu-buru. Dan hebatnya, saya yang biasa nyasar, kali ini bisa membaca peta dengan benar! Sampai deh di Lapangan Mausouleumnya Ho Chi Mih. Konon di dalamnya, ada tubuh kakek yang mukanya menghiasi semua mata uang di Vietnam. Kalau nggak salah, mausoleumnya buka jam 8. Dan ini belum ada jam 6.

Pagi itu ada banyak sekali orang tua dan muda di lapangan. Pada olahraga. Menurut saya, bagian paling keren dari tata kota Vietnam adalah banyak ruang terbuka untuk warganya. Di hampir setiap pojokan kota, pasti ada taman yang bisa dipakai buat duduk-duduk atau olahraga.

Saya milih untuk duduk dan liat-liat. Dekat dengan jam 6, ada petugas keluar dari Mausoleum. Orang-orang mulai menyingkir dari lapangan. Muncul pasukan pakai seragam putih-putih dari dalam bangunan abu-abu dari batu. Jumlahnya sepertinya ada kalau dua puluhan. Mereka kemudian naikin bendera. Semua orang yang ada di lapangan berdiri dan diam sambil ngelihat ke arah tiang bendera dengan penuh hormat. Padahal nggak ada yang nyuruh lo. Saya yang tadinya duduk jadi ikutan berdiri karena nggak enak hati. Setelah upacara selesai, orang-orang kembali olahraga.

Berhubung jam buka mausoleum masih lama, saya pergi ke deretan cafe di pinggir jalan untuk nyari sarapan. Gara-gara ngelihat ada tumpukan kelapa muda. Selain sarapan, saya juga pesen tadi. Ternyata isinya bukan minuman kelapa muda. Ada santan kental dan jeli rasa air kelapa didalamnya. Saya nggak ngerti gimana cara bikinnya.

Hanoi building
Jam delapan, saya balik ke maousoleum. Hari Jumat mereka ngga buka, saudara-saudara. Berhubung tiba-tiba ujan, saya memutuskan untuk jalan kaki ke Goethe Institute. Ada tukang ojek nyamperin saya. Saya bilang saya mau jalan-jalan ke arah dekat Temple of Literature. Dia berusaha meyakinkan kalau tempat itu jauh. Perasaan di peta letaknya jauh lebih dekat daripada ke stasiun kereta. Toh, saya juga nggak keburu-buru karena memang pengen liat-liat kota. 

Sampai di Goethe Institute, Mai Lan yang saya titipin laptop belum datang karena hujan deras. Ya sudah, saya nunggu di Doc Lab sambil nonton film. Ada banyak film festival di arsip mereka. Pengen ngopiii.... Pas Mai Lan datang, ia kemudian nelponin taksi. Dia bilang kalau ongkos taksi sampai ke bandara sekitar 250 ribu dong (sekitar 125 ribu).

Waktu taksinya datang, saya langsung masuk dan tidur saking capeknya. Pas bangun, saya kaget karena meteran taksi sudah menunjukkan angka 380 ribu. Padahal, bandara masih jauh. Sepertinya argo taksi bergerak terlalu cepat. Sampai di bandara, argo berhenti di angka 490 sekian ribu. Hampir dua kali lipat tarif normal. Saya protes dan bilang hanya mau membayar 250 ribu karena itu harga umum. Sopir tadi akhirnya bilang iya. Karena nggak punya uang kecil, saya bayar dengan dua lembar dua ratusan ribu dong.

warning fake taxi
Awalnya, si sopir taksi cuma mengembalikan seratus ribu. Mau nipu saya lagi ya? Enak aja. Saya tahu, jadi sopir taksi itu nggak mudah. Tiap hari harus ngadepin macet dan harus kejar setoran harian yang besar. Tapi bukan berarti Anda punya hak untuk ngambil sesuatu yang bukan milikmu. Kadang, saya melebihkan uang kalau tukang taksi yang ramah, tapi untuk yang ini, males deh.

Berhubung pesawat saya masih lama, saya keliling bandara sambil nyari penukaran uang. Lumayan, masih ada sisa yang diubah ke dolar jadi 57 dolar. Dolar yang saya bawa dari Indonesia pun masih utuh. Yang tujuh dolar saya pakai untuk beli selendang sutra. Tadinya saya berusaha nggak khilaf, tapi kali ini motifnya jumputan, mirip jumputan yang ada di Indonesia. Dan, 7 dolar untuk sebuah seledang dari sutra engga mahal.
Saya kemudian terbang pakai Malaysian Airlines ke Kuala Lumpur. Dari sana, saya ganti pesawat ke Jakarta. Sebenarnya, dari Kuala Lumpur ada penerbangan langsung ke Jogja. Cuma harus terbang siang hari berikutnya, dan saya harus sampai di Jogja Sabtu pagi.

Pesawat sampai di Jakarta jam 10 malam. Mulailah saya kaya anak ilang. Sendirian muter-muter bandara sambil nunggu besok pagi jam 4 buat check in. Herannya, kali ini saya bisa tidur di tempat umum. Mungkin saking capeknya kali? Dan, pesawat saya yang tiketnya hampir satu juta itu tetep telat. Saya baru sampai di Jogja setengah depan. Saya pulang sebentar untuk mandi trus ganti baju dan datang ke nikahan sepupu saya.

Kamis, 04 Juli 2013

Trekking di Sapa, Vietnam

Setelah kemarin mengalami hari yang aneh, kali ini saya dan Emily keliling jalan kaki. Kami sengaja engga ambil paket tour (yang ditawarkan di mana-mana) karena males. Selain lebih mahal (kita kan berusaha irit supaya bisa belanja :P) Trus kalo ikut tour pasti ke tempat-tempat yang banyak turisnya. Nggak bebas lagi mo ngabur ke mana. Kami trus dengan pedenya bawa peta dan tanya-tanya.

Danau Sapa, Vietnam

Sebelumnya kami jalan ke pusat kota dan sarapan di restoran yang saya lupa namanya. Interiornya asik dan didominasi warna coklat. Penuh dengan perabotan dari kayu cantik. Baju-baju tradisional jadi hiasan di sudut ruangan. Keluar dari kota, kami ke Desa Cat-cat. Untuk sampai ke sana, kami harus bayar tiket 40.000 dong (sekitar 20 ribu rupiah). Di tiket ada tulisan “Coming to Cat cat tourist area, you will have the opportunity to explore the life of H’mong ethnic minority, admire the majestic beauty of rice terace, waterfall and hydroelectric plant which built by the French since the 20 th century”. 

Untuk masuk ke wilayah perkampungan, kami harus turun ke tangga sempit. Warung-warung cendera mata berjajar di kiri dan kanan jalan. Kebanyakan benda yang dijual di sana pasmina dan baju buatan pabrik. Banyak juga souvenir buatan Cina. Dan lagi-lagi, kami dikerubuti serombongan penduduk lokal dengan pertanyaan standarnya. Ada puluhan turis, sebagian besar bule dan disusul wajah Jepang. Jalan tadi sesak dengan orang. Saya langsung kumat sinisnya waktu lihat para turis tadi moto apapun yang sepertinya engga ada di daerah asal mereka.

Desa Wisata Cat-cat
Ya, tempat ini kaya museum hidup. Suku minoritas Hmong yang ada di sini jadi kaya bahan tontonan.  Turis-turis tadi pada terpesona pada penduduk-penduduk yang miskin dan sibuk menyulam di depan gubuknya. Beberapa nggak bisa nutupin kekagumannya waktu lihat anak-anak kecil yang kucel dan ingusan.
Sepertinya, dalam sehari ada ratusan turis datang ke tempat ini. Tapi kok penduduk H’mong tetep aja miskin? Duit dari tiket masuknya ke mana ya? Saya ngerasa, mereka tu kaya dieksploitasi. Beberapa penduduk lokal sengaja mengeksploitasi dirinya. Mereka minta duit atau “maksa” turis belanja saat tahu dirinya difoto. Sebenarnya, saya pengen ngobrol sama penduduk lokal. Saya penasaran sama kehidupan sekari-hari mereka. Sayangnya, kebanyakan penduduk lokal yang saya temui Bahasa Inggrisnya terbatas. Mereka cuma bisa copy paste bilang: Siapa namamu? Dari mana asalmu? Punya berapa saudara? Buntut-buntutnya: Belanja dari saya ya? Atau: saya temani jalan-jalan ke desa ya? Saya sih nggak keberatan kalau mereka bisa diajak ngobrol dan cerita. Tapi, tiap kali saya berusaha ngajak ngobrol, mereka cuma ngelihatin dengan wajah nggak paham.

Desa Cat-cat Vietnam
Setelah ngelewatin rumah-rumah penduduk, air terjun, dan tempat pertunjukkan, kami berhenti sebentar di pinggir sungai. Emily dan saya main ayunan bareng dua bocah yang umurnya mungkin dua dan empat tahunan. Mereka tadinya lucu dan menyenangkan. Awalnya, kami seneng-seneng aja ngebagi makanan waktu anak-anak itu minta. Mereka bisa bahasa Inggris lo. Lama-lama, kami males setelah mereka bilang: One dolar please? Bosen terlalu lama di tempat yang ramai, saya dan Emily mutusin pergi ke Desa San Sa Ho dan Desa Lao Chai.

Kami jalan ngikutin tangga keluar Desa Cat-cat. Setelah lewat jembatan penyebrangan, kami ketemu dengan banyak orang lagi duduk-duduk di motor. Pas kami tanya jalan, mereka mikir kami minta diantar ke Sapa. Kami berkali-kali ngejelasin kalau kami mau jalan-jalan ke desa lain. Kami papasan dengan seorang cewek pake baju tradisional Suku Hmong yang nganterin beberapa turis. Bajunya bersih dan kelihatan kalo dia cewek cetakan salon. Maksudnya, kulitnya terawat dan dia dandan pakai eye liner segala. Bahasa Inggrisnya bagus. Saya baru ngeh kalo perempuan-perempuan muda yang Bahasa Inggrisnya bagus itu biasanya dilatih sama penjual paket tour untuk jadi guide. Kami nanya jalan ke dia. Dia bilang, dia bingung ngejelasin arah beloknya. Dia nawarin untuk jalan bareng trus nanti dia nunjukin belokannya. Emily, yang salah tangkap, ngajakin tanya ke orang lain. Dia mikir tu guide nawarin jasa. Bukan salah dia juga sih. Penduduk lokal yang kami temui dari kemarin setelah berbasa-basi selalu nawarin dagangan. Beberapa maksa.

Desa Wisata Cat-cat

Kami trus tanya orang lain. Kami nunjukin peta lokasi yang pengen kami tuju karena dia nggak bisa Bahasa Inggris. Dia nunjuk ke arah jalan. Kami, dengan sok taunya berpikir lurus aja ikuti jalan.  Saya jalan pelan-pelan banget. Capek bo, setelah berhari-hari kurang tidur. Sebentar-sebentar, kami berhenti. Rute jalan ini nyenengin karena kami cuma ketemu penduduk lokal. Pemandangan di kanan kiri kami penuh dengan bukit-bukit hijau dan sawah.  Meski dah jam sebelas lebih, kami masih ngerasa kaya pagi karena Puncak Fansipan masih tertutup kabut (atau awan ya? :D). Sejam kemudian, kami mulai kelaparan. Kami mulai menghibur diri kalau desanya dah dekat.

Beberapa waktu kemudian, kami lewat rumah penduduk yang terbuat dari papan dan beratap seng. Rata-rata rumah punya kandang babi. Karena nggak ada orangnya, kami nganjutin jalan. Kami kemudian lewat barisan rumah lain. Di antaranya ada ibu dan anak yang lagi merendam daun perdu di ember raksasa. Daun-daun tadi ngeluarin air yang warnanya biru pekat mirip kaya tinta. Sepertinya itu proses pembuatan pewarna pakaian. Saya baru sadar kenapa banyak tangan penjual yang kami temui berwarna biru kehitaman. Saya berusaha tanya apa benar itu pewarna pakaian. Mereka berdua pergi menjauh sambil teriak “No” Lagi-lagi. Itu maksudnya bukan pewarna pakaian atau mereka nggak ngerti apa yang saya bicarakan?
Kami trus jalan dan ketemu beberapa orang. Waktu, kami tanya di mana tempat makan dengan cara menirukan cara orang makan, semua menjauh. Tadinya sih, kami berharap bisa mampir ke rumah penduduk lokal dan nyicipin makanan sehari-hari mereka. Tapi kalo gitu caranya, kayaknya nggak bakal bisa. Untung aja, kami lihat rumah makan. Horee... Meski ibu penjual yang kami temui juga nggak bisa Bahasa Inggris, dia ngerti kalau kami pengen makan. Dia nunjukin mie. Sebenarnya, saya sudah enek makan mie. Di Hanoi, sepertinya saya kebanyakan makan mie. Kali ini saya pasrah saking laparnya. Pas ibunya masak, saya tungguin. Di Hanoi, sebagian besar penjual makanan naruh terlalu banyak MSG. Dan, kalau saya engga bilang jangan, ibu tadi juga naruh sesendok besar MSG.

Suami pemilik rumah makan tadi ternyata lumayan bisa Bahasa Inggris. Dia bilang kalau sekarang kami ada di Desa Sin Chai. Yang arahnya berlawanan dengan desa yang kami tuju. Kami makan siang di samping jendela dengan pemandangan keren. Gunung-gunung hijau dan beberapa rumah dari kayu. Berasa di desa banget. Habis makan, kami beli snack lokal. Ada yang rasanya kaya enting-enting, ada yang kaya egg rool. Kami bawa makanan tadi ke atas bukit dan piknik di sana.  Nggak pa-pa nyasar. Yang penting kami dapat tempat nyenengin dan engga banyak turis. Tadinya, kami mau lanjutin jalan terus ke air terjun yang kami datangi hari sebelumnya. Lalu nanti naik ojek dari sana. Tapi bapak yang kami temui bilang kalau jalannya rusak dan bercabang. Kami bisa tersasar.  Akhirnya kami mutusin kembali ke Sapa.
 Trekking Sapa Vietnam
Pas perjalanan pulang, pemandangannya berubah. Puncak Fansipan kelihatan dan langit biru di belakangnya. Kami ketemu kerbau-kerbau dan anak kecil yang jadi penggembalanya. Pengen nyoba naik kerbau. Sayang kotor banget dan persediaan baju bersih saya dah hampir habis. Saya mulai tepar pas jalan pulang. Waktu dekat Sapa, saya ngajak Emily berhenti bentar di sebuah galeri lukisan untuk beli es krim. Saya, yang biasanya kalo belanja di warung engga pakai nawar, setelah kemarin diajarin Paul dan M, iseng aja nyoba. Kami dapet dua es krim dengan harga 10.000 dong ( Rp 5 ribu). Murah banget. Mana makannya tempat yang pemandangannya keren. Galeri tadi bentuknya rumah panggung dari kayu. Restorannya menghadap ke arah lembah yang di bawahnya sawah-sawah. Pengen deh punya rumah kaya gitu.

Saya dan Emily ngobrol tentang etnis minoritas yang kami temui. Lumayan banyak turis yang terganggu dengan cara mereka nawarin dagangan. Kalau, sekali, dua kali dikerubuti dan ditanya dengan pertanyaan yang itu-itu aja sih mungkin engga masalah. Tapi dalam sekali jalan, turis-turis tadi dikeributi sampai belasan kali oleh puluhan orang yang berbeda. Bagi kami, yang bukan orang Vietnam, suara mereka mirip satu sama lain dan seperti lengkingan. Banyak turis yang kemudian ngejawab dengan kasar.

Malamnya, saya, Emily, dan Lee, teman sehotel dari Belanda makan malam di restoran asyik yang saya lupa namanya. Di Sapa, banyak banget restoran dengan menu Eropa. Harganya sebenarnya lumayan mahal buat tukang jalan-jalan yang pengen irit kaya kami. Tapi nggak pa-pa lah sekali-kali. Habis makan, Lee pulang. Saya dan Emily lanjutin liat-liat kota kalau malam. Kami jalan kaki ngelewatin pasar yang masih buka sampai malam. Lanjut ke pusat kota dan lewat Gereja Sapa. Banyak banget orang di sana. Gereja tadi kelihatan cantik karena dihiasi lampu warna-warni. Dinding gereja penuh jendela besar dengan lukisan kaca. Kami mutusin untuk balik lagi ke gereja besok pagi. Pengen lihat lukisan dan dalamnya kalau siang hari.

Gereja Sapa, Vietnam
Kami trus jalan ke arah Danau Sapa. Kota ini mirip kaya kota di Eropa. Rumah-rumahnya berjajar rapi. Trus nggak tau ada acara apa, di pohon-pohon pinggir jalan banyak lampu warna-warni. Kami ketemu banyak penduduk lokal yang bukan suku minoritas. Padahal kalo siang, jalanan tadi penuh dengan turis yang diikuti penduduk dengan baju tradisional yang nawarin dagangan. Ada banyak orang jalan kaki berombongan dengan teman atau bareng keluarga. Saya dan Emily sampai heran, wajah-wajah mereka kelihatan bahagia. Baru saja merayakan sesuatu atau mereka memang selalu bahagia? Pas perjalanan pulang, kami lihat beberapa perempuan muda yang tadi siang kami temui pakai baju tradisional dan jadi guide nongkrong di cafe dengan baju seperti layaknya anak muda jaman sekarang. Saya penaasaran pengen tahu kenapa. Sayang, saya cuma sebentar di sini. Ada banyak hal yang masih ingin saya tahu.  
 

Senin, 01 Juli 2013

Lost in Translation at Sapa, Vietnam

Sekitar subuh-subuh saya bangun di kereta menuju Lao Cai. Saya mulai panik karena nggak sempat ngecek harus turun di mana. Saya sama sekali nggak punya persiapan pergi ke Sapa yang letaknya di barat laut Hanoi, dekat perbatasan Cina. Yang saya tahu cuma turun di stasiun Lao Cai trus naik bus ke Sapa. Gimana kalau Lao Cai ternyata bukan stasiun terakhir? Kereta yang saya naiki bentuknya kabin-kabin dengan 4 kasur. Ada 3 orang dewasa lain. Waktu saya bertanya dalam bahasa Inggris, jawaban mereka teriakan “No. No.” Saya bingung. Itu maksudnya kereta belum sampai di Lao Cai ataukah mereka tidak mengerti Bahasa Inggris?

Di sepanjang perjalanan di Vietnam, saya sering sekali mendapat jawaban “No” dengan nada tinggi. Banyak pula yang langsung menghindar jika saya mencoba bertanya. Apakah mungkin karena Vietnam lama mengalami perang sehingga mereka tidak “ramah” terhadap orang asing? Ataukah karena saya tidak bisa mengerti bahasa mereka sehingga kami tidak saling bicara? Entahlah. Saya baru sekadar singgah di sini jadi tidak bisa mengambil kesimpulan.

Saat kereta berhenti, seorang sopir travel menawarkan mengantar ke Sapa dengan ongkos 100.000 dong (sekitar 50 ribu rupiah). Awalnya, saya nyaris mengiyakan. Kemudian muncul sopir lain yang menawarkan ongkos 50.000 dong. Sopir pertama menyikut sopir kedua. Dia bilang, sopir kedua tadi menyebut angka 50 USD. Malas ditipu, saya memilih berjalan keluar dan mencari turis lain. Saya benar-benar nggak punya ide nanti mau menginap di mana atau ngapain. Dua orang sopir masih mengikuti saya sambil berkata tidak mungkin saya mendapat tawaran lain yang lebih murah.

Turis pertama yang saya temui tiga orang dari Amerika. Saya bilang saya nggak ada tujuan dan males diikutin sama sopir-sopir ini. Tanggapan mereka sangat engga ramah. Mereka pikir, saya penipu yang mau minta uang (kami ketemu lagi di kota dan mereka minta maaf waktu tahu saya beneran turis).  Akhirnya saya asal aja naik satu travel yang ongkosnya 50.000 dong.

Masyarakat adat di Sapa, Vietnam

Di dalam minibus tadi saya kenalan dengan dua orang turis dari Perancis, namanya Paul dan M. Tahun lalu mereka ke Indonesia dan sempat mampir ke Jogja. Kita jadi cepat jadi teman gara-gara jalan ke Sapa tu berkelok-kelok. Turis-turis lain yang se bus sama kita mulai pada mutah. Kita yang mulai pusing berusaha mengalihkan perhatian. Mulai dari teriak-teriak kalau di luar ada sapi dan pemandangan keren sampai cerita nggak jelas. Saya cerita tentang pengalaman teman dapat tawaran “happy ending” itu kode buat pijat plus-plus di Hanoi. Ternyata, mereka berdua juga punya kisah sejenis. Berhubung mereka “gila” dan menyenangkan, kami langsung temenan dan memutuskan untuk jalan bareng. Itu asyiknya jalan sendirian, pasti ada orang baru yang bisa diajak temenan.

Di bus yang sama ada cewek Inggris lain yang jalan sendirian. Namanya Emily. Saya nawarin untuk share room, dan dia nggak keberatan. Horee... ngirit... Saya dan Emily turun di penginapan Green Valley. Di seberang jalan, ada lembah dan sawah-sawah hijau. Keren. Kalau pagi, biasanya saya nongkrong di bar sambil ngeliatin bukit yang masih berkabut dari jendela. Dan, selama dua hari, saya cuma habis sekitar 250.000 dong (sekitar 125 ribu rupiah). Itu termasuk dua kali sarapan. Murah banget kan?

Habis sarapan, kami ke pusat informasi Sapa buat tanya-tanya dan nyari peta. Berhubung Sapa ada di ketinggian 1600 dpl, jam sembilan pagi di sana masih dingin. Paul dan M nunjukin beberapa rute. Akhirnya, kami milih untuk nyewa motor trus keliling. Sehari, ongkosnya 80.000 dong (Rp 40 ribu). Rute pertama yang kita datangi tempat namanya Ta Phin. Seneng deh rasanya keliling di tempat dengan udara segar setelah belasan hari kena asap dan semrawutnya Hanoi. Saking senengnya, kami sampai nyanyi-nyanyi. Saya naik motor ngeboncengin Emily. Ini pertama kalinya dia naik motor. Awalnya dia sempat takut karena saya nggak terbiasa naik motor di sebelah kanan. Saya berkali-kali hampir tabrakan sama orang yang jalan dari arah berlawanan.

Pemandangan di kiri dan kanan jalan itu sawah-sawah hijau. Pas mau ke desa Ta phin, kami lewat jalan yang berbatu-batu. Jalannya licin banget karena habis hujan. Dan, motor yang saya naiki terpeleset. Kaki saya berdarah, celana panjang saya sobek. Setelah ngebersihin luka saya, Paul ngajak nyari jalan lain yang lebih manusiawi.

Gunung Fansipan, Sapa, Vietnam

Kami berhenti sebentar di Biara Ta phin yang dibangun tahun 1942. Bangunannya sekarang tinggal kerangka karena sempat ada kerusuhan dan dibakar tahun 1945. Tapi saya bisa ngebayangin kalau dulu tempat ini pasti keren. Nggak lama kemudian kami sampai di pintu masuk kawasan Ta Phin. Masing-masing orang harus bayar 20.000 dong. Begitu masuk, kami langsung dikerubuti sama penduduk lokal dengan baju tradisionalnya. Mereka pakai baju dari kain tenun warna biru gelap mendekati hitam. Perempuan-perempuan tadi pakai ikat kepala merah. Jari, tangan, dan leher mereka penuh dengan perhiasan warna putih. Perakkah? 

Saya agak kesulitan moto mereka karena mereka sibuk bertanya: Dari mana? Sudah berapa lama di Sapa? Namamu siapa? Punya berapa saudara? Awalnya, saya menanggapi pertanyaan ini dengan senang hati. Tapi lama-kelamaan saya capai juga menjawab pertanyaan yang sama. Beberapa penduduk  yang ngelihat kaki saya nawarin obat mereka. Saya nggak ngerti itu apa karena tertulis pake Bahasa Vietnam. Kayaknya sih semacam balsam. Paul bilang lebih baik nggak usah dipakai. Gimana kalo itu ternyata obat luar? Kalo cacatkan parah.

Kami jalan-jalan diikuti belasan penduduk lokal yang berusaha nawarin barang dagangannya. Mirip kaya rombongan karnaval. Kami kemudian sampai di sebuah gua. Waktu yang lain masuk ke gua, saya milih duduk-duduk di luar sambil ngamati penduduk lokal yang menyulam kain. Saya lagi nggak tertarik nyusur gua. Toh di Indonesia banyak gua lain yang lebih cantik. Sebenarnya saya pengen ngobrol dengan penduduk lokal, sayangnya, Bahasa Inggris mereka terbatas banget.

Masyarakat adat, Sapa, Vietnam

Kami mutusin untuk nyari buah buat mengganjal perut sebelum makan siang. Paul dan M ternyata jagoan nawar. Mereka ngajarin saya dan Emily berhitung dalam bahasa Vietnam. Kebayang nggak, satu pisang ambon ukuran besar harganya cuma 1000 dong (500 rupiah). Kami beli gelang anyaman tali dengan harga 1000 dong sebijinya. Saya yang nggak tega ngasih uang lebih. Penduduk lokal yang kami beli sampai geleng-geleng. Mereka menawar apapun. Banyak barang yang saya beli bareng mereka di sana jauh lebih murah daripada di Hanoi. Padahal kan logikanya barang di kota besar lebih murah.

Kami kemudian jalan kaki ke desa lain. Sebentar-sebentar kami berhenti buat moto-moto. Meskipun udaranya sejuk, matahari panasnya nyengat banget. Sepanjang perjalanan, Paul paling iseng. Ada babi, anjing, atau ayam pasti dikejar-kejar. Ada satu ayam yang loncat ke jurang karena dia ganggu. Waktu kami komentari kalo dia bunuh ayam, Paul ngejawab dengan enteng kalau ayam tadi berniat buat bunuh diri kok.
Kami balik ke kota untuk makan siang di restoran asyik namanya Viet Emotion. Kami dapet diskon karena kenalan Paul kenal sama yang punya. Horee.. Rata-rata makan dan minum sekitar 120.000 dong. Nggak pa-pa lah, lagi liburan juga.


Kota Sapa, Vietnam

Kami trus jalan-jalan lagi ke air terjun ... Air terjunnya tinggi banget. Sepertinya lebih dari 30 meter. Dari jauh air terjunnya dah kelihatan. Sayang, kami nggak nemu spot bagus buat moto air terjunnya secara utuh. Buat masuk ke tempat ini per orang bayar 20.000 dong. Saya baru ngeh kemudian, di Sapa, masing-masing tempat mungut karcis masuk. Nyebelin, kenapa nggak dibuat karcis terusan ya? Kami batal ke gardu pandang karena disuruh bayar lagi. Ngapain juga harus bayar kalo jalan-jalan di sebelahnya yang gratisan juga punya pemandangan keren. Pas ngeliatin puncak Fansipan ( 3143 m dpl, gunung tertinggi di Indocina) Paul, M, dan Emily tiba-tiba nyanyiin I believe I can Fly nya R Kelly.

Kami misah dan janjian ketemu pas makan malam di kota. Saya dan Emily muter-muter dulu sambil moto-moto. Balik ke kota, saya dan Emily lupa rental motor mana yang kami pinjam. Sempat tanya berkali-kali sebelum ketemu pemilik motornya. Tu Bapak nuntut supaya kami ganti kerusakan. Kami trus pergi ke bengkel motor. Si pemilik motor tadi dengan nyebelinnya minta kami service motornya secara keseluruhan. Kami sempat debat karena ada banyak baret dan kerusakan lama yang dia timpakan ke kami. Enak aja! Males berdebat, akhirnya saya dan Emily ninggalin 30 dolar.

Malem harinya, saya dan Emily ketawa-ketawa waktu ngitung duit. Makanan yang mahal (yes di sini banyak restoran keren tapi engga ramah kantong) dan denda tadi cukup menguras duit kami. Sebelum tidur, kami sempat mainan kelambu. Tempat tidur kami dikelilingi kelambu putih berenda-renda. Berasa kaya putri raja deh. 

Tulisan ini masih bersambung lo. Hari berikutnya, saya dan Emily trekking dan nyasar gara-gara orang yang kami tanya jalan pada engga bisa Bahasa Inggris. Trus, demi datang ke nikahan sepupu, saya harus menempuh 38 jam perjalanan naik bus, kereta, jalan kaki, taksi, dan ganti pesawat tiga kali. Ketemu orang-orang aneh lagi di jalan.