Setelah kemarin jalan-jalan di Desa Sawai dan snorkling, rute saya hari ke Salawai. Rencananya mau ke sungai untuk lihat cara pembuatan sagu. Saya diantar sama tukang ojek ke pinggir sungai. Dari desa sawai, letaknya mungkin nggak ada sepuluh kilo. Tapi perjalanan ke sana lumayan lama karena jalannya jelek banget. Sebelum sampai ke Jalan Lintas Seram, kami harus ngelewati jalan yang sudah engga jelas lagi bentuknya. Naik turun, berkelok-kelok, dengan bonus banyak lubang dan berpasir di beberapa tempat. Kayaknya cuma pengendara motor ahli yang bisa lewat tanpa jatuh.
Keluar dari permukiman rasanya kaya masuk hutan. Kiri dan kanan jalan penuh dengan pohon-pohon hijau. Sampai di Jalan Lintas Seram, jalannya berubah jadi aspal halus dan lebar. Di kejauhan kelihatan gunung dan sesekali ada gerombolan pohon sagu. Anggrek tanah warna ungu atau putih beterbaran di mana-mana.
Kami berhenti di pinggir jembatan. Di tepi sungai ada empat kelompok pembuat sagu. Saya turun ke salah satu pembuat sagu yang sedang bekerja. Jalan ke sana agak susah. Ampas tebu yang dibuang di mana-mana becek kena hujan tadi malam. Sandal saya sampai terbenam berkali-kali. Akhirnya saya memutuskan untuk bertelanjang kaki.
Pembuat sagu yang saya datangi ternyata pasangan suami istri dari Jawa. Namanya Parno dan Saripah. Mereka berasal dari Nganjuk. Sejak satu setengah tahun lalu, mereka tinggal di Kilo 5, perkampungan transmigran yang nggak jauh dari sungai. Ceritanya, mereka ikut program transmigrasi. Sampai sekarang, mereka belum dapat jatah lahan untuk dikelola karena tanah yang dijanjikan untuk mereka masih bersengketa dengan penduduk lokal. Dulu, waktu tahun pertama jadi transmigran, mereka masih dapat jatah dari pemerintah berupa sembako. Setelah satu tahun, tunjangan tadi dihentikan dan mereka harus bekerja serabutan untuk biaya hidup sehari-hari.
Sampai suatu hari Pak Parno pergi ke hutan untuk nyari durian buat dijual. Dia tersesat dan ditolong pembuat sagu. Penolongnya tadi nawari kerjaan ke Pak Parno. Dia diupah 50.000 per hari untuk bantuin bikin sagu. Lama-lama Pak Parno tertarik untuk bikin sagu sendiri. Dia minjem alat gilingan untuk bikin sagu. Setiap sepuluh tumang (cetakan berbentuk tabung yang dibuat dari daun sagu)yang dibuat, dia ngasih satu tumang ke pemilik alatnya.
Cara membuat sagu sebenarnya tidak rumit. Cuma butuh hati-hati karena menebang pohon sagu itu butuh hati-hati. Durinya lebih besar dari duri salak. Pertama, pohon sagu ditebang. Batangnya dibersihkan dan diambil bagian warna putihnya. Batang tadi dibelah-belah hingga berbentuk balok. Balok kemudian diparut hingga jadi serpihan.
Saya baru tahu kenapa para pembuat sagu selalu memilih lokasi dekat sungai. Untuk memeras serpihan sagu ini, mereka butuh banyak air. Bu Saripah berkali-kali menuang air sungai ke serpihan sagu. Ia kemudian meremas-remas sagu itu dan mengalirkan sarinya ke penampungan dari plastik. Setelah pati sagu mengendap di penampungan, airnya kemudian dibuang. Pati tadi yang dimasukkan ke tumang yang dibuat oleh suaminya. Caranya, daun sagu dipotong-potong sampai ukurannya sama dan dijalin hingga berbentuk tabung. Pati sagu biasanya didiamkan hingga tiga hari supaya mengeras. Waktu ngelihat sagu yang warnanya putih bersih, saya sempat heran. Airnya kan diambil dari sungai yang hijau karena lumut. Tapi kok sagunya bisa bersih begitu?
Dalam sehari, biasanya suami-istri ini membuat lima tumang sagu. Per tumangnya dihargai antara 30.000 sampai 35.000. Mereka kerja dari jam 7 sampai 12 siang. Nggak kaya pembuat sagu lain yang kadang sampai nginep segala buat bikin sagu. Pak Parno dan istrinya harus mengurus pekarangan di rumah.
Waktu ngelihat pembuat sagu ini, saya ngerasa agak miris. Pohon sagu itu melimpah ruah di seluruh Maluku. Ke mana-mana saya selalu melihat gerombohan pohon sagu. Dia engga perlu ditanam karena bisa tumbuh sendiri. Beda dengan beras yang butuh ditanam dan perlakuan khusus. Trus, saya sampai hari terakhir di Maluku sama sekarang belum pernah lihat sawah. Tapi, orang-orang mulai ninggalin makan sagu. Di desa-desa Pulau Seram, sebagian besar orang masih makan sagu. Tapi di daerah kota, orang-orang lebih milih makan beras. Padahal, sagu lebih sehat karena kandungan gulanya lebih rendah kalau dibanding beras.
Setelah tahu cara bikin sagu, saya balik ke penginapan. Berhubung di pinggir jalan saya lihat Papan Pusat Rehabilitasi Satwa, saya mampir bentar. Untuk keliling lokasi tadi, saya harus makai masker. Di dalamnya ada banyak kandang berisi binatang hasil sitaan. Hewan tadi nunggu dilepas liarkan. Tempat itu yang dibangun tahun 2003 itu kebanyakan berisi macam-macam burung endemik Indonesia Timur. Ada Nuri Seram, Kakaktua Seram, Nuri Papua, Nuri Ternate, Kasuari, dan Burung Mambruk.
Saya berkeliling ditemani oleh Pieter, yang dulunya pemburu liat. Kata Pieter, sekitar tahun 93, satu burung nuri dihargai sekitar sepuluh ribu sampai dua belas ribu rupiah. Kakaktua bahkan harganya bisa sampai 150.000. Gimana nggak tergiur, buat perbandinga waktu itu satu tumang sagu harganya masih 250 rupiah. Pieter ini generasi ketiga penangkap burung. Ayah dan Kakeknya juga pemburu liar. Jaman dulu, banyak penduduk di sekitar Sawai yang jadi penangkap burung. Sebelum tahun 2000, kebun penduduk lokal hanya menghasilkan sayur dan buah untuk dimakan sendiri. Waktu itu belum ada komoditas seperti coklat dan hasil kebun lain. Burung, adalah benda yang paling mudah dijual. Untuk makan sehari-hari, mereka bisa ngambil dari hutan, tapi biaya sekolah dan belanja saat ada hajatan butuh duit. Dalam seminggu, tiap pemburu bisa mendapat sepuluh ekor burung. Karena terlalu banyak ditangkap, lama-kelamaan, burung-burung di sana habis.
Mulailah Yayasan Wallacea membuka tempat tersebut. Sekarang pendanaannya dibantu oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam. Berhubung anggaran yang ada terlalu kecil, burung-burung yang ada di sana menumpuk. Sering nggak ada dana untuk melepas mereka ke habitat asalnya.
Pulang ke penginapan, saya tidur siang sebentar. Sorenya, setelah cuaca tidak terlalu panas, saya jalan-jalan ke desa lagi. Saya main ke rumah seseorang yang sedang dibangun. Ada lebih dari lima orang sedang bergotong-royong membangun rumah. Penduduk menyebutnya dengan istilah masohi. Di Sawai, sebelum seseorang membangun rumah, dia datang ke rumah tetangganya untuk memberi tahu. Nanti tetangga-tetangganya membantu mendirikan rumah tanpa dibayar. Biasanya yang dikerjakan bagian-bagian yang besar seperti memasang tiang dan membuat pondasi. Sisanya, dikerjakan oleh tukang bayaran.
Waktu duduk-duduk liat orang gotong-royong, saya disuguhi sagu lempeng. Bentuknya balok seukuran sabun. Keras kaya batu. Kalo buat nimpuk lumayan sakit. Saya mencoba sagu lempeng tadi dengan minum kopi. Nggak ada rasanya. Kalau orang Jawa nyebut “sepo”. Penduduk lokal hampir tiap hari makan sagu tadi untuk makanan pokoknya. Menunya dengan makanan yang berkuah. Sagunya dicelup dulu supaya tidak terlalu keras.
Saya ngobrol-ngobrol tentang pekerjaan penduduk. Sebagian besar penduduk Sawai mencari ikan di laut. Jam melautnya tergantung cuaca. Ikan hasil tangkapan utamanya dikonsumsi sendiri. Kalau ada kelebihan baru dijual. Mereka ngejual ikan ke pengepul lokal. Ikan dari berbagai jenis dihargai 8.000 rupiah per kilo. Kalau kerapu, bisa sampai 35.000 sekilonya. Jaman dulu, masih banyak orang nangkap ikan pakai bom. Sekali naruh bom, seorang nelayan bisa dapat satu perahu penuh ikan. Kadang, saking banyaknya ikan matinya dibiarkan di laut karena perahunya dah engga muat lagi. Hasil sekali ngebom tu bisa sampai 3 jutaan. Lama ke lamaan, karena ikannya mulai habis dan ada polisi, nelayan berhenti masang bom.