Rabu, 05 Juni 2013

Pembuat Sagu di Maluku


Setelah kemarin jalan-jalan di Desa Sawai dan snorkling, rute saya hari ke Salawai. Rencananya mau ke sungai untuk lihat cara pembuatan sagu. Saya diantar sama tukang ojek ke pinggir sungai. Dari desa sawai, letaknya mungkin nggak ada sepuluh kilo. Tapi perjalanan ke sana lumayan lama karena jalannya jelek banget. Sebelum sampai ke Jalan Lintas Seram, kami harus ngelewati jalan yang sudah engga jelas lagi bentuknya. Naik turun, berkelok-kelok, dengan bonus banyak lubang dan berpasir di beberapa tempat. Kayaknya cuma pengendara motor ahli yang bisa lewat tanpa jatuh.


Keluar dari permukiman rasanya kaya masuk hutan. Kiri dan kanan jalan penuh dengan pohon-pohon hijau. Sampai di Jalan Lintas Seram, jalannya berubah jadi aspal halus dan lebar. Di kejauhan kelihatan gunung dan sesekali ada gerombolan pohon sagu. Anggrek tanah warna ungu atau putih beterbaran di mana-mana.
Kami berhenti di pinggir jembatan. Di tepi sungai ada empat kelompok pembuat sagu. Saya turun ke salah satu pembuat sagu yang sedang bekerja. Jalan ke sana agak susah. Ampas tebu yang dibuang di mana-mana becek kena hujan tadi malam. Sandal saya sampai terbenam berkali-kali. Akhirnya saya memutuskan untuk bertelanjang kaki.

Pembuat sagu yang saya datangi ternyata pasangan suami istri dari Jawa. Namanya Parno dan Saripah. Mereka berasal dari Nganjuk. Sejak satu setengah tahun lalu, mereka tinggal di Kilo 5, perkampungan transmigran yang nggak jauh dari sungai. Ceritanya, mereka ikut program transmigrasi. Sampai sekarang, mereka belum dapat jatah lahan untuk dikelola karena tanah yang dijanjikan untuk mereka masih bersengketa dengan penduduk lokal. Dulu, waktu tahun pertama jadi transmigran, mereka masih dapat jatah dari pemerintah berupa sembako. Setelah satu tahun, tunjangan tadi dihentikan dan mereka harus bekerja serabutan untuk biaya hidup sehari-hari.

Sampai suatu hari Pak Parno pergi ke hutan untuk nyari durian buat dijual. Dia tersesat dan ditolong pembuat sagu. Penolongnya tadi nawari kerjaan ke Pak Parno. Dia diupah 50.000 per hari untuk bantuin bikin sagu. Lama-lama Pak Parno tertarik untuk bikin sagu sendiri. Dia minjem alat gilingan untuk bikin sagu. Setiap sepuluh tumang (cetakan berbentuk tabung yang dibuat dari daun sagu)yang dibuat, dia ngasih satu tumang ke pemilik alatnya.

Cara membuat sagu sebenarnya tidak rumit. Cuma butuh hati-hati karena menebang pohon sagu itu butuh hati-hati. Durinya lebih besar dari duri salak. Pertama, pohon sagu ditebang. Batangnya dibersihkan dan diambil bagian warna putihnya. Batang tadi dibelah-belah hingga berbentuk balok. Balok kemudian diparut hingga jadi serpihan.

Saya baru tahu kenapa para pembuat sagu selalu memilih lokasi dekat sungai. Untuk memeras serpihan sagu ini, mereka butuh banyak air. Bu Saripah berkali-kali menuang air sungai ke serpihan sagu. Ia kemudian meremas-remas sagu itu dan mengalirkan sarinya ke penampungan dari plastik. Setelah pati sagu mengendap di penampungan, airnya kemudian dibuang.  Pati tadi yang dimasukkan ke tumang yang dibuat oleh suaminya. Caranya, daun sagu dipotong-potong sampai ukurannya sama dan dijalin hingga berbentuk tabung. Pati sagu biasanya didiamkan hingga tiga hari supaya mengeras. Waktu ngelihat sagu yang warnanya putih bersih, saya sempat heran. Airnya kan diambil dari sungai yang hijau karena lumut. Tapi kok sagunya bisa bersih begitu?

Dalam sehari, biasanya suami-istri ini membuat lima tumang sagu. Per tumangnya dihargai antara 30.000 sampai 35.000. Mereka kerja dari jam 7 sampai 12 siang. Nggak kaya pembuat sagu lain yang kadang sampai nginep segala buat bikin sagu. Pak Parno dan istrinya harus mengurus pekarangan di rumah.
Waktu ngelihat pembuat sagu ini, saya ngerasa agak miris. Pohon sagu itu melimpah ruah di seluruh Maluku. Ke mana-mana saya selalu melihat gerombohan pohon sagu. Dia engga perlu ditanam karena bisa tumbuh sendiri. Beda dengan beras yang butuh ditanam dan perlakuan khusus. Trus, saya sampai hari terakhir di Maluku sama sekarang belum pernah lihat sawah. Tapi, orang-orang mulai ninggalin makan sagu. Di desa-desa Pulau Seram, sebagian besar orang masih makan sagu. Tapi di daerah kota, orang-orang lebih milih makan beras. Padahal, sagu lebih sehat karena kandungan gulanya lebih rendah kalau dibanding beras.

makanan pokok
Setelah tahu cara bikin sagu, saya balik ke penginapan. Berhubung di pinggir jalan saya lihat Papan Pusat Rehabilitasi Satwa, saya mampir bentar. Untuk keliling lokasi tadi, saya harus makai masker. Di dalamnya ada banyak kandang berisi binatang hasil sitaan. Hewan tadi nunggu dilepas liarkan.  Tempat itu yang dibangun tahun 2003 itu kebanyakan berisi macam-macam burung endemik Indonesia Timur. Ada Nuri Seram, Kakaktua Seram, Nuri Papua, Nuri Ternate, Kasuari, dan Burung Mambruk.

Saya berkeliling ditemani oleh Pieter, yang dulunya pemburu liat. Kata Pieter, sekitar tahun 93, satu burung nuri dihargai sekitar sepuluh ribu sampai dua belas ribu rupiah. Kakaktua bahkan harganya bisa sampai 150.000. Gimana nggak tergiur, buat perbandinga waktu itu satu tumang sagu harganya masih 250 rupiah. Pieter ini generasi ketiga penangkap burung. Ayah dan Kakeknya juga pemburu liar. Jaman dulu, banyak penduduk di sekitar Sawai yang jadi penangkap burung. Sebelum tahun 2000, kebun penduduk lokal hanya menghasilkan sayur dan buah untuk dimakan sendiri. Waktu itu belum ada komoditas seperti coklat dan hasil kebun lain. Burung, adalah benda yang paling mudah dijual. Untuk makan sehari-hari, mereka bisa ngambil dari hutan, tapi biaya sekolah dan belanja saat ada hajatan butuh duit. Dalam seminggu, tiap pemburu bisa mendapat sepuluh ekor burung. Karena terlalu banyak ditangkap, lama-kelamaan, burung-burung di sana habis.

Mulailah Yayasan Wallacea membuka tempat tersebut. Sekarang pendanaannya dibantu oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam. Berhubung anggaran yang ada terlalu kecil, burung-burung yang ada di sana menumpuk. Sering nggak ada dana untuk melepas mereka ke habitat asalnya.

Pulang ke penginapan, saya tidur siang sebentar. Sorenya, setelah cuaca tidak terlalu panas, saya jalan-jalan ke desa lagi. Saya main ke rumah seseorang yang sedang dibangun. Ada lebih dari lima orang sedang bergotong-royong membangun rumah. Penduduk menyebutnya dengan istilah masohi. Di Sawai, sebelum seseorang membangun rumah, dia datang ke rumah tetangganya untuk memberi tahu. Nanti tetangga-tetangganya membantu mendirikan rumah tanpa dibayar. Biasanya yang dikerjakan bagian-bagian yang besar seperti memasang tiang dan membuat pondasi. Sisanya, dikerjakan oleh tukang bayaran.

Waktu duduk-duduk liat orang gotong-royong, saya disuguhi sagu lempeng. Bentuknya balok seukuran sabun. Keras kaya batu. Kalo buat nimpuk lumayan sakit. Saya mencoba sagu lempeng tadi dengan minum kopi. Nggak ada rasanya. Kalau orang Jawa nyebut “sepo”. Penduduk lokal hampir tiap hari makan sagu tadi untuk makanan pokoknya. Menunya dengan makanan yang berkuah.  Sagunya dicelup dulu supaya tidak terlalu keras.

Saya ngobrol-ngobrol tentang pekerjaan penduduk. Sebagian besar penduduk Sawai mencari ikan di laut. Jam melautnya tergantung cuaca. Ikan hasil tangkapan utamanya dikonsumsi sendiri. Kalau ada kelebihan baru dijual. Mereka ngejual ikan ke pengepul lokal. Ikan dari berbagai jenis dihargai 8.000 rupiah per kilo. Kalau kerapu, bisa sampai 35.000 sekilonya. Jaman dulu, masih banyak orang nangkap ikan pakai bom. Sekali naruh bom, seorang nelayan bisa dapat satu perahu penuh ikan. Kadang, saking banyaknya ikan matinya dibiarkan di laut karena perahunya dah engga muat lagi. Hasil sekali ngebom tu bisa sampai 3 jutaan. Lama ke lamaan, karena ikannya mulai habis dan ada polisi, nelayan berhenti masang bom. 

Selasa, 04 Juni 2013

Pagi Pertama di Sawai, Pulau Seram (Tulisan 3)

Badan saya masih pegal karena capek kemarin seharian di jalan. Tapi saya nggak sabar buat jalan-jalan keliling desa. Mumpung langitnya biru sekali. Penginapan Pak Ali yang saya tinggali ini bangunannya terbuat dari kayu. Bentuknya rumah panggung di atas laut. Saya tinggal keluar kamar kalau ingin lihat terumbu karang. Tiap pagi, airnya jernih seperti kaca hijau terang. Keren pokoknya!
Habis sarapan, saya jalan ke desa. Tujuan pertama saya untuk lihat mata air. Orang-orang yang saya temui kemarin cerita kalau di tengah desa ada mata air tawar yang jernih. Katanya, kalau udara lagi panas, airnya tambah dingin.

Sampai di mata air tadi, saya agak kecewa. Tadinya, saya membayangkan mata air cantik dikelilingi bebatuan (komik banget ya?). Ternyata, tempat tadi nggak jauh dari tempat pemandian umum dari semen! Saya nggak sempat ambil foto karena nggak enak sama orang-orang yang mandi sambil mencuci di sana.
Sebagian besar penduduk Sawai bermata pencaharian nelayan. Nggak heran kalau kita datang ke desa bakal disuguhi pemandangan jemuran ikan asin di atap rumah atau di jalanan. Kalo keliling pagi-pagi, pasti ketemu ibu-ibu sedang mencuci ikan. Desa ini padat. Rumah penduduknya saling berdempetan. Sebagian rumah penduduk dibangun di atas air. Kebanyakan rumah jenis ini bangunannya dari papan dan pakai atap dari daun sagu kering. Rumah yang ada di darat biasanya dibangun pakai tembok. Kayaknya hampir semua rumah punya perahu kayu. Masyarakat menyebutnya pok-pok.  Ada yang kecil dan didayung, ada juga yang besar dan pakai mesin.

Saya jalan kaki ke arah lapangan. Ada banyak orang di sana. Mereka lagi nonton anak-anak sekolah latihan senam buat lomba. Senam di sini diiringi musik ceria gitu. Gerakannya mirip kaya tari poco-poco. Sepanjang perjalanan, saya lihat banyak perempuan dewasa makai masker wajah putih-putih. Itu semacam bedak dingin dari tumbukan beras. Fungsinya mirip kaya sunblock campur pelembab.

Saya melanjutkan perjalanan ke sekolah yang ada di atas bukit buat ngambil folo lanskap desa. Di sana saya main-main sama anak-anak sekolah. Saya baru pergi saat nyadar Bu Guru dah nunggu di depan pintu. Seharusnya mereka masuk kelas dari tadi. :P Saya balik ke desa untuk liat-liat. Berhubung desa ini kecil, saya ketemu bapak yang saya tebengi kemarin dan tukang ikan yang saya temui di Masohi. Tadinya sih saya ingin ngobrol banyak sama penduduk, sayang cuacanya panas banget. Flu berat bikin saya nggak nyaman berjemur di luar ruangan. Akhirnya, saya balik ke penginapan.

Di tempat Pak Ali, saya ketemu beberapa tamu dari Jakarta. Mereka lagi ada kerjaan di Maluku dan mau mampir bentar buat snorkling di Tebing Batu Sawai yang terkenal itu. Saya yang tadinya capai dan mau tidur siang langsung pengen ikut. Horee... dapet tebengan lagi. FYI: Kalo mo snorkling orang harus sewa long boat di Pak Ali dengan ongkos 500.000 per hari. Tuhan baik banget deh, tahu saya lagi nggak punya uang tapi pengen jalan-jalan.

Habis makan siang pakai nasi kelapa, asinan, dan ikan kuah kuning, kami berangkat ke pantai. Dan, bumi kayaknya lagi baik hati. Langitnya ceraaahhh... banget. Sebelum sampai ke tujuan, kami bisa lihat terumbu karang dari kapal. Di dekat tebing batu, saya engga bisa lama-lama snorking. Flu berat bikin nggak nyaman banget ngegigit snorkel dan bernapas pake mulut. Saya ngerasa aneh waktu melihat terumbu karang di sana. Kondisinya masih bagus. Kalau dibandingkan tempat lain yang pernah saya datangi, itungannya rapat banget. Tapi ikannya dikit. Dan engga terlalu warna-warni.

 Akhirnya saya milih untuk duduk di pinggir pantai. Asyik banget, selain kami, nggak ada orang lain. Kaya pantai milik pribadi deh. Saya akhirnya bikin bola-bola dari pasir pantai yang putih bersih dan sesekali ada butiran warna merahnya. Capai main air, kami makan kelapa muda. Nggak tau tu nemu dari mana.
Waktu pulang, kami ketemu sama anak-anak kecil yang ngedayung perahu di laut. Mereka dengan cueknya pergi lumayan jauh dari desa. Umur mereka mungkin baru tiga tahunan. Benar-benar anak pantai deh.

Balik dari pantai, saya langsung mandi. Habis itu, saya minta diantar ke atas bukit yang ada benderanya. Pengen lihat keseluruhan desa dari atas. Tadinya sih, saya pengen pergi sendirian, tapi orang-orang pada bilang kalo bakal nyasar. Akhirnya saya diantar sama Noyan.

Bukit bendera itu sebenarnya batu kars besar. Permukaannya tajam dan nyakitin kaki. Beberapa bagian kemiringannya sampai 70 derajat. Dan, sepertinya saya bisa ilang kalo ngotot pergi sendirian. Jalan setapak yang dimaksud sebagian dah mulai hilang ketutup tumbuhan saking jarangnya dilewati. Noyan sampai bawa golok dan berkali-kali harus motong batang pohon buat bikin jalan. Itu dah beneran hutan deh.
Sesekali saya ngelihat pohon durian raksasa. Tingginya sampai puluhan meter dan lebarnya ada yang lebih dari satu meter. Katanya, kalau pas lagi berbuah bisa sampai ribuan biji. Penduduk Sawai selain dari laut hidup dari menjual hasil hutan. Ada coklat, kopi, cengkeh, dan pala. Generasi sekarang engga nanam tumbuhan ini. Rata-rata tumbuhan tadi ditanam sama kakek dan neneknya. Berhubung nggak pernah ngerasa nanam, pohon-pohon ini dibiarkan tanpa perawatan.

Kami jalan kaki hampir satu jam. Itu lumayan cepet lo. Yang lain biasanya butuh waktu dua sampai tiga jaman. Sesekali kami ketemu burung nuri warna merah. Sampai di puncak dengan tangan dan kaki kebaret-baret bambu, saya agak manyun. Langitnya kelabu. Nggak terlalu bagus buat difoto.

Desa Sawai itu penduduknya sekitar 2000 orang. Tempat saya jalan tadi pagi itu perkampungan utamanya. Dari atas, bentuknya kelihatan seperti kotak-kotak bergerombol di sebuah cekungan. Di seberang laut dan balik bukit masih ada empat kampung lain. Masing-masing kampung terbagi atas blok agama. Kampung Kristen penduduknya Kristen semua, begitu juga yang Islam. Dari cerita yang saya dengar, awalnya penduduk Sawai awalnya tinggal di darat.  Karena tanahnya sempit, lama-kelamaan mereka membangun rumah di atas air. Dempet-dempetan itu karena puluhan tahu lalu ada suku-suku di Manusela yang memotong kepala. Tiap kali mereka ganti atap rumah atau seorang laki-laki beranjak dewasa, mereka harus memotong kepala orang. Penduduk sengaja bikin rumah dekat supaya aman.

Kami nggak terlalu lama di atas. Karena sepertinya bakal hujan. Pas jalan pulang, kami nemu buah warnanya oranye terang. Bentuknya oval dan lebih keras dari kesemek. Namanya labi-labi. Saya yang penasaran sama rasanya langsung main gigit. Huek. Rasanya asam ternyata. Mirip kaya kedondong.

Bersambung...

Jalan-jalan di Maluku 
Perjalanan ke Pulau Seram 

Perjalanan ke Pulau Seram (Maluku 2)

Setelah dua hari keliling kota Ambon, saya memutuskan pergi ke Sawai dan Taman nasional Manusela di Pulau Seram. Dari Ambon saya berangkat jam 7 pagi. Nggak pakai mandi karena bangunnya kesiangan :D Al nganterin saya sampai terminal. Habis itu saya naik angkot ke Tulehu. Perjalanannya mungkin hampir satu jam dan ongkosnya 10.000.

Dermaga Tulehu ramai kaya pasar. Loket tempat beli tiketnya sampai nggak kelihatan karena banyak orang desak-desakan di depannya. Nggak ada antrian. Calon penumpang seenaknya aja nyerobot supaya dapet tiket duluan. Akhirnya saya bisa juga tiket kapal cepat seharga Rp 95.000. Sambil nunggu kapal berangkat, saya nyari-nyari tukang jual makanan. Laper, dan kue yang saya beli kemarin nggak cukup buat ngisi perut. Sayangnya, semua cemilan yang dijual kalo engga gorengan ya makanan ringan kaya MSG. Engga deh. Akhirnya, kapal berangkat jam 9 lewat 20. Molor dari jadwalnya. Bangku-bangkunya hampir keisi penuh dengan penumpang.

Kapal sampai sekitar dua jam kemudian. Dari dermaga, saya naik angkot ke Terminal Masohi. Saya jalan kaki keluar untuk nyari angkot ke Sawai. Lebih dari setengah jam duduk di pinggir jalan, saya nggak lihat satupun angkot ke arah sana. Saya kemudian ketemu sama rombongan penjual ikan dari Sawai. Mereka bilang, saya bisa nebeng mobil mereka. Horee...  Tapi saya harus nunggu karena mereka masih harus naikin beberapa titipan. Ceritanya, angkutan Sawai-Masohi tu jarang. Kalau ada mobil dari Sawai ke kota, tetangga- tetangga pada nitip belanjaan.  

Sambil menunggu, saya makan siang di warung. Menunya ikan kuah kuning yang ukurannya jumbo. Saya cuma bisa makan separuhnya. Habis itu saya ngobrol dengan beberapa penduduk lokal buat ngisi waktu. Kata mereka, kemarin ada banyak mobil dari Sawai yang datang untuk ikut kampanye. Dan sepertinya, hari ini bakal jarang ada kendaraan ke sana. Pada libur.

Beberapa orang yang saya temui pada heran ngeliat saya yang pergi sendirian. Kaya anak ilang. Saya sampai berkali-kali bilang cuma pengen main aja. Sama sekali nggak ada penelitian atau kerjaan.  Setelah lebih dari satu jam, saya mulai mati gaya dan capai. Badan juga mulai kerasa nggak karuan karena masih flu berat. Dan dua tiga jam kemudian saya mulai bosan habis.

Sekitar jam tiga lebih akhirnya ada angkot juga ke Sawai. Saya batal nebeng mobil ikan karena mereka masih nyari beberapa barang lagi. Saya sampai ketiduran di angkot saking capeknya. Saya udah nggak peduli lagi sama pemandangan hutan di luar. Angkotnya ternyata engga sampai Sawai. Dia berhenti di Desa Soka dua jam kemudian. Penumpang angkot lain nawarin ngelanjutin perjalanan bareng dia naik Long boat. Katanya, lebih cepat daripada pake jalan darat.

Saya ngasih uang seratus ribuan ke kernet angkot karena Al kemarin nyebut angka tadi untuk ongkos ke Sawai. Ada seorang ibu heran dan bilang sesuatu ke kernetnya. Saya engga ngerti apa yang diomongin karena ibunya make bahasa lokal. Tapi sepertinya uang yang saya berikan terlalu banyak. Saya baru tahu setelah sampai di Sawai, Soka itu setengah perjalanan ke sana. Dan ongkos angkot Masohi-Soka cuma separuhnya.

Ada empat orang lain yang akan naik long boat, semacam perahu kayu yang dikasih mesin. Sepertinya penumpang lain barusan belanja bulanan. Saya sempat ngelihat pisang, termos nasi besar, dan kardus-kardus berisi minyak, teh, sampai gula. Setelah mereka menutup barang-barang dengan terpal, kami naik ke atas Long boat.

Long boatnya jalan pelan saat masih di sungai. Begitu mulai masuk ke laut, perahunya ngebut. Saya harus nyembunyiin kamera supaya engga kena cipratan air. Saya merapatkan jaket karena anginnya kencang dan mulai dingin. Sore itu, ombaknya cukup tinggi. Long boatnya sampai goyang-goyang dan bikin saya lumayan paranoid. Gimana kalo misalnya tiba-tiba kapalnya kebalik? Nggak ada pelampung. Saya engga tahu itu jam berapa, tapi langit mulai gelap. Tadinya saya pengen moto bukit-bukit kelabu di sebelah kanan, sayang terlalu gelap. Nggak lama kemudian, kami lewat gunung. Dari kejauhan ada kaya tirai cahaya kelabu. Keren tapi engga bisa kefoto.   Beberapa menit kemudian, kami kehujanan.   


Waktu lewat di samping tebing batu, bapak yang ngajakin saya naik long boat cerita kalo dulu Norman Edwin latihan panjat dinding di sana. Dia bilang pake teriak-teriak karena suaranya kalah sama suara mesin dan suara ombak. Mungkin kalo teman saya yang hobi ndaki gunung kaya Gugun dan Mas Ganes engga cerita tentang Norman Edwin, saya bakal dengan lugunya berfikir orang itu siapanya Norman Camaru ya?
Kami sampai Desa Sawai waktu langit sudah gelap. Saya lega waktu akhirnya sampai di penginapan milik Pak Ali. Pengen cepat-cepat mandi dan tidur. Baju saya basah kena ujan kecampur air laut.  

Bersambung....

Pagi Pertama di Desa Sawai 

Senin, 03 Juni 2013

Jalan-jalan di Maluku

Akhirnya setelah beberapa kali tertunda, saya sampai ke Maluku juga. Jalan-jalan kali ini beda dengan perjalanan sebelumnya karena saya engga beli tiket pulang sebelumnya. Ya, rencananya saya akan pulang kalau kehabisan duit atau bosan dengan Maluku. Tadinya, rencana saya ke sana masih dua bulan lagi. Nunggu kalau punya uang dalam angka aman. Estimasi saya, untuk jalan-jalan di Maluku lebih dari seminggu butuh anggaran 7 juta. Lalu, untuk amannya, biasanya saya bawa 10 juta. Karena waktu itu lagi nggak punya duit, saya cuek aja pergi dengan 5 juta termasuk tiket pesawat. Belum tentu dua bulan lagi saya punya waktu luang.

Berhubung saya males googling atau buka buku paduan perjalanan, saya sama sekali nggak punya bayangan nanti mau ke mana.  Beberapa hari sebelumnya, Onya, teman yang tinggal di Ambon menelfon.  Dia bilang kalau masih ada di Banda jadi engga bisa nemeni. Tapi dia bisa meminta temannya untuk menjemput di bandara. Berhubung saya nggak pengen terlalu banyak ngerepotin orang, saya bilang ada teman lain di Ambon.

Perjalanan dimulai dari Jogja naik travel ke Bandara Juanda dalam rangka pengiritan. Saya berangkat pake travel jam delapan malam dari Jogja dan sampai jam empat pagi di Bandara. Sampai di Juanda, saya ngantuk berat karena saya tipe yang engga bisa tidur di mobil. Tadinya seh, mau tiduran bentar sambil nunggu terbang, tapi batal karena bandaranya rame banget. Sambil nunggu waktu terbang, saya sarapan trus numpang mandi di bandara. Saya baru ngeh kalo toilet-toilet di bandara tu nggak didesain buat mandi. Sempit banget dan nggak nyaman! Berhubung jam check-innya masih jam 8, saya ngabisin waktu buat bengong. Bosen abis deh.

Pesawat yang saya naiki ganti di Makassar. Saya harus lari-lari di badara karena sempat nggak nyadar kalo waktu Makassar lebih cepat satu jam. Tadinya saya pikir harus nunggu sejam buat terbang lagi. Untung aja saya sempat lihat jam di dinding dan jadi penumpang terakhir yang masuk ke pesawat.

Turun di bandara Ambon, saya bingung. Asli, nggak ada ide mau ke mana. Al, teman saya, ternyata ada acara dadakan di pulau lain. Dia baru balik ke Ambon sore nanti. Untung aja Mas-mas baik hati yang sepesawat sama saya nawarin tebengan buat ke kota. Horee... nggak usah keluar duit. Saya lalu minta diantar (ngelunjak ya?) ke Jalan AY Patty. Di sana pusat kota, jadi saya bisa muter-muter sambil nungguin Al. Karena lapar banget, saya minta diturunin di rumah makan.

Waktu liat daftar menu, saya lumayan kaget. Di Ambon, harga sekali makan antara 25 mpe 35 ribu. Cukup mahal untuk saya yang terbiasa dengan harga Jogja. Nggak tahu deh, duit saya bisa bertahan berapa hari :D Habis makan, saya jalan kaki dikit ke Masjid Raya Al Fatah buat numpang salat. Masjid utama Kota Ambon ini bangunannya besar.  Tapi entah kenapa menurut saya nggak secantik atau seanggun masjid-masjid utama di tempat lain. 



Selesai salat, saya jalan kaki buat nyari toko yang jual besi putih. Berhubung itu hari minggu, orang-orang yang saya temui di jalan bilang banyak toko yang tutup. Tapi ada satu di Jalan Trikora yang buka. Di sana saya cuma beli satu gelang sederhana. Ada beberapa gelang yang pengen saya beli tapi saya saya harus tahu diri. Kali ini saya engga punya anggaran belanja. 

Al ngirim pesan bilang kalo di sekitar sana ada Warung Kopi Sibu-sibu. Tadinya, saya mau naik becak. Tapi pas saya nyebut Sibu-sibu, tukang becaknya bilang jalan kaki aja. Katanya, warungnya deket. Jujur banget ya? Kalo di kota lain, saya berani bertaruh bakal diputer-puterin dulu.

Warung Kopi Sibu-sibu ini tempatnya nyenengin. Ada atmosfer ramah dan tua di sana. Warungnya penuh dengan poster-poster artis dan tokoh dari Maluku. Tempat ini mutar lagu-lagu pelan Maluku yang cocok untuk lagu pengantar tidur. Selain minum, saya memesan bubur sagu. Kuenya terbuat dari santan dan gula merah. Enak. Kerasa banget rempah-rempah terutama kayu manisnya. Kuenya bentuk segitiga dan disajikan dalam daun sagu. Ada taburan ini almond diatasnya. Saya nongkrong di sana bareng Geertz. Kenalan baru dari Belanda yang barusan liburan dari Sulawesi.

Tadinya sih dia nawarin jalan bareng. Sayangnya rute dia ke Saparua. Geertz bilang temannya pernah ke sana dan nemu tempat snorkling yang engga jauh dari pantai. Trus ada penginapan yang nyenengin buat bermalas-masalan. Kayaknya, kalo cuma spot snorkling, saya nggak harus ke Maluku deh. Jadi, saya memutuskan untuk engga gabung.

Malamnya, Al nemeni saya ke bukit. Kami lihat lampu-lampu Kota Ambon dari samping Patung Christina Marta Tiahahu yang terkenal itu. Kayaknya, hampir semua foto Ambon yang saya lihat selalu ada yang diambil dari tempat ini. 

Paginya, saya jalan kaki keliling kota. Berhubung niatnya cuma lihat-lihat, saya nggak ada agenda mau ngapain. Yang pertama saya datangi, toko penjual barang antik yang kebetulan ada di pinggir jalan. Tadinya sih, saya berharap bisa lihat barang yang khas Maluku. Ternyata engga. Toko ini aneh menurut saya. Ga jelas banget jualannya. Ada banyak barang yang engga antik (masih baru maksudnya) yang kata penjualnya dari Jawa. Trus ada patung-patung kayu gaya asmat, kerang yang engga jelas bentuknya, sticker, sampai tumpukan buku bekas. Ada Di Bawah Bendera Revolusi juga lo. Di samping toko tadi, saya nemu warung nasi kuning yang enak banget. Lauknya banyak banget. Ada ikan cakalang dimasak kuah pakai gula merah. Ditambah serundeng, buncis, bakmi, dan tempe. 

Habis itu saya keliling pasar. Nggak ada barang yang menarik di sini. Yang dijual standar: kain, baju, peralatan rumah tangga. Sama kaya pasar di kota lain. Cuma di sini saya nemu tukang jual besi putih dan mutiara. Akhirnya saya khilaf beli anting mutiara lagi. Padahal kemarin pas di lombok juga beli mutiara.

Ambon, siang itu panas banget. Nggak enak buat jalan kaki. Sampai saya akhirnya mutusin pake payung. Saya mampir bentar di Gong Perdamaian. Letaknya di tengah-tengah taman. Waktu mau ngedekat, ternyata gerbang-gerbang di taman tadi dikunci. Mungkin supaya nggak dipake buat tidur gelandangan? Terpaksa deh saya yang pake rok loncat pager. 3 orang turis dari Jakarta yang saya temui akhirnya ikut-ikutan loncat pager juga. Tadinya, saya berharap ada keterangan kenapa Gong Perdamaian dibangun di sini. Ada cerita dan harapan apa sih kenapa benda tadi ditaruh di situ. Menurut saya, akan lebih menarik jadi pengunjung nggak sekadar lihat benda mati bergambar bendera-bendera dan simbol-simbol agama.

Capek jalan kaki, saya duduk-duduk di Taman Patimura. Di sana saya ngobrol dengan 3 orang penduduk Ambon. Saya penasaran dengan cerita Ambon jaman rusuh dulu. Tiga bapak ini cerita kalau mereka dan semua orang di Ambon sama sekali nggak tahu siapa yang mulai kerusuhan.  Mereka cerita tahun 2000 sampai 2004 suasanyanya mencekam karena banyak orang mati tertembak. Nggak ada yang tahu siapa pelakunya. Kalau kata supir taksi yang saya naiki kemarin, ada orang-orang yang dibayar untuk ngebakar masjid dan gereja. Mereka engga tahu motif pasti penyuruhnya apa, tapi bukan agama. Ada orang-orang yang ingin dapet duit dari kerusuhan.

Selama kerusuhan, orang-orang pada takut keluar rumah. Wilayah-wilayah di Ambon berubah jadi blok berdasar agama. Kalo penduduk suatu tempat mayoritas muslim, yang Kristen pergi. Begitu juga sebaliknya. Tahun-tahun tadi nggak ada  orang yang berani pakai simbol agama seperti kalung salib atau kerudung keluar rumah.

Beberapa orang yang saya temui bilang mereka tahu konflik Ambon sebenarnya bukan karena agama. Setelah kerusuhan meluas, orang-orang mempertahankan diri. Mereka pada ketakutan karena  rumahnya dibakar atau dilempari batu, bahkan tidak sedikit yang saudaranya meninggal. Karena tidak tahu siapa musuh mereka, agama muncul sebagai pembeda. Orang curiga pemeluk agama lain pelakunya.

Waktu mau salat, orang-orang yang saya temui di Taman Pattimura bilang kalau itu daerah Kristen. Nggak ada mushola atau mesjid di sana. Salah satunya lalu minjemi saya yang baru aja dikenal motor untuk pergi ke Masjid Al Fatah. Sejauh ini, penduduk Ambon yang saya jumpai baik-baik. Saya nggak habis pikir kok bisa ya dulu pada bunuh-bunuhan?

Habis salat, saya nglanjutin nyari makan di Jalan Kopi. Saya tertarik untuk masuk ke Warung Supira karena  bentuknya kuno. Ternyata, warung tadi dibangun tahun 1950. Meski mereka punya banyak menu lokal, saya milih gado-gado karena perut saya sedang tidak bisa diisi makanan berat.

Di sepanjang Jalan Kopi, ada deretan orang jualan plakat-plakat dari batu marmer. Kebanyakan bertuliskan nama, tanggal lahir, dan simbol-simbol. Saya baru tahu kalo benda tadi batu nisan. Saya lanjut jalan-jalan lagi sambil beli manggis dan duku. Sepertinya dua buah tadi, juga durian, banyak tumbuh di sekitar Ambon. Di sepanjang jalan berkali-kali saya ketemu penjual tiga buah tadi. Saya iseng masuk beberapa toko oleh-oleh. Selain jual mutiara dan besi putih, banyak yang jual hiasan dinding dari kulit kerang. Cangkang kerang yang berkilauan dipotong dan disusun berbentuk pemandangan atau hewan. Bagus-bagus banget. Pengen beli tapi nggak tahu ntar dipajang di mana. Trus, saya juga harus berhemat ding.

Malamnya, saya dan Al ditraktir Onya yang barusan balik dari Banda. Kami makan nasi kelapa di daerah Batu Merah. Nasi kelapa itu nasi santan dengan kelapa yang dikasih ikan teri. Trus dimakannya bareng ikan bakar yang dicelup di kuah jeruk dengan potongan sambal dan tomat yang disebut colo-colo. Enak... Saya abis satu porsi besar.

Esok harinya, saya berangkat ke Pulau Seram dan jalan-jalan melihat pembuat sagu. Seru lo.