Hari ini saya rencananya mau seharian ke Suku Huaulu. Sebelum datang ke Sawai, tadinya sih saya pengen nginep di rumah mereka. Berhubung saya sama sekali tidak ada gambaran seperti apa cara hidup mereka, sepertinya saya belum bisa menginap. Akhirnya saya memutuskan untuk singgah seharian saja.
Saya diantar ke sana oleh Udin, pekerja penginapan naik motor. Dari Sawai, kami harus melewati jalan jelek sekali. Nggak jelas kapan terakhir di aspal. Jalannya berlubang-lubang, berkelok-kelok, dan naik turun. Kalau naik motor sendirian, kayaknya saya bakal jatuh. Jalan berubah menjadi aspal halus waktu kami lewat Trans Seram.
Sekitar satu jam kemudian, kami berbelok ke jalan berbatu. Berhubung jembatan putus, kami memarkirkan motor dan terpaksa menyebrang sungai. Orang-orang yang saya temui bilang jembatan tadi putus sejak tiga tahun lalu. Sungai tadi lebarnya sekitar tiga meter dan di beberapa bagian kedalamannya lebih dari dua meter. Saya mencari bagian yang tidak terlalu dalam untuk menyebrang. Sungai ini airnya jernih dan dingin. Di dasarnya ada batu warna-warni. Setelah itu kami harus berjalan kaki ke desa sejauh tiga kilo.
Ahh..terpaksa jalan-jalan capek lagi. Padahal saya berniat kali ini liburan malas yang tidak ada acara olahraga beratnya. Lebih nggak enak lagi, cuaca siang itu sangat menyengat. Untung saya selalu sedia payung. Sebelum sampai di desa, saya melihat sekolah baru yang belum selesai dibangun. Papan nama “SD Kecil Huaulu” terpampang di depannya. Saya penasaran singgah karena mendengar di sekolah tadi hanya ada satu guru. Beliau berasal dari desa Kanike yang sengaja tinggal untuk mengajar anak-anak di sana.
Saya ngobrol sebentar dengan Bapak Joris Liliman. Beliau lulusan Sekolah Pendidikan Guru antara tahun 82-83. Bapak tadi bercerita kalau sekolah ini adalah tempat pendidikan formal pertama yang dibangun di Desa Huaulu. Dulu, ada mitos kalau seorang anak akan mati jika pergi ke sekolah.
Pendirian sekolah ini bermula pada tahun 2008. Saat itu Pak Joris datang ke Huaulu dan melihat banyak anak sedang bermain bola. Tidak ada satupun yang bisa membaca dan menulis. Bapak ini kemudian ingin mengajar mereka. Dia percaya, masa depan seseorang akan lebih baik saat mereka punya ilmu.
Dengan bantuan seorang Pendeta dari Ambon dan tokoh masyarakat, tahun 2009 di Huaulu dibangun sekolah darurat. Penduduk desa patungan untuk membuat bangunannya. Sekolah yang mulai beroperasi Maret 2009 ini awalnya bangunan kayu dengan atap sagu. Mereka tidak punya meja dan kursi. Murid-murid pertamanya menggunakan papan kayu untuk duduk dan menulis.
Awalnya tidak mudah untuk mengajak anak-anak di sana bersekolah. Anak-anak kecil di Huaulu terbiasa pergi ke hutan untuk mengumpulkan buah atau sayuran pada jam sekolah. Pak Joris berusaha menunjukkan kalau sekolah itu menyenangkan. Ia memperlihatkan foto-foto anak-anak memakai seragam dan bersekolah yang ada di sebuah kalender suatu LSM. Untuk membujuk anak-anak supaya datang ke sekolah, Pak Joris membawa kue-kue dan permen.
Bangunan sekolah yang sekarang mendapat bantuan dari Dana Alokasi Khusus. Murid-muridnya memakai seragam sekolah bantuan dari sebuah Yayasan. Mereka menggunakan berbagai macam buku pelajaran karena buku tadi sumbangan dari mahasiswa Jogja yang lewat Huaulu sewaktu mau mendaki Gunung Binaya.
Hingga kini, Pak Joris masih jadi satu-satunya guru karena Dinas Pendidikan belum menyetujui usulan penambahan guru. Berhubung hanya ada satu guru untuk enam kelas, jamnya harus dibagi. Dari jam delapan sampai sepuluh anak kelas satu dan dua masuk sekolah. Jam sebelas sampai dua belas untuk kelas tiga dan empat. Bapak Joris kemudian pulang ke rumah yang jaraknya sekitar 500 meter dari sekolah untuk makan siang dan istirahat. Setelah itu dari jam dua sampai jam lima, Pak Joris kembali lagi ke sekolahan untuk mengajar. Rata-rata, di tiap kelas ada 5 sampai 13 murid. Total satu sekolahan ada 46 orang.
Mendengar cerita Pak Joris, saya langsung terpesona berat. Dari dulu, saya pengen punya sekolahan. Tapi sampai saat ini saya belum berani untuk tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu lama dan punya komitmen untuk membangun sesuatu. Saya iri sekaligus salut terhadap beliau.
Siang itu, saya mengikuti pelajaran anak kelas empat SD. Saya agak kaget waktu materinya tentang Bank. Jadi, Pak Joris menyalin pertanyaan dari sebuah buku Bahasa Indonesia. Temanya tentang hidup hemat dan menabung di Bank. Saya cuma bisa diam. Menurut saya, materi tadi lebih cocok diajarkan untuk anak-anak di kota.
Bank terdekat dari Huaulu jaraknya sekitar 100 kilometer. Saya tidak yakin anak-anak ini pernah ke bank. Menabung belum ada di budaya mereka. Suku Huaulu masih hidup dari berburu dan meramu. Mereka hidup dari mengumpulkan hasil hutan dan sungai. Apa yang mereka dapat hari ini ya dimakan hari ini. Sepertinya, tidak ada konsep menyimpan sesuatu untuk kebutuhan jangka panjang.
Suku Huaulu sudah mengenal uang. Mereka menjual cengkeh, kopi, atau langsat saat panen. Tapi mereka engga menimbun uang karena uang tadi sekadar dipakai untuk membeli garam, ikan kering, atau baju. Barang yang dijual pun hanya kelebihan saat panen. Jika panen kopi mereka sedikit, biasanya mereka mengonsumsinya sendiri.
Sekolah kecil di Huaulu ini mungkin hanya satu cerita. Ada banyak cerita sejenis di seluruh Indonesia raya. Di mana buku sekolah yang dicetak di sebuah kota di Jawa dipakai dipakai di Aceh sampai Papua yang berbeda budaya. Saya bukan ahli pendidikan, tapi saya lebih setuju kalau di masing-masing tempat ada penduduk lokal yang cukup cerdas dan mau peduli. Mereka menyediakan ruangan di rumahnya untuk tempat buku-buku dan ada orang-orang yang menyediakan waktunya untuk mengajak orang lain membaca.
Lalu, ada sekumpulan orang-orang yang punya kelebihan harta membantu menyumbang buku. Supaya anak-anak ini bisa melihat cara hidup lain di luar mereka. Saya rasa, sekolah saja tidak cukup. Untuk menjaga supaya buku-buku tersebut berguna, perlu ada orang yang mengajak membaca. Di banyak tempat, saya sering melihat buku-buku bagus tergeletak begitu saja di perpustakaan karena tidak ada yang menyentuh.
Setelah itu saya berjalan mengelilingi desa. Desa ini kecil. Ada jalan dari tanah membelah desa. Rumah-rumah panggung penduduk yang terbuat dari papan dan beratap daun sagu berjajar di kiri dan kanan jalan. Sebagian besar rumah tidak memiliki dinding. Di desa, ada sekitar 30 rumah yang masing-masing dihuni oleh dua atau tiga keluarga. Bagian dalam rumah terbagi atas dua ruangan. Ruang luar yang dipakai untuk duduk-duduk, menerima tamu, dan tidur. Dan ruang dalam yang berdinding dipakai untuk dapur dan menyimpan barang. Di atap biasanya ada beberapa gulungan tikar dari daun dan tumpukan bantal. Tikar tersebut berfungsi ganda. Kalau malam berguna untuk alas tidur dan siang harinya dipakai untuk menjemur cengkeh dan kopi.
Ada beberapa toilet umum di sela-sela beberapa rumah. Kalau dilihat dari bangunannya yang terbuat dari semen dan berpintu plastik, sepertinya itu bantuan dari pemerintah. Di desa ini ada banyak sekali anak kecil, tapi saya engga bisa memoto mereka yang sedang bermain karena sepertinya mereka tidak nyaman dengan orang asing.
Saya sebenarnya pengen ngobrol lebih banyak dengan orang-orang Huaulu. Sayang, saya tidak mengerti bahasa mereka dan kebanyakan penduduk Huaulu tidak bisa berbahasa Indonesia. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke penginapan. Sebelum pulang, saya berhenti sebentar di perkampungan transmigran untuk membeli buah semangka.
Sorenya, penginapan ramai dengan anak-anak kecil. Kami makan semangka bareng dan bermain. Kami membuat perahu dan burung dengan kertas lipat warna-warni yang saya bawa dari Jogja. Sebelumnya, kami menulis cita-cita kami di kertas-kertas tadi. Setelah selesai, kami menaruh kapal-kapal tadi.
Sore itu saya memuaskan diri bermain di laut. Sepertinya, besok saya harus pergi dari tempat ini. Sebenarnya, saya ingin tinggal lebih lama. Sawai tempat yang indah. Begitu bangun pagi, saya bisa melihat terumbu karang di laut dari kamar saya. Tiap pagi jalan-jalan sambil memoto perkampungan dan hutan dengan latar belakang langit dan laut yang sangat biru. Sorenya bermain dengan anak-anak kecil. Mungkin, kalau tinggal lebih lama saya bisa membacakan buku dan mengajar mereka. Tapi sepertinya ini bukan tempat saya. Saya masih belum bisa tinggal di tempat dengan akses internet terbatas. Tempat yang tidak ada buku-buku dan teman-teman untuk berdiskusi.
Senin, 26 Agustus 2013
Rabu, 10 Juli 2013
38 Jam untuk Pulang
Hari terakhir di Sapa. Sebenarnya kalau tidak ada acara nikahan sepupu, saya masih ingin tinggal beberapa hari lagi untuk keliling desa. Masih penasaran dengan penduduk lokal dan baju unik mereka. Sejak pukul empat sore, saya duduk-duduk di bar. Ada Tom dan Ryan yang sedang main bilyar. Ryan ini turis pertama yang beberapa hari sebelumnya saya temui di stasiun kereta. Waktu itu, dia sempat nggak ramah karena mikir saya mau nipu dia.
Seharusnya, travel menjemput saya jam 5. Tapi sampai pukul 5.15, mereka belum juga datang. Saya meminta pemilik penginapan untuk menelepon travel tempat saya membeli tiket. Setengah jam kemudian, travel belum datang. Saya mulai panik dan meminta pemilik penginapan untuk menelfon lagi. Dari seberang telepon, penjual tiket meminta maaf. Dia bilang akan menyuruh orang untuk menjemput saya.
Beberapa menit kemudian, seorang perempuan menjemput saya naik sepeda motor. Kami kemudian menunggu di pinggir jalan. Sepertinya, bus yang seharusnya saya naiki sudah pergi dan dia mencarikan gantinya. Perempuan tadi menyetop sebuah travel dan menyampaikan sesuatu dalam Bahasa Vietnam ke sopirnya. Jadilah saya ikut travel tadi.
Travel sampai di Kota Lao Cai hampir pukul 19.00. Saya mulai cemas karena harus menukar tiket dahulu dan kereta berangkat pukul 19.30. Waktunya terlalu mepet. Ibu tempat saya membeli tiket kemarin berpesan kalau saya harus mengambil tiket di kounter yang letaknya di sebelah kanan stasiun. Saya berlari ke sana karena takut terlambat.
Sampai di agen kereta, saya bertemu dua petugas. Waktu saya menunjukkan kuitansi pembelian tiket, seorang petugas menunjuk ke arah sebrang jalan. “5 minutes walk” Saya bingung, jalan yang ia tunjuk ada banyak. Saat saya bertanya, ternyata dia tidak mengerti Bahasa Inggris. Dia hanya menunjuk-nunjuk ke seberang jalan kemudian pergi berlalu.
Saya jalan kaki dan menyusuri pertokoan yang di maksud. Saya berkali-kali bertanya ke beberapa orang sambil menunjukkan alamat yang tertulis di tiket saya. Beberapa menunjukkan arah yang salah. Hingga ada seseorang bilang saya harus kembali ke ujung jalan. Akhirnya saya menemukan agen perjalanan yang dimaksud. Tapi kantornya terkunci. Tidak ada orang di sana. Saya mencoba bertanya ke pemilik toko yang ada di kiri dan kanan kantor tadi. Orang-orang yang saya tanya hanya menyingkir sambil memberi isyarat kalau mereka tidak bisa Bahasa Inggris.
Saya duduk sebentar di depan kantor tadi. Bengong kaya anak ilang. Karena saya tidak yakin kalau orang yang saya tunggu akan datang, saya memutuskan kembali ke agen kereta api yang saya datangi sebelumnya. Untung saja di sana saya bertemu seorang ibu yang bisa berbahasa Inggris. Dia menelfon seseorang yang membawa tiket saya. Ia kemudian mengajak saya menunggu di depan pintu stasiun.
Saya mulai panik. Berkali-kali saya melirik ke arah jam di dinding stasiun. Sudah pukul 19.25. Sebentar lagi kereta berangkat. Saya mulai berpikir untuk membeli tiket lain. Saya harus sampai Hanoi besok pagi karena harus mengejar pesawat. Kayaknya bakalan kehilangan 600 sampai 700 ribu dong (300 sampai 350 ribu rupiah). Tapi itu lebih mending daripada ketinggalan pesawat. Saya mulai mengutuk-ngutuk tempat saya membeli tiket kemarin. Nggak tanggung jawab banget!
Daaannnn, seorang laki-laki datang dengan wajah tidak bersalah sambil menyerahkan tiket saya. Tu Mas tau nggak kalau dia telat dikit aja saya ketinggalan kereta? Saya mengucapkan terimakasih ke si ibu dan berlari.
Setelah menaruh barang bawaan, saya mengeluarkan sandwich raksasa yang tadi saya pesan di hotel. Tadinya sih saya mau makan malam di stasiun karena kalau semuanya berjalan normal, masih ada waktu untuk makan. Tapi kata Tom, sebaiknya dalam perjalanan membawa bekal untuk jaga-jaga. Sandwich tadi panjangnya lebih dari 30 senti. Meskipun peyok karena ketimpa bawaan lain, kentang gorengnya lumayan buat ganjal perut.
Tak lama kemudian, dua laki-laki yang umurnya masih awal dua puluh tahunan datang. Dia menunjukkan tiketnya ke saya. Saya bingung. Apa maksud dia saya salah tempat? Orang yang tidur di atas bangun dan menjelaskan pakai Bahasa Inggris. Tiket dia di gerbong sebelah, tapi dia ingin menukarnya supaya bisa bareng dengan temannya. Saya yang terlanjur capai dan males pindah tempat bilang engga.
Ternyataaa... si teman tadi memilih untuk ada di gerbong saya. Ceritanya, cowok yang ada di gerbong saya tiba-tiba jadi drama king. Hampir nangis gitu pas mau ditinggalin ke gerbong sebelah. Halah, lebay banget. Mereka berduaan di kasur di atas saya. Nggak tau apa yang diobrolin, yang pasti ribut banget. Berasa kaya dunia milik berdua. Sebenarnya saya kesel dan pengen protes. Sayangnya, saya nggak bisa bahasa mereka. Batal deh tidur. Padahal saya sengaja milih naik kereta yang ada tempat tidurnya karena pengen istirahat.
Beberapa jam kemudian, ada petugas kereta datang. Mereka berdebat sebentar. Petugas tadi nyuruh salah satu cowok pergi ke gerbong lain. Diam-diam saya hore-hore. Bukannya saya jahat dan tidak merestui kisah cinta kalian, tapi jangan ganggu tidur orang dong.
Belum sempat tidur, saya di bangunkan penumpang di kasur seberang saya. Lupa jam berapa, tapi langit di luar masih gelap. Saya melihat kota Hanoi di luar. Beberapa pasar tradisional sudah ramai. Mereka berjualan di lapak-lapak dengan bantuan cahaya dari lampu minyak.
Beberapa menit kemudian, kereta berhenti. Saya turun dan mencari-cari kamar mandi. Toilet pertama yang saya temui bau banget. Saya batal masuk karena hampir mutah. Akhirnya saya menemukan toilet yang cukup bersih di luar. Lumayan lah untuk mandi. Di depannya, ada lima orang bapak-bapak dan ibu sedang sibuk bermain kartu. Umur mereka diatas lima puluh tahun. Seseorang meneriakkan kata 5.000 dong tanpa menoleh ke saya.
Langit mulai berwarna putih. Saya mengeluarkan peta dan mulai berjalan kaki. Tujuan saya Mausoleum Ho Chi Mih. Saya melewati bangunan-bangunan megah dengan arsitektur Perancis yang sekarang sebagian berfungsi sebagai kedutaan. Waktu lewat Lapangan Lenin, saya berhenti sebentar untuk memoto. Pagi itu ada puluhan orang di sana. Ada satu kelompok besar ibu-ibu dan bapak-bapak sedang senam pagi. Lalu ada anak-anak kecil yang berlarian atau bermain sepeda. Entah itu kegiatan rutin tiap hari, atau kebetulan saya lewat tempat tadi pas hari Jumat?
Di seberang jalan ada bangunan monumen dari batu bata kuno dengan bendera merah Vietnam mencolok di puncaknya. Tower tadi jadi bagian dari Museum Sejarah Militer Vietnam. Saya ingin mendekat tapi pintu menuju ke sana tertutup. Sepertinya ini terlalu pagi. Saya kemudian melanjutkan perjalanan. Hanoi kalo pagi nyenengin untuk jalan kaki. Lengang. Nanti, kalau sudah jam 8 dan sore setelah jam empat, jalannya ramai banget. Penuh ribuan motor yang keburu-buru. Dan hebatnya, saya yang biasa nyasar, kali ini bisa membaca peta dengan benar! Sampai deh di Lapangan Mausouleumnya Ho Chi Mih. Konon di dalamnya, ada tubuh kakek yang mukanya menghiasi semua mata uang di Vietnam. Kalau nggak salah, mausoleumnya buka jam 8. Dan ini belum ada jam 6.
Pagi itu ada banyak sekali orang tua dan muda di lapangan. Pada olahraga. Menurut saya, bagian paling keren dari tata kota Vietnam adalah banyak ruang terbuka untuk warganya. Di hampir setiap pojokan kota, pasti ada taman yang bisa dipakai buat duduk-duduk atau olahraga.
Saya milih untuk duduk dan liat-liat. Dekat dengan jam 6, ada petugas keluar dari Mausoleum. Orang-orang mulai menyingkir dari lapangan. Muncul pasukan pakai seragam putih-putih dari dalam bangunan abu-abu dari batu. Jumlahnya sepertinya ada kalau dua puluhan. Mereka kemudian naikin bendera. Semua orang yang ada di lapangan berdiri dan diam sambil ngelihat ke arah tiang bendera dengan penuh hormat. Padahal nggak ada yang nyuruh lo. Saya yang tadinya duduk jadi ikutan berdiri karena nggak enak hati. Setelah upacara selesai, orang-orang kembali olahraga.
Berhubung jam buka mausoleum masih lama, saya pergi ke deretan cafe di pinggir jalan untuk nyari sarapan. Gara-gara ngelihat ada tumpukan kelapa muda. Selain sarapan, saya juga pesen tadi. Ternyata isinya bukan minuman kelapa muda. Ada santan kental dan jeli rasa air kelapa didalamnya. Saya nggak ngerti gimana cara bikinnya.
Jam delapan, saya balik ke maousoleum. Hari Jumat mereka ngga buka, saudara-saudara. Berhubung tiba-tiba ujan, saya memutuskan untuk jalan kaki ke Goethe Institute. Ada tukang ojek nyamperin saya. Saya bilang saya mau jalan-jalan ke arah dekat Temple of Literature. Dia berusaha meyakinkan kalau tempat itu jauh. Perasaan di peta letaknya jauh lebih dekat daripada ke stasiun kereta. Toh, saya juga nggak keburu-buru karena memang pengen liat-liat kota.
Sampai di Goethe Institute, Mai Lan yang saya titipin laptop belum datang karena hujan deras. Ya sudah, saya nunggu di Doc Lab sambil nonton film. Ada banyak film festival di arsip mereka. Pengen ngopiii.... Pas Mai Lan datang, ia kemudian nelponin taksi. Dia bilang kalau ongkos taksi sampai ke bandara sekitar 250 ribu dong (sekitar 125 ribu).
Waktu taksinya datang, saya langsung masuk dan tidur saking capeknya. Pas bangun, saya kaget karena meteran taksi sudah menunjukkan angka 380 ribu. Padahal, bandara masih jauh. Sepertinya argo taksi bergerak terlalu cepat. Sampai di bandara, argo berhenti di angka 490 sekian ribu. Hampir dua kali lipat tarif normal. Saya protes dan bilang hanya mau membayar 250 ribu karena itu harga umum. Sopir tadi akhirnya bilang iya. Karena nggak punya uang kecil, saya bayar dengan dua lembar dua ratusan ribu dong.
Awalnya, si sopir taksi cuma mengembalikan seratus ribu. Mau nipu saya lagi ya? Enak aja. Saya tahu, jadi sopir taksi itu nggak mudah. Tiap hari harus ngadepin macet dan harus kejar setoran harian yang besar. Tapi bukan berarti Anda punya hak untuk ngambil sesuatu yang bukan milikmu. Kadang, saya melebihkan uang kalau tukang taksi yang ramah, tapi untuk yang ini, males deh.
Berhubung pesawat saya masih lama, saya keliling bandara sambil nyari penukaran uang. Lumayan, masih ada sisa yang diubah ke dolar jadi 57 dolar. Dolar yang saya bawa dari Indonesia pun masih utuh. Yang tujuh dolar saya pakai untuk beli selendang sutra. Tadinya saya berusaha nggak khilaf, tapi kali ini motifnya jumputan, mirip jumputan yang ada di Indonesia. Dan, 7 dolar untuk sebuah seledang dari sutra engga mahal.
Saya kemudian terbang pakai Malaysian Airlines ke Kuala Lumpur. Dari sana, saya ganti pesawat ke Jakarta. Sebenarnya, dari Kuala Lumpur ada penerbangan langsung ke Jogja. Cuma harus terbang siang hari berikutnya, dan saya harus sampai di Jogja Sabtu pagi.
Pesawat sampai di Jakarta jam 10 malam. Mulailah saya kaya anak ilang. Sendirian muter-muter bandara sambil nunggu besok pagi jam 4 buat check in. Herannya, kali ini saya bisa tidur di tempat umum. Mungkin saking capeknya kali? Dan, pesawat saya yang tiketnya hampir satu juta itu tetep telat. Saya baru sampai di Jogja setengah depan. Saya pulang sebentar untuk mandi trus ganti baju dan datang ke nikahan sepupu saya.
Kamis, 04 Juli 2013
Trekking di Sapa, Vietnam
Setelah kemarin mengalami hari yang aneh, kali ini saya dan Emily keliling jalan kaki. Kami sengaja engga ambil paket tour (yang ditawarkan di mana-mana) karena males. Selain lebih mahal (kita kan berusaha irit supaya bisa belanja :P) Trus kalo ikut tour pasti ke tempat-tempat yang banyak turisnya. Nggak bebas lagi mo ngabur ke mana. Kami trus dengan pedenya bawa peta dan tanya-tanya.
Sebelumnya kami jalan ke pusat kota dan sarapan di restoran yang saya lupa namanya. Interiornya asik dan didominasi warna coklat. Penuh dengan perabotan dari kayu cantik. Baju-baju tradisional jadi hiasan di sudut ruangan. Keluar dari kota, kami ke Desa Cat-cat. Untuk sampai ke sana, kami harus bayar tiket 40.000 dong (sekitar 20 ribu rupiah). Di tiket ada tulisan “Coming to Cat cat tourist area, you will have the opportunity to explore the life of H’mong ethnic minority, admire the majestic beauty of rice terace, waterfall and hydroelectric plant which built by the French since the 20 th century”.
Untuk masuk ke wilayah perkampungan, kami harus turun ke tangga sempit. Warung-warung cendera mata berjajar di kiri dan kanan jalan. Kebanyakan benda yang dijual di sana pasmina dan baju buatan pabrik. Banyak juga souvenir buatan Cina. Dan lagi-lagi, kami dikerubuti serombongan penduduk lokal dengan pertanyaan standarnya. Ada puluhan turis, sebagian besar bule dan disusul wajah Jepang. Jalan tadi sesak dengan orang. Saya langsung kumat sinisnya waktu lihat para turis tadi moto apapun yang sepertinya engga ada di daerah asal mereka.
Ya, tempat ini kaya museum hidup. Suku minoritas Hmong yang ada di sini jadi kaya bahan tontonan. Turis-turis tadi pada terpesona pada penduduk-penduduk yang miskin dan sibuk menyulam di depan gubuknya. Beberapa nggak bisa nutupin kekagumannya waktu lihat anak-anak kecil yang kucel dan ingusan.
Sepertinya, dalam sehari ada ratusan turis datang ke tempat ini. Tapi kok penduduk H’mong tetep aja miskin? Duit dari tiket masuknya ke mana ya? Saya ngerasa, mereka tu kaya dieksploitasi. Beberapa penduduk lokal sengaja mengeksploitasi dirinya. Mereka minta duit atau “maksa” turis belanja saat tahu dirinya difoto. Sebenarnya, saya pengen ngobrol sama penduduk lokal. Saya penasaran sama kehidupan sekari-hari mereka. Sayangnya, kebanyakan penduduk lokal yang saya temui Bahasa Inggrisnya terbatas. Mereka cuma bisa copy paste bilang: Siapa namamu? Dari mana asalmu? Punya berapa saudara? Buntut-buntutnya: Belanja dari saya ya? Atau: saya temani jalan-jalan ke desa ya? Saya sih nggak keberatan kalau mereka bisa diajak ngobrol dan cerita. Tapi, tiap kali saya berusaha ngajak ngobrol, mereka cuma ngelihatin dengan wajah nggak paham.
Setelah ngelewatin rumah-rumah penduduk, air terjun, dan tempat pertunjukkan, kami berhenti sebentar di pinggir sungai. Emily dan saya main ayunan bareng dua bocah yang umurnya mungkin dua dan empat tahunan. Mereka tadinya lucu dan menyenangkan. Awalnya, kami seneng-seneng aja ngebagi makanan waktu anak-anak itu minta. Mereka bisa bahasa Inggris lo. Lama-lama, kami males setelah mereka bilang: One dolar please? Bosen terlalu lama di tempat yang ramai, saya dan Emily mutusin pergi ke Desa San Sa Ho dan Desa Lao Chai.
Kami jalan ngikutin tangga keluar Desa Cat-cat. Setelah lewat jembatan penyebrangan, kami ketemu dengan banyak orang lagi duduk-duduk di motor. Pas kami tanya jalan, mereka mikir kami minta diantar ke Sapa. Kami berkali-kali ngejelasin kalau kami mau jalan-jalan ke desa lain. Kami papasan dengan seorang cewek pake baju tradisional Suku Hmong yang nganterin beberapa turis. Bajunya bersih dan kelihatan kalo dia cewek cetakan salon. Maksudnya, kulitnya terawat dan dia dandan pakai eye liner segala. Bahasa Inggrisnya bagus. Saya baru ngeh kalo perempuan-perempuan muda yang Bahasa Inggrisnya bagus itu biasanya dilatih sama penjual paket tour untuk jadi guide. Kami nanya jalan ke dia. Dia bilang, dia bingung ngejelasin arah beloknya. Dia nawarin untuk jalan bareng trus nanti dia nunjukin belokannya. Emily, yang salah tangkap, ngajakin tanya ke orang lain. Dia mikir tu guide nawarin jasa. Bukan salah dia juga sih. Penduduk lokal yang kami temui dari kemarin setelah berbasa-basi selalu nawarin dagangan. Beberapa maksa.
Kami trus tanya orang lain. Kami nunjukin peta lokasi yang pengen kami tuju karena dia nggak bisa Bahasa Inggris. Dia nunjuk ke arah jalan. Kami, dengan sok taunya berpikir lurus aja ikuti jalan. Saya jalan pelan-pelan banget. Capek bo, setelah berhari-hari kurang tidur. Sebentar-sebentar, kami berhenti. Rute jalan ini nyenengin karena kami cuma ketemu penduduk lokal. Pemandangan di kanan kiri kami penuh dengan bukit-bukit hijau dan sawah. Meski dah jam sebelas lebih, kami masih ngerasa kaya pagi karena Puncak Fansipan masih tertutup kabut (atau awan ya? :D). Sejam kemudian, kami mulai kelaparan. Kami mulai menghibur diri kalau desanya dah dekat.
Beberapa waktu kemudian, kami lewat rumah penduduk yang terbuat dari papan dan beratap seng. Rata-rata rumah punya kandang babi. Karena nggak ada orangnya, kami nganjutin jalan. Kami kemudian lewat barisan rumah lain. Di antaranya ada ibu dan anak yang lagi merendam daun perdu di ember raksasa. Daun-daun tadi ngeluarin air yang warnanya biru pekat mirip kaya tinta. Sepertinya itu proses pembuatan pewarna pakaian. Saya baru sadar kenapa banyak tangan penjual yang kami temui berwarna biru kehitaman. Saya berusaha tanya apa benar itu pewarna pakaian. Mereka berdua pergi menjauh sambil teriak “No” Lagi-lagi. Itu maksudnya bukan pewarna pakaian atau mereka nggak ngerti apa yang saya bicarakan?
Kami trus jalan dan ketemu beberapa orang. Waktu, kami tanya di mana tempat makan dengan cara menirukan cara orang makan, semua menjauh. Tadinya sih, kami berharap bisa mampir ke rumah penduduk lokal dan nyicipin makanan sehari-hari mereka. Tapi kalo gitu caranya, kayaknya nggak bakal bisa. Untung aja, kami lihat rumah makan. Horee... Meski ibu penjual yang kami temui juga nggak bisa Bahasa Inggris, dia ngerti kalau kami pengen makan. Dia nunjukin mie. Sebenarnya, saya sudah enek makan mie. Di Hanoi, sepertinya saya kebanyakan makan mie. Kali ini saya pasrah saking laparnya. Pas ibunya masak, saya tungguin. Di Hanoi, sebagian besar penjual makanan naruh terlalu banyak MSG. Dan, kalau saya engga bilang jangan, ibu tadi juga naruh sesendok besar MSG.
Suami pemilik rumah makan tadi ternyata lumayan bisa Bahasa Inggris. Dia bilang kalau sekarang kami ada di Desa Sin Chai. Yang arahnya berlawanan dengan desa yang kami tuju. Kami makan siang di samping jendela dengan pemandangan keren. Gunung-gunung hijau dan beberapa rumah dari kayu. Berasa di desa banget. Habis makan, kami beli snack lokal. Ada yang rasanya kaya enting-enting, ada yang kaya egg rool. Kami bawa makanan tadi ke atas bukit dan piknik di sana. Nggak pa-pa nyasar. Yang penting kami dapat tempat nyenengin dan engga banyak turis. Tadinya, kami mau lanjutin jalan terus ke air terjun yang kami datangi hari sebelumnya. Lalu nanti naik ojek dari sana. Tapi bapak yang kami temui bilang kalau jalannya rusak dan bercabang. Kami bisa tersasar. Akhirnya kami mutusin kembali ke Sapa.

Pas perjalanan pulang, pemandangannya berubah. Puncak Fansipan kelihatan dan langit biru di belakangnya. Kami ketemu kerbau-kerbau dan anak kecil yang jadi penggembalanya. Pengen nyoba naik kerbau. Sayang kotor banget dan persediaan baju bersih saya dah hampir habis. Saya mulai tepar pas jalan pulang. Waktu dekat Sapa, saya ngajak Emily berhenti bentar di sebuah galeri lukisan untuk beli es krim. Saya, yang biasanya kalo belanja di warung engga pakai nawar, setelah kemarin diajarin Paul dan M, iseng aja nyoba. Kami dapet dua es krim dengan harga 10.000 dong ( Rp 5 ribu). Murah banget. Mana makannya tempat yang pemandangannya keren. Galeri tadi bentuknya rumah panggung dari kayu. Restorannya menghadap ke arah lembah yang di bawahnya sawah-sawah. Pengen deh punya rumah kaya gitu.
Saya dan Emily ngobrol tentang etnis minoritas yang kami temui. Lumayan banyak turis yang terganggu dengan cara mereka nawarin dagangan. Kalau, sekali, dua kali dikerubuti dan ditanya dengan pertanyaan yang itu-itu aja sih mungkin engga masalah. Tapi dalam sekali jalan, turis-turis tadi dikeributi sampai belasan kali oleh puluhan orang yang berbeda. Bagi kami, yang bukan orang Vietnam, suara mereka mirip satu sama lain dan seperti lengkingan. Banyak turis yang kemudian ngejawab dengan kasar.
Malamnya, saya, Emily, dan Lee, teman sehotel dari Belanda makan malam di restoran asyik yang saya lupa namanya. Di Sapa, banyak banget restoran dengan menu Eropa. Harganya sebenarnya lumayan mahal buat tukang jalan-jalan yang pengen irit kaya kami. Tapi nggak pa-pa lah sekali-kali. Habis makan, Lee pulang. Saya dan Emily lanjutin liat-liat kota kalau malam. Kami jalan kaki ngelewatin pasar yang masih buka sampai malam. Lanjut ke pusat kota dan lewat Gereja Sapa. Banyak banget orang di sana. Gereja tadi kelihatan cantik karena dihiasi lampu warna-warni. Dinding gereja penuh jendela besar dengan lukisan kaca. Kami mutusin untuk balik lagi ke gereja besok pagi. Pengen lihat lukisan dan dalamnya kalau siang hari.
Kami trus jalan ke arah Danau Sapa. Kota ini mirip kaya kota di Eropa. Rumah-rumahnya berjajar rapi. Trus nggak tau ada acara apa, di pohon-pohon pinggir jalan banyak lampu warna-warni. Kami ketemu banyak penduduk lokal yang bukan suku minoritas. Padahal kalo siang, jalanan tadi penuh dengan turis yang diikuti penduduk dengan baju tradisional yang nawarin dagangan. Ada banyak orang jalan kaki berombongan dengan teman atau bareng keluarga. Saya dan Emily sampai heran, wajah-wajah mereka kelihatan bahagia. Baru saja merayakan sesuatu atau mereka memang selalu bahagia? Pas perjalanan pulang, kami lihat beberapa perempuan muda yang tadi siang kami temui pakai baju tradisional dan jadi guide nongkrong di cafe dengan baju seperti layaknya anak muda jaman sekarang. Saya penaasaran pengen tahu kenapa. Sayang, saya cuma sebentar di sini. Ada banyak hal yang masih ingin saya tahu.
Untuk masuk ke wilayah perkampungan, kami harus turun ke tangga sempit. Warung-warung cendera mata berjajar di kiri dan kanan jalan. Kebanyakan benda yang dijual di sana pasmina dan baju buatan pabrik. Banyak juga souvenir buatan Cina. Dan lagi-lagi, kami dikerubuti serombongan penduduk lokal dengan pertanyaan standarnya. Ada puluhan turis, sebagian besar bule dan disusul wajah Jepang. Jalan tadi sesak dengan orang. Saya langsung kumat sinisnya waktu lihat para turis tadi moto apapun yang sepertinya engga ada di daerah asal mereka.
Ya, tempat ini kaya museum hidup. Suku minoritas Hmong yang ada di sini jadi kaya bahan tontonan. Turis-turis tadi pada terpesona pada penduduk-penduduk yang miskin dan sibuk menyulam di depan gubuknya. Beberapa nggak bisa nutupin kekagumannya waktu lihat anak-anak kecil yang kucel dan ingusan.
Sepertinya, dalam sehari ada ratusan turis datang ke tempat ini. Tapi kok penduduk H’mong tetep aja miskin? Duit dari tiket masuknya ke mana ya? Saya ngerasa, mereka tu kaya dieksploitasi. Beberapa penduduk lokal sengaja mengeksploitasi dirinya. Mereka minta duit atau “maksa” turis belanja saat tahu dirinya difoto. Sebenarnya, saya pengen ngobrol sama penduduk lokal. Saya penasaran sama kehidupan sekari-hari mereka. Sayangnya, kebanyakan penduduk lokal yang saya temui Bahasa Inggrisnya terbatas. Mereka cuma bisa copy paste bilang: Siapa namamu? Dari mana asalmu? Punya berapa saudara? Buntut-buntutnya: Belanja dari saya ya? Atau: saya temani jalan-jalan ke desa ya? Saya sih nggak keberatan kalau mereka bisa diajak ngobrol dan cerita. Tapi, tiap kali saya berusaha ngajak ngobrol, mereka cuma ngelihatin dengan wajah nggak paham.
Setelah ngelewatin rumah-rumah penduduk, air terjun, dan tempat pertunjukkan, kami berhenti sebentar di pinggir sungai. Emily dan saya main ayunan bareng dua bocah yang umurnya mungkin dua dan empat tahunan. Mereka tadinya lucu dan menyenangkan. Awalnya, kami seneng-seneng aja ngebagi makanan waktu anak-anak itu minta. Mereka bisa bahasa Inggris lo. Lama-lama, kami males setelah mereka bilang: One dolar please? Bosen terlalu lama di tempat yang ramai, saya dan Emily mutusin pergi ke Desa San Sa Ho dan Desa Lao Chai.
Kami jalan ngikutin tangga keluar Desa Cat-cat. Setelah lewat jembatan penyebrangan, kami ketemu dengan banyak orang lagi duduk-duduk di motor. Pas kami tanya jalan, mereka mikir kami minta diantar ke Sapa. Kami berkali-kali ngejelasin kalau kami mau jalan-jalan ke desa lain. Kami papasan dengan seorang cewek pake baju tradisional Suku Hmong yang nganterin beberapa turis. Bajunya bersih dan kelihatan kalo dia cewek cetakan salon. Maksudnya, kulitnya terawat dan dia dandan pakai eye liner segala. Bahasa Inggrisnya bagus. Saya baru ngeh kalo perempuan-perempuan muda yang Bahasa Inggrisnya bagus itu biasanya dilatih sama penjual paket tour untuk jadi guide. Kami nanya jalan ke dia. Dia bilang, dia bingung ngejelasin arah beloknya. Dia nawarin untuk jalan bareng trus nanti dia nunjukin belokannya. Emily, yang salah tangkap, ngajakin tanya ke orang lain. Dia mikir tu guide nawarin jasa. Bukan salah dia juga sih. Penduduk lokal yang kami temui dari kemarin setelah berbasa-basi selalu nawarin dagangan. Beberapa maksa.
Kami trus tanya orang lain. Kami nunjukin peta lokasi yang pengen kami tuju karena dia nggak bisa Bahasa Inggris. Dia nunjuk ke arah jalan. Kami, dengan sok taunya berpikir lurus aja ikuti jalan. Saya jalan pelan-pelan banget. Capek bo, setelah berhari-hari kurang tidur. Sebentar-sebentar, kami berhenti. Rute jalan ini nyenengin karena kami cuma ketemu penduduk lokal. Pemandangan di kanan kiri kami penuh dengan bukit-bukit hijau dan sawah. Meski dah jam sebelas lebih, kami masih ngerasa kaya pagi karena Puncak Fansipan masih tertutup kabut (atau awan ya? :D). Sejam kemudian, kami mulai kelaparan. Kami mulai menghibur diri kalau desanya dah dekat.
Beberapa waktu kemudian, kami lewat rumah penduduk yang terbuat dari papan dan beratap seng. Rata-rata rumah punya kandang babi. Karena nggak ada orangnya, kami nganjutin jalan. Kami kemudian lewat barisan rumah lain. Di antaranya ada ibu dan anak yang lagi merendam daun perdu di ember raksasa. Daun-daun tadi ngeluarin air yang warnanya biru pekat mirip kaya tinta. Sepertinya itu proses pembuatan pewarna pakaian. Saya baru sadar kenapa banyak tangan penjual yang kami temui berwarna biru kehitaman. Saya berusaha tanya apa benar itu pewarna pakaian. Mereka berdua pergi menjauh sambil teriak “No” Lagi-lagi. Itu maksudnya bukan pewarna pakaian atau mereka nggak ngerti apa yang saya bicarakan?
Kami trus jalan dan ketemu beberapa orang. Waktu, kami tanya di mana tempat makan dengan cara menirukan cara orang makan, semua menjauh. Tadinya sih, kami berharap bisa mampir ke rumah penduduk lokal dan nyicipin makanan sehari-hari mereka. Tapi kalo gitu caranya, kayaknya nggak bakal bisa. Untung aja, kami lihat rumah makan. Horee... Meski ibu penjual yang kami temui juga nggak bisa Bahasa Inggris, dia ngerti kalau kami pengen makan. Dia nunjukin mie. Sebenarnya, saya sudah enek makan mie. Di Hanoi, sepertinya saya kebanyakan makan mie. Kali ini saya pasrah saking laparnya. Pas ibunya masak, saya tungguin. Di Hanoi, sebagian besar penjual makanan naruh terlalu banyak MSG. Dan, kalau saya engga bilang jangan, ibu tadi juga naruh sesendok besar MSG.
Suami pemilik rumah makan tadi ternyata lumayan bisa Bahasa Inggris. Dia bilang kalau sekarang kami ada di Desa Sin Chai. Yang arahnya berlawanan dengan desa yang kami tuju. Kami makan siang di samping jendela dengan pemandangan keren. Gunung-gunung hijau dan beberapa rumah dari kayu. Berasa di desa banget. Habis makan, kami beli snack lokal. Ada yang rasanya kaya enting-enting, ada yang kaya egg rool. Kami bawa makanan tadi ke atas bukit dan piknik di sana. Nggak pa-pa nyasar. Yang penting kami dapat tempat nyenengin dan engga banyak turis. Tadinya, kami mau lanjutin jalan terus ke air terjun yang kami datangi hari sebelumnya. Lalu nanti naik ojek dari sana. Tapi bapak yang kami temui bilang kalau jalannya rusak dan bercabang. Kami bisa tersasar. Akhirnya kami mutusin kembali ke Sapa.

Pas perjalanan pulang, pemandangannya berubah. Puncak Fansipan kelihatan dan langit biru di belakangnya. Kami ketemu kerbau-kerbau dan anak kecil yang jadi penggembalanya. Pengen nyoba naik kerbau. Sayang kotor banget dan persediaan baju bersih saya dah hampir habis. Saya mulai tepar pas jalan pulang. Waktu dekat Sapa, saya ngajak Emily berhenti bentar di sebuah galeri lukisan untuk beli es krim. Saya, yang biasanya kalo belanja di warung engga pakai nawar, setelah kemarin diajarin Paul dan M, iseng aja nyoba. Kami dapet dua es krim dengan harga 10.000 dong ( Rp 5 ribu). Murah banget. Mana makannya tempat yang pemandangannya keren. Galeri tadi bentuknya rumah panggung dari kayu. Restorannya menghadap ke arah lembah yang di bawahnya sawah-sawah. Pengen deh punya rumah kaya gitu.
Saya dan Emily ngobrol tentang etnis minoritas yang kami temui. Lumayan banyak turis yang terganggu dengan cara mereka nawarin dagangan. Kalau, sekali, dua kali dikerubuti dan ditanya dengan pertanyaan yang itu-itu aja sih mungkin engga masalah. Tapi dalam sekali jalan, turis-turis tadi dikeributi sampai belasan kali oleh puluhan orang yang berbeda. Bagi kami, yang bukan orang Vietnam, suara mereka mirip satu sama lain dan seperti lengkingan. Banyak turis yang kemudian ngejawab dengan kasar.
Malamnya, saya, Emily, dan Lee, teman sehotel dari Belanda makan malam di restoran asyik yang saya lupa namanya. Di Sapa, banyak banget restoran dengan menu Eropa. Harganya sebenarnya lumayan mahal buat tukang jalan-jalan yang pengen irit kaya kami. Tapi nggak pa-pa lah sekali-kali. Habis makan, Lee pulang. Saya dan Emily lanjutin liat-liat kota kalau malam. Kami jalan kaki ngelewatin pasar yang masih buka sampai malam. Lanjut ke pusat kota dan lewat Gereja Sapa. Banyak banget orang di sana. Gereja tadi kelihatan cantik karena dihiasi lampu warna-warni. Dinding gereja penuh jendela besar dengan lukisan kaca. Kami mutusin untuk balik lagi ke gereja besok pagi. Pengen lihat lukisan dan dalamnya kalau siang hari.
Kami trus jalan ke arah Danau Sapa. Kota ini mirip kaya kota di Eropa. Rumah-rumahnya berjajar rapi. Trus nggak tau ada acara apa, di pohon-pohon pinggir jalan banyak lampu warna-warni. Kami ketemu banyak penduduk lokal yang bukan suku minoritas. Padahal kalo siang, jalanan tadi penuh dengan turis yang diikuti penduduk dengan baju tradisional yang nawarin dagangan. Ada banyak orang jalan kaki berombongan dengan teman atau bareng keluarga. Saya dan Emily sampai heran, wajah-wajah mereka kelihatan bahagia. Baru saja merayakan sesuatu atau mereka memang selalu bahagia? Pas perjalanan pulang, kami lihat beberapa perempuan muda yang tadi siang kami temui pakai baju tradisional dan jadi guide nongkrong di cafe dengan baju seperti layaknya anak muda jaman sekarang. Saya penaasaran pengen tahu kenapa. Sayang, saya cuma sebentar di sini. Ada banyak hal yang masih ingin saya tahu.
Labels:
air terjun
,
gunung
,
Masyarakat Adat
,
Sapa
,
Sawah
,
trekking
,
Vietnam
Senin, 01 Juli 2013
Lost in Translation at Sapa, Vietnam
Di sepanjang perjalanan di Vietnam, saya sering sekali mendapat jawaban “No” dengan nada tinggi. Banyak pula yang langsung menghindar jika saya mencoba bertanya. Apakah mungkin karena Vietnam lama mengalami perang sehingga mereka tidak “ramah” terhadap orang asing? Ataukah karena saya tidak bisa mengerti bahasa mereka sehingga kami tidak saling bicara? Entahlah. Saya baru sekadar singgah di sini jadi tidak bisa mengambil kesimpulan.
Saat kereta berhenti, seorang sopir travel menawarkan mengantar ke Sapa dengan ongkos 100.000 dong (sekitar 50 ribu rupiah). Awalnya, saya nyaris mengiyakan. Kemudian muncul sopir lain yang menawarkan ongkos 50.000 dong. Sopir pertama menyikut sopir kedua. Dia bilang, sopir kedua tadi menyebut angka 50 USD. Malas ditipu, saya memilih berjalan keluar dan mencari turis lain. Saya benar-benar nggak punya ide nanti mau menginap di mana atau ngapain. Dua orang sopir masih mengikuti saya sambil berkata tidak mungkin saya mendapat tawaran lain yang lebih murah.
Turis pertama yang saya temui tiga orang dari Amerika. Saya bilang saya nggak ada tujuan dan males diikutin sama sopir-sopir ini. Tanggapan mereka sangat engga ramah. Mereka pikir, saya penipu yang mau minta uang (kami ketemu lagi di kota dan mereka minta maaf waktu tahu saya beneran turis). Akhirnya saya asal aja naik satu travel yang ongkosnya 50.000 dong.
Di dalam minibus tadi saya kenalan dengan dua orang turis dari Perancis, namanya Paul dan M. Tahun lalu mereka ke Indonesia dan sempat mampir ke Jogja. Kita jadi cepat jadi teman gara-gara jalan ke Sapa tu berkelok-kelok. Turis-turis lain yang se bus sama kita mulai pada mutah. Kita yang mulai pusing berusaha mengalihkan perhatian. Mulai dari teriak-teriak kalau di luar ada sapi dan pemandangan keren sampai cerita nggak jelas. Saya cerita tentang pengalaman teman dapat tawaran “happy ending” itu kode buat pijat plus-plus di Hanoi. Ternyata, mereka berdua juga punya kisah sejenis. Berhubung mereka “gila” dan menyenangkan, kami langsung temenan dan memutuskan untuk jalan bareng. Itu asyiknya jalan sendirian, pasti ada orang baru yang bisa diajak temenan.
Di bus yang sama ada cewek Inggris lain yang jalan sendirian. Namanya Emily. Saya nawarin untuk share room, dan dia nggak keberatan. Horee... ngirit... Saya dan Emily turun di penginapan Green Valley. Di seberang jalan, ada lembah dan sawah-sawah hijau. Keren. Kalau pagi, biasanya saya nongkrong di bar sambil ngeliatin bukit yang masih berkabut dari jendela. Dan, selama dua hari, saya cuma habis sekitar 250.000 dong (sekitar 125 ribu rupiah). Itu termasuk dua kali sarapan. Murah banget kan?
Habis sarapan, kami ke pusat informasi Sapa buat tanya-tanya dan nyari peta. Berhubung Sapa ada di ketinggian 1600 dpl, jam sembilan pagi di sana masih dingin. Paul dan M nunjukin beberapa rute. Akhirnya, kami milih untuk nyewa motor trus keliling. Sehari, ongkosnya 80.000 dong (Rp 40 ribu). Rute pertama yang kita datangi tempat namanya Ta Phin. Seneng deh rasanya keliling di tempat dengan udara segar setelah belasan hari kena asap dan semrawutnya Hanoi. Saking senengnya, kami sampai nyanyi-nyanyi. Saya naik motor ngeboncengin Emily. Ini pertama kalinya dia naik motor. Awalnya dia sempat takut karena saya nggak terbiasa naik motor di sebelah kanan. Saya berkali-kali hampir tabrakan sama orang yang jalan dari arah berlawanan.
Pemandangan di kiri dan kanan jalan itu sawah-sawah hijau. Pas mau ke desa Ta phin, kami lewat jalan yang berbatu-batu. Jalannya licin banget karena habis hujan. Dan, motor yang saya naiki terpeleset. Kaki saya berdarah, celana panjang saya sobek. Setelah ngebersihin luka saya, Paul ngajak nyari jalan lain yang lebih manusiawi.
Kami berhenti sebentar di Biara Ta phin yang dibangun tahun 1942. Bangunannya sekarang tinggal kerangka karena sempat ada kerusuhan dan dibakar tahun 1945. Tapi saya bisa ngebayangin kalau dulu tempat ini pasti keren. Nggak lama kemudian kami sampai di pintu masuk kawasan Ta Phin. Masing-masing orang harus bayar 20.000 dong. Begitu masuk, kami langsung dikerubuti sama penduduk lokal dengan baju tradisionalnya. Mereka pakai baju dari kain tenun warna biru gelap mendekati hitam. Perempuan-perempuan tadi pakai ikat kepala merah. Jari, tangan, dan leher mereka penuh dengan perhiasan warna putih. Perakkah?
Saya agak kesulitan moto mereka karena mereka sibuk bertanya: Dari mana? Sudah berapa lama di Sapa? Namamu siapa? Punya berapa saudara? Awalnya, saya menanggapi pertanyaan ini dengan senang hati. Tapi lama-kelamaan saya capai juga menjawab pertanyaan yang sama. Beberapa penduduk yang ngelihat kaki saya nawarin obat mereka. Saya nggak ngerti itu apa karena tertulis pake Bahasa Vietnam. Kayaknya sih semacam balsam. Paul bilang lebih baik nggak usah dipakai. Gimana kalo itu ternyata obat luar? Kalo cacatkan parah.
Kami jalan-jalan diikuti belasan penduduk lokal yang berusaha nawarin barang dagangannya. Mirip kaya rombongan karnaval. Kami kemudian sampai di sebuah gua. Waktu yang lain masuk ke gua, saya milih duduk-duduk di luar sambil ngamati penduduk lokal yang menyulam kain. Saya lagi nggak tertarik nyusur gua. Toh di Indonesia banyak gua lain yang lebih cantik. Sebenarnya saya pengen ngobrol dengan penduduk lokal, sayangnya, Bahasa Inggris mereka terbatas banget.
Kami mutusin untuk nyari buah buat mengganjal perut sebelum makan siang. Paul dan M ternyata jagoan nawar. Mereka ngajarin saya dan Emily berhitung dalam bahasa Vietnam. Kebayang nggak, satu pisang ambon ukuran besar harganya cuma 1000 dong (500 rupiah). Kami beli gelang anyaman tali dengan harga 1000 dong sebijinya. Saya yang nggak tega ngasih uang lebih. Penduduk lokal yang kami beli sampai geleng-geleng. Mereka menawar apapun. Banyak barang yang saya beli bareng mereka di sana jauh lebih murah daripada di Hanoi. Padahal kan logikanya barang di kota besar lebih murah.
Kami kemudian jalan kaki ke desa lain. Sebentar-sebentar kami berhenti buat moto-moto. Meskipun udaranya sejuk, matahari panasnya nyengat banget. Sepanjang perjalanan, Paul paling iseng. Ada babi, anjing, atau ayam pasti dikejar-kejar. Ada satu ayam yang loncat ke jurang karena dia ganggu. Waktu kami komentari kalo dia bunuh ayam, Paul ngejawab dengan enteng kalau ayam tadi berniat buat bunuh diri kok.
Kami balik ke kota untuk makan siang di restoran asyik namanya Viet Emotion. Kami dapet diskon karena kenalan Paul kenal sama yang punya. Horee.. Rata-rata makan dan minum sekitar 120.000 dong. Nggak pa-pa lah, lagi liburan juga.
Kami trus jalan-jalan lagi ke air terjun ... Air terjunnya tinggi banget. Sepertinya lebih dari 30 meter. Dari jauh air terjunnya dah kelihatan. Sayang, kami nggak nemu spot bagus buat moto air terjunnya secara utuh. Buat masuk ke tempat ini per orang bayar 20.000 dong. Saya baru ngeh kemudian, di Sapa, masing-masing tempat mungut karcis masuk. Nyebelin, kenapa nggak dibuat karcis terusan ya? Kami batal ke gardu pandang karena disuruh bayar lagi. Ngapain juga harus bayar kalo jalan-jalan di sebelahnya yang gratisan juga punya pemandangan keren. Pas ngeliatin puncak Fansipan ( 3143 m dpl, gunung tertinggi di Indocina) Paul, M, dan Emily tiba-tiba nyanyiin I believe I can Fly nya R Kelly.
Kami misah dan janjian ketemu pas makan malam di kota. Saya dan Emily muter-muter dulu sambil moto-moto. Balik ke kota, saya dan Emily lupa rental motor mana yang kami pinjam. Sempat tanya berkali-kali sebelum ketemu pemilik motornya. Tu Bapak nuntut supaya kami ganti kerusakan. Kami trus pergi ke bengkel motor. Si pemilik motor tadi dengan nyebelinnya minta kami service motornya secara keseluruhan. Kami sempat debat karena ada banyak baret dan kerusakan lama yang dia timpakan ke kami. Enak aja! Males berdebat, akhirnya saya dan Emily ninggalin 30 dolar.
Malem harinya, saya dan Emily ketawa-ketawa waktu ngitung duit. Makanan yang mahal (yes di sini banyak restoran keren tapi engga ramah kantong) dan denda tadi cukup menguras duit kami. Sebelum tidur, kami sempat mainan kelambu. Tempat tidur kami dikelilingi kelambu putih berenda-renda. Berasa kaya putri raja deh.
Tulisan ini masih bersambung lo. Hari berikutnya, saya dan Emily trekking dan nyasar gara-gara orang yang kami tanya jalan pada engga bisa Bahasa Inggris. Trus, demi datang ke nikahan sepupu, saya harus menempuh 38 jam perjalanan naik bus, kereta, jalan kaki, taksi, dan ganti pesawat tiga kali. Ketemu orang-orang aneh lagi di jalan.
Labels:
air terjun
,
penginapan murah
,
restoran
,
Sapa
,
Sawah
,
Vietnam
,
wisata
Rabu, 05 Juni 2013
Pembuat Sagu di Maluku
Setelah kemarin jalan-jalan di Desa Sawai dan snorkling, rute saya hari ke Salawai. Rencananya mau ke sungai untuk lihat cara pembuatan sagu. Saya diantar sama tukang ojek ke pinggir sungai. Dari desa sawai, letaknya mungkin nggak ada sepuluh kilo. Tapi perjalanan ke sana lumayan lama karena jalannya jelek banget. Sebelum sampai ke Jalan Lintas Seram, kami harus ngelewati jalan yang sudah engga jelas lagi bentuknya. Naik turun, berkelok-kelok, dengan bonus banyak lubang dan berpasir di beberapa tempat. Kayaknya cuma pengendara motor ahli yang bisa lewat tanpa jatuh.
Keluar dari permukiman rasanya kaya masuk hutan. Kiri dan kanan jalan penuh dengan pohon-pohon hijau. Sampai di Jalan Lintas Seram, jalannya berubah jadi aspal halus dan lebar. Di kejauhan kelihatan gunung dan sesekali ada gerombolan pohon sagu. Anggrek tanah warna ungu atau putih beterbaran di mana-mana.
Kami berhenti di pinggir jembatan. Di tepi sungai ada empat kelompok pembuat sagu. Saya turun ke salah satu pembuat sagu yang sedang bekerja. Jalan ke sana agak susah. Ampas tebu yang dibuang di mana-mana becek kena hujan tadi malam. Sandal saya sampai terbenam berkali-kali. Akhirnya saya memutuskan untuk bertelanjang kaki.
Pembuat sagu yang saya datangi ternyata pasangan suami istri dari Jawa. Namanya Parno dan Saripah. Mereka berasal dari Nganjuk. Sejak satu setengah tahun lalu, mereka tinggal di Kilo 5, perkampungan transmigran yang nggak jauh dari sungai. Ceritanya, mereka ikut program transmigrasi. Sampai sekarang, mereka belum dapat jatah lahan untuk dikelola karena tanah yang dijanjikan untuk mereka masih bersengketa dengan penduduk lokal. Dulu, waktu tahun pertama jadi transmigran, mereka masih dapat jatah dari pemerintah berupa sembako. Setelah satu tahun, tunjangan tadi dihentikan dan mereka harus bekerja serabutan untuk biaya hidup sehari-hari.
Sampai suatu hari Pak Parno pergi ke hutan untuk nyari durian buat dijual. Dia tersesat dan ditolong pembuat sagu. Penolongnya tadi nawari kerjaan ke Pak Parno. Dia diupah 50.000 per hari untuk bantuin bikin sagu. Lama-lama Pak Parno tertarik untuk bikin sagu sendiri. Dia minjem alat gilingan untuk bikin sagu. Setiap sepuluh tumang (cetakan berbentuk tabung yang dibuat dari daun sagu)yang dibuat, dia ngasih satu tumang ke pemilik alatnya.
Cara membuat sagu sebenarnya tidak rumit. Cuma butuh hati-hati karena menebang pohon sagu itu butuh hati-hati. Durinya lebih besar dari duri salak. Pertama, pohon sagu ditebang. Batangnya dibersihkan dan diambil bagian warna putihnya. Batang tadi dibelah-belah hingga berbentuk balok. Balok kemudian diparut hingga jadi serpihan.
Saya baru tahu kenapa para pembuat sagu selalu memilih lokasi dekat sungai. Untuk memeras serpihan sagu ini, mereka butuh banyak air. Bu Saripah berkali-kali menuang air sungai ke serpihan sagu. Ia kemudian meremas-remas sagu itu dan mengalirkan sarinya ke penampungan dari plastik. Setelah pati sagu mengendap di penampungan, airnya kemudian dibuang. Pati tadi yang dimasukkan ke tumang yang dibuat oleh suaminya. Caranya, daun sagu dipotong-potong sampai ukurannya sama dan dijalin hingga berbentuk tabung. Pati sagu biasanya didiamkan hingga tiga hari supaya mengeras. Waktu ngelihat sagu yang warnanya putih bersih, saya sempat heran. Airnya kan diambil dari sungai yang hijau karena lumut. Tapi kok sagunya bisa bersih begitu?
Dalam sehari, biasanya suami-istri ini membuat lima tumang sagu. Per tumangnya dihargai antara 30.000 sampai 35.000. Mereka kerja dari jam 7 sampai 12 siang. Nggak kaya pembuat sagu lain yang kadang sampai nginep segala buat bikin sagu. Pak Parno dan istrinya harus mengurus pekarangan di rumah.
Waktu ngelihat pembuat sagu ini, saya ngerasa agak miris. Pohon sagu itu melimpah ruah di seluruh Maluku. Ke mana-mana saya selalu melihat gerombohan pohon sagu. Dia engga perlu ditanam karena bisa tumbuh sendiri. Beda dengan beras yang butuh ditanam dan perlakuan khusus. Trus, saya sampai hari terakhir di Maluku sama sekarang belum pernah lihat sawah. Tapi, orang-orang mulai ninggalin makan sagu. Di desa-desa Pulau Seram, sebagian besar orang masih makan sagu. Tapi di daerah kota, orang-orang lebih milih makan beras. Padahal, sagu lebih sehat karena kandungan gulanya lebih rendah kalau dibanding beras.
Setelah tahu cara bikin sagu, saya balik ke penginapan. Berhubung di pinggir jalan saya lihat Papan Pusat Rehabilitasi Satwa, saya mampir bentar. Untuk keliling lokasi tadi, saya harus makai masker. Di dalamnya ada banyak kandang berisi binatang hasil sitaan. Hewan tadi nunggu dilepas liarkan. Tempat itu yang dibangun tahun 2003 itu kebanyakan berisi macam-macam burung endemik Indonesia Timur. Ada Nuri Seram, Kakaktua Seram, Nuri Papua, Nuri Ternate, Kasuari, dan Burung Mambruk.
Saya berkeliling ditemani oleh Pieter, yang dulunya pemburu liat. Kata Pieter, sekitar tahun 93, satu burung nuri dihargai sekitar sepuluh ribu sampai dua belas ribu rupiah. Kakaktua bahkan harganya bisa sampai 150.000. Gimana nggak tergiur, buat perbandinga waktu itu satu tumang sagu harganya masih 250 rupiah. Pieter ini generasi ketiga penangkap burung. Ayah dan Kakeknya juga pemburu liar. Jaman dulu, banyak penduduk di sekitar Sawai yang jadi penangkap burung. Sebelum tahun 2000, kebun penduduk lokal hanya menghasilkan sayur dan buah untuk dimakan sendiri. Waktu itu belum ada komoditas seperti coklat dan hasil kebun lain. Burung, adalah benda yang paling mudah dijual. Untuk makan sehari-hari, mereka bisa ngambil dari hutan, tapi biaya sekolah dan belanja saat ada hajatan butuh duit. Dalam seminggu, tiap pemburu bisa mendapat sepuluh ekor burung. Karena terlalu banyak ditangkap, lama-kelamaan, burung-burung di sana habis.
Mulailah Yayasan Wallacea membuka tempat tersebut. Sekarang pendanaannya dibantu oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam. Berhubung anggaran yang ada terlalu kecil, burung-burung yang ada di sana menumpuk. Sering nggak ada dana untuk melepas mereka ke habitat asalnya.
Pulang ke penginapan, saya tidur siang sebentar. Sorenya, setelah cuaca tidak terlalu panas, saya jalan-jalan ke desa lagi. Saya main ke rumah seseorang yang sedang dibangun. Ada lebih dari lima orang sedang bergotong-royong membangun rumah. Penduduk menyebutnya dengan istilah masohi. Di Sawai, sebelum seseorang membangun rumah, dia datang ke rumah tetangganya untuk memberi tahu. Nanti tetangga-tetangganya membantu mendirikan rumah tanpa dibayar. Biasanya yang dikerjakan bagian-bagian yang besar seperti memasang tiang dan membuat pondasi. Sisanya, dikerjakan oleh tukang bayaran.
Waktu duduk-duduk liat orang gotong-royong, saya disuguhi sagu lempeng. Bentuknya balok seukuran sabun. Keras kaya batu. Kalo buat nimpuk lumayan sakit. Saya mencoba sagu lempeng tadi dengan minum kopi. Nggak ada rasanya. Kalau orang Jawa nyebut “sepo”. Penduduk lokal hampir tiap hari makan sagu tadi untuk makanan pokoknya. Menunya dengan makanan yang berkuah. Sagunya dicelup dulu supaya tidak terlalu keras.
Saya ngobrol-ngobrol tentang pekerjaan penduduk. Sebagian besar penduduk Sawai mencari ikan di laut. Jam melautnya tergantung cuaca. Ikan hasil tangkapan utamanya dikonsumsi sendiri. Kalau ada kelebihan baru dijual. Mereka ngejual ikan ke pengepul lokal. Ikan dari berbagai jenis dihargai 8.000 rupiah per kilo. Kalau kerapu, bisa sampai 35.000 sekilonya. Jaman dulu, masih banyak orang nangkap ikan pakai bom. Sekali naruh bom, seorang nelayan bisa dapat satu perahu penuh ikan. Kadang, saking banyaknya ikan matinya dibiarkan di laut karena perahunya dah engga muat lagi. Hasil sekali ngebom tu bisa sampai 3 jutaan. Lama ke lamaan, karena ikannya mulai habis dan ada polisi, nelayan berhenti masang bom.
Selasa, 04 Juni 2013
Pagi Pertama di Sawai, Pulau Seram (Tulisan 3)
Badan saya masih pegal karena capek kemarin seharian di jalan. Tapi saya nggak sabar buat jalan-jalan keliling desa. Mumpung langitnya biru sekali. Penginapan Pak Ali yang saya tinggali ini bangunannya terbuat dari kayu. Bentuknya rumah panggung di atas laut. Saya tinggal keluar kamar kalau ingin lihat terumbu karang. Tiap pagi, airnya jernih seperti kaca hijau terang. Keren pokoknya!
Habis sarapan, saya jalan ke desa. Tujuan pertama saya untuk lihat mata air. Orang-orang yang saya temui kemarin cerita kalau di tengah desa ada mata air tawar yang jernih. Katanya, kalau udara lagi panas, airnya tambah dingin.
Sampai di mata air tadi, saya agak kecewa. Tadinya, saya membayangkan mata air cantik dikelilingi bebatuan (komik banget ya?). Ternyata, tempat tadi nggak jauh dari tempat pemandian umum dari semen! Saya nggak sempat ambil foto karena nggak enak sama orang-orang yang mandi sambil mencuci di sana.
Sebagian besar penduduk Sawai bermata pencaharian nelayan. Nggak heran kalau kita datang ke desa bakal disuguhi pemandangan jemuran ikan asin di atap rumah atau di jalanan. Kalo keliling pagi-pagi, pasti ketemu ibu-ibu sedang mencuci ikan. Desa ini padat. Rumah penduduknya saling berdempetan. Sebagian rumah penduduk dibangun di atas air. Kebanyakan rumah jenis ini bangunannya dari papan dan pakai atap dari daun sagu kering. Rumah yang ada di darat biasanya dibangun pakai tembok. Kayaknya hampir semua rumah punya perahu kayu. Masyarakat menyebutnya pok-pok. Ada yang kecil dan didayung, ada juga yang besar dan pakai mesin.
Saya jalan kaki ke arah lapangan. Ada banyak orang di sana. Mereka lagi nonton anak-anak sekolah latihan senam buat lomba. Senam di sini diiringi musik ceria gitu. Gerakannya mirip kaya tari poco-poco. Sepanjang perjalanan, saya lihat banyak perempuan dewasa makai masker wajah putih-putih. Itu semacam bedak dingin dari tumbukan beras. Fungsinya mirip kaya sunblock campur pelembab.
Saya melanjutkan perjalanan ke sekolah yang ada di atas bukit buat ngambil folo lanskap desa. Di sana saya main-main sama anak-anak sekolah. Saya baru pergi saat nyadar Bu Guru dah nunggu di depan pintu. Seharusnya mereka masuk kelas dari tadi. :P Saya balik ke desa untuk liat-liat. Berhubung desa ini kecil, saya ketemu bapak yang saya tebengi kemarin dan tukang ikan yang saya temui di Masohi. Tadinya sih saya ingin ngobrol banyak sama penduduk, sayang cuacanya panas banget. Flu berat bikin saya nggak nyaman berjemur di luar ruangan. Akhirnya, saya balik ke penginapan.
Di tempat Pak Ali, saya ketemu beberapa tamu dari Jakarta. Mereka lagi ada kerjaan di Maluku dan mau mampir bentar buat snorkling di Tebing Batu Sawai yang terkenal itu. Saya yang tadinya capai dan mau tidur siang langsung pengen ikut. Horee... dapet tebengan lagi. FYI: Kalo mo snorkling orang harus sewa long boat di Pak Ali dengan ongkos 500.000 per hari. Tuhan baik banget deh, tahu saya lagi nggak punya uang tapi pengen jalan-jalan.
Habis makan siang pakai nasi kelapa, asinan, dan ikan kuah kuning, kami berangkat ke pantai. Dan, bumi kayaknya lagi baik hati. Langitnya ceraaahhh... banget. Sebelum sampai ke tujuan, kami bisa lihat terumbu karang dari kapal. Di dekat tebing batu, saya engga bisa lama-lama snorking. Flu berat bikin nggak nyaman banget ngegigit snorkel dan bernapas pake mulut. Saya ngerasa aneh waktu melihat terumbu karang di sana. Kondisinya masih bagus. Kalau dibandingkan tempat lain yang pernah saya datangi, itungannya rapat banget. Tapi ikannya dikit. Dan engga terlalu warna-warni.
Akhirnya saya milih untuk duduk di pinggir pantai. Asyik banget, selain kami, nggak ada orang lain. Kaya pantai milik pribadi deh. Saya akhirnya bikin bola-bola dari pasir pantai yang putih bersih dan sesekali ada butiran warna merahnya. Capai main air, kami makan kelapa muda. Nggak tau tu nemu dari mana.
Waktu pulang, kami ketemu sama anak-anak kecil yang ngedayung perahu di laut. Mereka dengan cueknya pergi lumayan jauh dari desa. Umur mereka mungkin baru tiga tahunan. Benar-benar anak pantai deh.
Balik dari pantai, saya langsung mandi. Habis itu, saya minta diantar ke atas bukit yang ada benderanya. Pengen lihat keseluruhan desa dari atas. Tadinya sih, saya pengen pergi sendirian, tapi orang-orang pada bilang kalo bakal nyasar. Akhirnya saya diantar sama Noyan.
Bukit bendera itu sebenarnya batu kars besar. Permukaannya tajam dan nyakitin kaki. Beberapa bagian kemiringannya sampai 70 derajat. Dan, sepertinya saya bisa ilang kalo ngotot pergi sendirian. Jalan setapak yang dimaksud sebagian dah mulai hilang ketutup tumbuhan saking jarangnya dilewati. Noyan sampai bawa golok dan berkali-kali harus motong batang pohon buat bikin jalan. Itu dah beneran hutan deh.
Sesekali saya ngelihat pohon durian raksasa. Tingginya sampai puluhan meter dan lebarnya ada yang lebih dari satu meter. Katanya, kalau pas lagi berbuah bisa sampai ribuan biji. Penduduk Sawai selain dari laut hidup dari menjual hasil hutan. Ada coklat, kopi, cengkeh, dan pala. Generasi sekarang engga nanam tumbuhan ini. Rata-rata tumbuhan tadi ditanam sama kakek dan neneknya. Berhubung nggak pernah ngerasa nanam, pohon-pohon ini dibiarkan tanpa perawatan.
Kami jalan kaki hampir satu jam. Itu lumayan cepet lo. Yang lain biasanya butuh waktu dua sampai tiga jaman. Sesekali kami ketemu burung nuri warna merah. Sampai di puncak dengan tangan dan kaki kebaret-baret bambu, saya agak manyun. Langitnya kelabu. Nggak terlalu bagus buat difoto.
Desa Sawai itu penduduknya sekitar 2000 orang. Tempat saya jalan tadi pagi itu perkampungan utamanya. Dari atas, bentuknya kelihatan seperti kotak-kotak bergerombol di sebuah cekungan. Di seberang laut dan balik bukit masih ada empat kampung lain. Masing-masing kampung terbagi atas blok agama. Kampung Kristen penduduknya Kristen semua, begitu juga yang Islam. Dari cerita yang saya dengar, awalnya penduduk Sawai awalnya tinggal di darat. Karena tanahnya sempit, lama-kelamaan mereka membangun rumah di atas air. Dempet-dempetan itu karena puluhan tahu lalu ada suku-suku di Manusela yang memotong kepala. Tiap kali mereka ganti atap rumah atau seorang laki-laki beranjak dewasa, mereka harus memotong kepala orang. Penduduk sengaja bikin rumah dekat supaya aman.
Kami nggak terlalu lama di atas. Karena sepertinya bakal hujan. Pas jalan pulang, kami nemu buah warnanya oranye terang. Bentuknya oval dan lebih keras dari kesemek. Namanya labi-labi. Saya yang penasaran sama rasanya langsung main gigit. Huek. Rasanya asam ternyata. Mirip kaya kedondong.
Bersambung...
Jalan-jalan di Maluku
Perjalanan ke Pulau Seram
Habis sarapan, saya jalan ke desa. Tujuan pertama saya untuk lihat mata air. Orang-orang yang saya temui kemarin cerita kalau di tengah desa ada mata air tawar yang jernih. Katanya, kalau udara lagi panas, airnya tambah dingin.
Sampai di mata air tadi, saya agak kecewa. Tadinya, saya membayangkan mata air cantik dikelilingi bebatuan (komik banget ya?). Ternyata, tempat tadi nggak jauh dari tempat pemandian umum dari semen! Saya nggak sempat ambil foto karena nggak enak sama orang-orang yang mandi sambil mencuci di sana.
Sebagian besar penduduk Sawai bermata pencaharian nelayan. Nggak heran kalau kita datang ke desa bakal disuguhi pemandangan jemuran ikan asin di atap rumah atau di jalanan. Kalo keliling pagi-pagi, pasti ketemu ibu-ibu sedang mencuci ikan. Desa ini padat. Rumah penduduknya saling berdempetan. Sebagian rumah penduduk dibangun di atas air. Kebanyakan rumah jenis ini bangunannya dari papan dan pakai atap dari daun sagu kering. Rumah yang ada di darat biasanya dibangun pakai tembok. Kayaknya hampir semua rumah punya perahu kayu. Masyarakat menyebutnya pok-pok. Ada yang kecil dan didayung, ada juga yang besar dan pakai mesin.
Saya jalan kaki ke arah lapangan. Ada banyak orang di sana. Mereka lagi nonton anak-anak sekolah latihan senam buat lomba. Senam di sini diiringi musik ceria gitu. Gerakannya mirip kaya tari poco-poco. Sepanjang perjalanan, saya lihat banyak perempuan dewasa makai masker wajah putih-putih. Itu semacam bedak dingin dari tumbukan beras. Fungsinya mirip kaya sunblock campur pelembab.
Saya melanjutkan perjalanan ke sekolah yang ada di atas bukit buat ngambil folo lanskap desa. Di sana saya main-main sama anak-anak sekolah. Saya baru pergi saat nyadar Bu Guru dah nunggu di depan pintu. Seharusnya mereka masuk kelas dari tadi. :P Saya balik ke desa untuk liat-liat. Berhubung desa ini kecil, saya ketemu bapak yang saya tebengi kemarin dan tukang ikan yang saya temui di Masohi. Tadinya sih saya ingin ngobrol banyak sama penduduk, sayang cuacanya panas banget. Flu berat bikin saya nggak nyaman berjemur di luar ruangan. Akhirnya, saya balik ke penginapan.
Di tempat Pak Ali, saya ketemu beberapa tamu dari Jakarta. Mereka lagi ada kerjaan di Maluku dan mau mampir bentar buat snorkling di Tebing Batu Sawai yang terkenal itu. Saya yang tadinya capai dan mau tidur siang langsung pengen ikut. Horee... dapet tebengan lagi. FYI: Kalo mo snorkling orang harus sewa long boat di Pak Ali dengan ongkos 500.000 per hari. Tuhan baik banget deh, tahu saya lagi nggak punya uang tapi pengen jalan-jalan.
Habis makan siang pakai nasi kelapa, asinan, dan ikan kuah kuning, kami berangkat ke pantai. Dan, bumi kayaknya lagi baik hati. Langitnya ceraaahhh... banget. Sebelum sampai ke tujuan, kami bisa lihat terumbu karang dari kapal. Di dekat tebing batu, saya engga bisa lama-lama snorking. Flu berat bikin nggak nyaman banget ngegigit snorkel dan bernapas pake mulut. Saya ngerasa aneh waktu melihat terumbu karang di sana. Kondisinya masih bagus. Kalau dibandingkan tempat lain yang pernah saya datangi, itungannya rapat banget. Tapi ikannya dikit. Dan engga terlalu warna-warni.
Akhirnya saya milih untuk duduk di pinggir pantai. Asyik banget, selain kami, nggak ada orang lain. Kaya pantai milik pribadi deh. Saya akhirnya bikin bola-bola dari pasir pantai yang putih bersih dan sesekali ada butiran warna merahnya. Capai main air, kami makan kelapa muda. Nggak tau tu nemu dari mana.
Waktu pulang, kami ketemu sama anak-anak kecil yang ngedayung perahu di laut. Mereka dengan cueknya pergi lumayan jauh dari desa. Umur mereka mungkin baru tiga tahunan. Benar-benar anak pantai deh.
Balik dari pantai, saya langsung mandi. Habis itu, saya minta diantar ke atas bukit yang ada benderanya. Pengen lihat keseluruhan desa dari atas. Tadinya sih, saya pengen pergi sendirian, tapi orang-orang pada bilang kalo bakal nyasar. Akhirnya saya diantar sama Noyan.
Bukit bendera itu sebenarnya batu kars besar. Permukaannya tajam dan nyakitin kaki. Beberapa bagian kemiringannya sampai 70 derajat. Dan, sepertinya saya bisa ilang kalo ngotot pergi sendirian. Jalan setapak yang dimaksud sebagian dah mulai hilang ketutup tumbuhan saking jarangnya dilewati. Noyan sampai bawa golok dan berkali-kali harus motong batang pohon buat bikin jalan. Itu dah beneran hutan deh.
Sesekali saya ngelihat pohon durian raksasa. Tingginya sampai puluhan meter dan lebarnya ada yang lebih dari satu meter. Katanya, kalau pas lagi berbuah bisa sampai ribuan biji. Penduduk Sawai selain dari laut hidup dari menjual hasil hutan. Ada coklat, kopi, cengkeh, dan pala. Generasi sekarang engga nanam tumbuhan ini. Rata-rata tumbuhan tadi ditanam sama kakek dan neneknya. Berhubung nggak pernah ngerasa nanam, pohon-pohon ini dibiarkan tanpa perawatan.
Kami jalan kaki hampir satu jam. Itu lumayan cepet lo. Yang lain biasanya butuh waktu dua sampai tiga jaman. Sesekali kami ketemu burung nuri warna merah. Sampai di puncak dengan tangan dan kaki kebaret-baret bambu, saya agak manyun. Langitnya kelabu. Nggak terlalu bagus buat difoto.
Desa Sawai itu penduduknya sekitar 2000 orang. Tempat saya jalan tadi pagi itu perkampungan utamanya. Dari atas, bentuknya kelihatan seperti kotak-kotak bergerombol di sebuah cekungan. Di seberang laut dan balik bukit masih ada empat kampung lain. Masing-masing kampung terbagi atas blok agama. Kampung Kristen penduduknya Kristen semua, begitu juga yang Islam. Dari cerita yang saya dengar, awalnya penduduk Sawai awalnya tinggal di darat. Karena tanahnya sempit, lama-kelamaan mereka membangun rumah di atas air. Dempet-dempetan itu karena puluhan tahu lalu ada suku-suku di Manusela yang memotong kepala. Tiap kali mereka ganti atap rumah atau seorang laki-laki beranjak dewasa, mereka harus memotong kepala orang. Penduduk sengaja bikin rumah dekat supaya aman.
Kami nggak terlalu lama di atas. Karena sepertinya bakal hujan. Pas jalan pulang, kami nemu buah warnanya oranye terang. Bentuknya oval dan lebih keras dari kesemek. Namanya labi-labi. Saya yang penasaran sama rasanya langsung main gigit. Huek. Rasanya asam ternyata. Mirip kaya kedondong.
Bersambung...
Jalan-jalan di Maluku
Perjalanan ke Pulau Seram
Labels:
Desa Sawai
,
hutan
,
Maluku
,
pantai
,
penginapan
,
snorkling
Perjalanan ke Pulau Seram (Maluku 2)
Setelah dua hari keliling kota Ambon, saya memutuskan pergi
ke Sawai dan Taman nasional Manusela di Pulau Seram. Dari Ambon saya berangkat
jam 7 pagi. Nggak pakai mandi karena bangunnya kesiangan :D Al nganterin saya
sampai terminal. Habis itu saya naik angkot ke Tulehu. Perjalanannya mungkin
hampir satu jam dan ongkosnya 10.000.
Dermaga Tulehu ramai kaya pasar. Loket tempat beli tiketnya
sampai nggak kelihatan karena banyak orang desak-desakan di depannya. Nggak ada
antrian. Calon penumpang seenaknya aja nyerobot supaya dapet tiket duluan.
Akhirnya saya bisa juga tiket kapal cepat seharga Rp 95.000. Sambil nunggu
kapal berangkat, saya nyari-nyari tukang jual makanan. Laper, dan kue yang saya
beli kemarin nggak cukup buat ngisi perut. Sayangnya, semua cemilan yang dijual
kalo engga gorengan ya makanan ringan kaya MSG. Engga deh. Akhirnya, kapal
berangkat jam 9 lewat 20. Molor dari jadwalnya. Bangku-bangkunya hampir keisi
penuh dengan penumpang.
Kapal sampai sekitar dua jam kemudian. Dari dermaga, saya
naik angkot ke Terminal Masohi. Saya jalan kaki keluar untuk nyari angkot ke
Sawai. Lebih dari setengah jam duduk di pinggir jalan, saya nggak lihat satupun
angkot ke arah sana. Saya kemudian ketemu sama rombongan penjual ikan dari Sawai.
Mereka bilang, saya bisa nebeng mobil mereka. Horee... Tapi saya harus nunggu karena mereka masih
harus naikin beberapa titipan. Ceritanya, angkutan Sawai-Masohi tu jarang.
Kalau ada mobil dari Sawai ke kota, tetangga- tetangga pada nitip belanjaan.
Sambil menunggu, saya makan siang di warung. Menunya ikan
kuah kuning yang ukurannya jumbo. Saya cuma bisa makan separuhnya. Habis itu
saya ngobrol dengan beberapa penduduk lokal buat ngisi waktu. Kata mereka,
kemarin ada banyak mobil dari Sawai yang datang untuk ikut kampanye. Dan
sepertinya, hari ini bakal jarang ada kendaraan ke sana. Pada libur.
Beberapa orang yang saya temui pada heran ngeliat saya yang
pergi sendirian. Kaya anak ilang. Saya sampai berkali-kali bilang cuma pengen
main aja. Sama sekali nggak ada penelitian atau kerjaan. Setelah lebih dari satu jam, saya mulai mati
gaya dan capai. Badan juga mulai kerasa nggak karuan karena masih flu berat. Dan
dua tiga jam kemudian saya mulai bosan habis.
Sekitar jam tiga lebih akhirnya ada angkot juga ke Sawai.
Saya batal nebeng mobil ikan karena mereka masih nyari beberapa barang lagi. Saya
sampai ketiduran di angkot saking capeknya. Saya udah nggak peduli lagi sama
pemandangan hutan di luar. Angkotnya ternyata engga sampai Sawai. Dia berhenti
di Desa Soka dua jam kemudian. Penumpang angkot lain nawarin ngelanjutin perjalanan
bareng dia naik Long boat. Katanya, lebih cepat daripada pake jalan darat.
Saya ngasih uang seratus ribuan ke kernet angkot karena Al
kemarin nyebut angka tadi untuk ongkos ke Sawai. Ada seorang ibu heran dan
bilang sesuatu ke kernetnya. Saya engga ngerti apa yang diomongin karena ibunya
make bahasa lokal. Tapi sepertinya uang yang saya berikan terlalu banyak. Saya
baru tahu setelah sampai di Sawai, Soka itu setengah perjalanan ke sana. Dan
ongkos angkot Masohi-Soka cuma separuhnya.
Ada empat orang lain yang akan naik long boat, semacam
perahu kayu yang dikasih mesin. Sepertinya penumpang lain barusan belanja
bulanan. Saya sempat ngelihat pisang, termos nasi besar, dan kardus-kardus
berisi minyak, teh, sampai gula. Setelah mereka menutup barang-barang dengan terpal,
kami naik ke atas Long boat.
Long boatnya jalan pelan saat masih di sungai. Begitu mulai
masuk ke laut, perahunya ngebut. Saya harus nyembunyiin kamera supaya engga kena
cipratan air. Saya merapatkan jaket karena anginnya kencang dan mulai dingin.
Sore itu, ombaknya cukup tinggi. Long boatnya sampai goyang-goyang dan bikin saya
lumayan paranoid. Gimana kalo misalnya tiba-tiba kapalnya kebalik? Nggak ada
pelampung. Saya engga tahu itu jam berapa, tapi langit mulai gelap. Tadinya saya
pengen moto bukit-bukit kelabu di sebelah kanan, sayang terlalu gelap. Nggak
lama kemudian, kami lewat gunung. Dari kejauhan ada kaya tirai cahaya kelabu.
Keren tapi engga bisa kefoto. Beberapa
menit kemudian, kami kehujanan.
Waktu lewat di samping tebing batu, bapak yang ngajakin saya
naik long boat cerita kalo dulu Norman Edwin latihan panjat dinding di sana.
Dia bilang pake teriak-teriak karena suaranya kalah sama suara mesin dan suara
ombak. Mungkin kalo teman saya yang hobi ndaki gunung kaya Gugun dan Mas Ganes
engga cerita tentang Norman Edwin, saya bakal dengan lugunya berfikir orang itu
siapanya Norman Camaru ya?
Kami sampai Desa Sawai waktu langit sudah gelap. Saya lega
waktu akhirnya sampai di penginapan milik Pak Ali. Pengen cepat-cepat mandi dan
tidur. Baju saya basah kena ujan kecampur air laut.
Bersambung....
Pagi Pertama di Desa Sawai
Bersambung....
Pagi Pertama di Desa Sawai
Senin, 03 Juni 2013
Jalan-jalan di Maluku
Akhirnya setelah beberapa kali tertunda, saya sampai ke Maluku juga. Jalan-jalan kali ini beda dengan perjalanan sebelumnya karena saya engga beli tiket pulang sebelumnya. Ya, rencananya saya akan pulang kalau kehabisan duit atau bosan dengan Maluku. Tadinya, rencana saya ke sana masih dua bulan lagi. Nunggu kalau punya uang dalam angka aman. Estimasi saya, untuk jalan-jalan di Maluku lebih dari seminggu butuh anggaran 7 juta. Lalu, untuk amannya, biasanya saya bawa 10 juta. Karena waktu itu lagi nggak punya duit, saya cuek aja pergi dengan 5 juta termasuk tiket pesawat. Belum tentu dua bulan lagi saya punya waktu luang.
Berhubung saya males googling atau buka buku paduan perjalanan, saya sama sekali nggak punya bayangan nanti mau ke mana. Beberapa hari sebelumnya, Onya, teman yang tinggal di Ambon menelfon. Dia bilang kalau masih ada di Banda jadi engga bisa nemeni. Tapi dia bisa meminta temannya untuk menjemput di bandara. Berhubung saya nggak pengen terlalu banyak ngerepotin orang, saya bilang ada teman lain di Ambon.
Perjalanan dimulai dari Jogja naik travel ke Bandara Juanda dalam rangka pengiritan. Saya berangkat pake travel jam delapan malam dari Jogja dan sampai jam empat pagi di Bandara. Sampai di Juanda, saya ngantuk berat karena saya tipe yang engga bisa tidur di mobil. Tadinya seh, mau tiduran bentar sambil nunggu terbang, tapi batal karena bandaranya rame banget. Sambil nunggu waktu terbang, saya sarapan trus numpang mandi di bandara. Saya baru ngeh kalo toilet-toilet di bandara tu nggak didesain buat mandi. Sempit banget dan nggak nyaman! Berhubung jam check-innya masih jam 8, saya ngabisin waktu buat bengong. Bosen abis deh.
Pesawat yang saya naiki ganti di Makassar. Saya harus lari-lari di badara karena sempat nggak nyadar kalo waktu Makassar lebih cepat satu jam. Tadinya saya pikir harus nunggu sejam buat terbang lagi. Untung aja saya sempat lihat jam di dinding dan jadi penumpang terakhir yang masuk ke pesawat.
Turun di bandara Ambon, saya bingung. Asli, nggak ada ide mau ke mana. Al, teman saya, ternyata ada acara dadakan di pulau lain. Dia baru balik ke Ambon sore nanti. Untung aja Mas-mas baik hati yang sepesawat sama saya nawarin tebengan buat ke kota. Horee... nggak usah keluar duit. Saya lalu minta diantar (ngelunjak ya?) ke Jalan AY Patty. Di sana pusat kota, jadi saya bisa muter-muter sambil nungguin Al. Karena lapar banget, saya minta diturunin di rumah makan.
Waktu liat daftar menu, saya lumayan kaget. Di Ambon, harga sekali makan antara 25 mpe 35 ribu. Cukup mahal untuk saya yang terbiasa dengan harga Jogja. Nggak tahu deh, duit saya bisa bertahan berapa hari :D Habis makan, saya jalan kaki dikit ke Masjid Raya Al Fatah buat numpang salat. Masjid utama Kota Ambon ini bangunannya besar. Tapi entah kenapa menurut saya nggak secantik atau seanggun masjid-masjid utama di tempat lain.
Selesai salat, saya jalan kaki buat nyari toko yang jual besi putih. Berhubung itu hari minggu, orang-orang yang saya temui di jalan bilang banyak toko yang tutup. Tapi ada satu di Jalan Trikora yang buka. Di sana saya cuma beli satu gelang sederhana. Ada beberapa gelang yang pengen saya beli tapi saya saya harus tahu diri. Kali ini saya engga punya anggaran belanja.
Al ngirim pesan bilang kalo di sekitar sana ada Warung Kopi Sibu-sibu. Tadinya, saya mau naik becak. Tapi pas saya nyebut Sibu-sibu, tukang becaknya bilang jalan kaki aja. Katanya, warungnya deket. Jujur banget ya? Kalo di kota lain, saya berani bertaruh bakal diputer-puterin dulu.
Warung Kopi Sibu-sibu ini tempatnya nyenengin. Ada atmosfer ramah dan tua di sana. Warungnya penuh dengan poster-poster artis dan tokoh dari Maluku. Tempat ini mutar lagu-lagu pelan Maluku yang cocok untuk lagu pengantar tidur. Selain minum, saya memesan bubur sagu. Kuenya terbuat dari santan dan gula merah. Enak. Kerasa banget rempah-rempah terutama kayu manisnya. Kuenya bentuk segitiga dan disajikan dalam daun sagu. Ada taburan ini almond diatasnya. Saya nongkrong di sana bareng Geertz. Kenalan baru dari Belanda yang barusan liburan dari Sulawesi.
Tadinya sih dia nawarin jalan bareng. Sayangnya rute dia ke Saparua. Geertz bilang temannya pernah ke sana dan nemu tempat snorkling yang engga jauh dari pantai. Trus ada penginapan yang nyenengin buat bermalas-masalan. Kayaknya, kalo cuma spot snorkling, saya nggak harus ke Maluku deh. Jadi, saya memutuskan untuk engga gabung.
Malamnya, Al nemeni saya ke bukit. Kami lihat lampu-lampu Kota Ambon dari samping Patung Christina Marta Tiahahu yang terkenal itu. Kayaknya, hampir semua foto Ambon yang saya lihat selalu ada yang diambil dari tempat ini.
Paginya, saya jalan kaki keliling kota. Berhubung niatnya cuma lihat-lihat, saya nggak ada agenda mau ngapain. Yang pertama saya datangi, toko penjual barang antik yang kebetulan ada di pinggir jalan. Tadinya sih, saya berharap bisa lihat barang yang khas Maluku. Ternyata engga. Toko ini aneh menurut saya. Ga jelas banget jualannya. Ada banyak barang yang engga antik (masih baru maksudnya) yang kata penjualnya dari Jawa. Trus ada patung-patung kayu gaya asmat, kerang yang engga jelas bentuknya, sticker, sampai tumpukan buku bekas. Ada Di Bawah Bendera Revolusi juga lo. Di samping toko tadi, saya nemu warung nasi kuning yang enak banget. Lauknya banyak banget. Ada ikan cakalang dimasak kuah pakai gula merah. Ditambah serundeng, buncis, bakmi, dan tempe.
Habis itu saya keliling pasar. Nggak ada barang yang menarik di sini. Yang dijual standar: kain, baju, peralatan rumah tangga. Sama kaya pasar di kota lain. Cuma di sini saya nemu tukang jual besi putih dan mutiara. Akhirnya saya khilaf beli anting mutiara lagi. Padahal kemarin pas di lombok juga beli mutiara.
Ambon, siang itu panas banget. Nggak enak buat jalan kaki. Sampai saya akhirnya mutusin pake payung. Saya mampir bentar di Gong Perdamaian. Letaknya di tengah-tengah taman. Waktu mau ngedekat, ternyata gerbang-gerbang di taman tadi dikunci. Mungkin supaya nggak dipake buat tidur gelandangan? Terpaksa deh saya yang pake rok loncat pager. 3 orang turis dari Jakarta yang saya temui akhirnya ikut-ikutan loncat pager juga. Tadinya, saya berharap ada keterangan kenapa Gong Perdamaian dibangun di sini. Ada cerita dan harapan apa sih kenapa benda tadi ditaruh di situ. Menurut saya, akan lebih menarik jadi pengunjung nggak sekadar lihat benda mati bergambar bendera-bendera dan simbol-simbol agama.
Capek jalan kaki, saya duduk-duduk di Taman Patimura. Di sana saya ngobrol dengan 3 orang penduduk Ambon. Saya penasaran dengan cerita Ambon jaman rusuh dulu. Tiga bapak ini cerita kalau mereka dan semua orang di Ambon sama sekali nggak tahu siapa yang mulai kerusuhan. Mereka cerita tahun 2000 sampai 2004 suasanyanya mencekam karena banyak orang mati tertembak. Nggak ada yang tahu siapa pelakunya. Kalau kata supir taksi yang saya naiki kemarin, ada orang-orang yang dibayar untuk ngebakar masjid dan gereja. Mereka engga tahu motif pasti penyuruhnya apa, tapi bukan agama. Ada orang-orang yang ingin dapet duit dari kerusuhan.
Selama kerusuhan, orang-orang pada takut keluar rumah. Wilayah-wilayah di Ambon berubah jadi blok berdasar agama. Kalo penduduk suatu tempat mayoritas muslim, yang Kristen pergi. Begitu juga sebaliknya. Tahun-tahun tadi nggak ada orang yang berani pakai simbol agama seperti kalung salib atau kerudung keluar rumah.
Beberapa orang yang saya temui bilang mereka tahu konflik Ambon sebenarnya bukan karena agama. Setelah kerusuhan meluas, orang-orang mempertahankan diri. Mereka pada ketakutan karena rumahnya dibakar atau dilempari batu, bahkan tidak sedikit yang saudaranya meninggal. Karena tidak tahu siapa musuh mereka, agama muncul sebagai pembeda. Orang curiga pemeluk agama lain pelakunya.
Waktu mau salat, orang-orang yang saya temui di Taman Pattimura bilang kalau itu daerah Kristen. Nggak ada mushola atau mesjid di sana. Salah satunya lalu minjemi saya yang baru aja dikenal motor untuk pergi ke Masjid Al Fatah. Sejauh ini, penduduk Ambon yang saya jumpai baik-baik. Saya nggak habis pikir kok bisa ya dulu pada bunuh-bunuhan?
Habis salat, saya nglanjutin nyari makan di Jalan Kopi. Saya tertarik untuk masuk ke Warung Supira karena bentuknya kuno. Ternyata, warung tadi dibangun tahun 1950. Meski mereka punya banyak menu lokal, saya milih gado-gado karena perut saya sedang tidak bisa diisi makanan berat.
Di sepanjang Jalan Kopi, ada deretan orang jualan plakat-plakat dari batu marmer. Kebanyakan bertuliskan nama, tanggal lahir, dan simbol-simbol. Saya baru tahu kalo benda tadi batu nisan. Saya lanjut jalan-jalan lagi sambil beli manggis dan duku. Sepertinya dua buah tadi, juga durian, banyak tumbuh di sekitar Ambon. Di sepanjang jalan berkali-kali saya ketemu penjual tiga buah tadi. Saya iseng masuk beberapa toko oleh-oleh. Selain jual mutiara dan besi putih, banyak yang jual hiasan dinding dari kulit kerang. Cangkang kerang yang berkilauan dipotong dan disusun berbentuk pemandangan atau hewan. Bagus-bagus banget. Pengen beli tapi nggak tahu ntar dipajang di mana. Trus, saya juga harus berhemat ding.
Malamnya, saya dan Al ditraktir Onya yang barusan balik dari Banda. Kami makan nasi kelapa di daerah Batu Merah. Nasi kelapa itu nasi santan dengan kelapa yang dikasih ikan teri. Trus dimakannya bareng ikan bakar yang dicelup di kuah jeruk dengan potongan sambal dan tomat yang disebut colo-colo. Enak... Saya abis satu porsi besar.
Esok harinya, saya berangkat ke Pulau Seram dan jalan-jalan melihat pembuat sagu. Seru lo.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)