Tadinya, saya sama sekali nggak ada niat untuk liat ruwatan rambut gimbal di Dieng. Berhubung Pak Hery, teman sekantor saya pergi ke desa-desa di Dieng Plateau untuk nemani beberapa mahasiswa dari Canada penelitian, saya khilaf ngikut.
Hari minggu, tanggal 1 Juli 2012, akhirnya kami bareng-bareng lihat acara ruwatannya. Jadi, di daerah Dieng, Wonosobo, ada anak-anak yang rambutnya gimbal kaya engga pernah dimandiin. Konon, mereka ini titisan Kyai Kolodente dan Nini Roro Ronce, leluhur masyarakat Dieng. Anak-anak ini tadinya berambut normal saat lahir. Waktu umurnya belum ada setahun, mereka demam tinggi dan tiba-tiba rambutnya berubah jadi gimbal. Rambut ini perlu diruwat supaya hilang. Sebelum dipotong rambutnya, anak-anak gimbal ini meminta sesuatu. Kalau permintaan tidak dituruti, rambut gimbalnya tumbuh lagi.
Sekitar jam sembilan pagi, kami jalan-jalan ke Kompleks Candi Arjuna. Berhubung di sana mulai masuk musim kemarau, udaranya dingin banget. Yeah, pagi harinya di kebun depan rumah yang saya inapi sampai ada es. Saya harus pakai jaket dan sarung tangan waktu keluar rumah. Berhubung acara belum dimulai, kami jalan-jalan dulu muterin candi-candi di sana. Yang pertama kami datangi adalah Sendang Darmasala, tempat anak-anak gimbal nanti dimandiin. Tempat itu dikelilingi sama kain putih. Jalan menuju ke lokasi juga dipayungi kain putih panjang yang ternyata adalah: kain kafan. Di sana, sebelum dicukur, anak-anak gimbal bakal dimandiin pakai air dari 7 sumber mata air yang ada di seputaran Dieng dan kembang 7 warna.
Sekitar jam setengah sepuluhan kami balik lagi ke jalan. Dari buklet yang kami baca, akan ada kirab. Para pembawa sesaji, tokoh masyarakat, anak-anak gimbal bakal diarak dengan andong. Di barisan tadi ada juga dan rombongan kesenian tradisional. Kata bukletnya sih, arak-arakan tadi akan berhenti di depan pertigaan candi untuk atraksi.
Pas jalan, kami ketemu banyak banget orang bawa kamera DSLR. Kayaknya mereka sengaja datang ke sana buat hunting foto. Banyak juga rombongan yang pakai kaus grup traveller. Sepertinya mereka datang dari kota-kota besar di Jawa. Hari itu, jalan di Dieng penuh dengan mobil-mobil luar kota.
Males desak-desakan di pinggir jalan, saya, Pita, Alexa, dan Anu nonton dari balkom di depan sebuah losmen. Berasa jadi penonton VIP deh. Dari balkon kami juga engga kepanasan. Dieng itu plateau yang bentuknya cekungan. Jadi suhu dan angin di sana dingin banget, cuma siang itu mataharinya ngebakar kulit. Setelah menunggu dan menunggu, sekitar jam 11 an, dari jauh terdengar bunyi-bunyian. Yeahh... akhirnya, pawai datang juga. Saya sempat sedikit kecewa karena ngarep yang bakal datang arak-arakan ramai. Ternyata cuma beberapa rombongan kecil.
Di barisan paling depan ada pemangku adat dan pembawa payung dengan hiasan warna emas. Diikuti belasan remaja putri berkebaya oranye, merah, dan putih mirip pager ayu kalo di acara nikahan. Habis itu ada dua andong dihiasi balon dan kertas krep yang engga terlalu meriah bawa anak-anak kecil. Kayaknya sih mereka anak-anak gimbal yang mau diruwat. Rambut mereka diiket pakai kain warna putih. Trus dibelakangnya ada dua gunungan kecil yang ditandu. Isinya hasil bumi. Lalu ada gerobak dorong berisi sepeda, kambing, dan beberapa kerdus.
Di antara rombongan ini, saya paling menikmati pas rombongan pemain musik tek-tek lewat. Itu semacam musik dari bambu dipukul-pukul yang banyak ditemui di seputaran Wonosobo dan Banjarnegara. Nadanya riang. Saya sama Pita aja tanpa sadar ikutan goyang-goyang.Dibelakang mereka ada grup barongsai. Saya sempat girang karena mungkin bakal dapat obyek buat difoto. Ternyata engga. Barongsay-barongsay ini berguling-guling nggak seru. Sesekali mereka sedikit meloncat dan lebih banyak tidur-tiduran di aspal. Ga asyik, deh. Di belakang mereka ada rombongan penari laki-laki. Mereka pakai kostum raksasa rambut keriting. Anu yang rambutnya ikal protes waktu lihat mereka. Katanya, di banyak negara orang sering menggambarkan raksasa atau mahluk jahat dengan rambut keriting. Dia merasa diskriminasikan :D Waktu jalan dan menari, kerincingan di sepatu mereka bunyi. Tarian dan kostum mereka mirip seperti tari topeng ireng yang banyak di seputaran Merbabu. Dan ternyata... arak-arakannya cuma selesai di sini aja. Sepertinya saya berharap terlalu banyak saat mendengar akan ada kirab.
Kami kemudian balik lagi ke candi dan kaget karena di sana ternyata rame banget. Ada kerumunan orang ngelilingi kain pembatas warna putih yang dijaga. Cuma orang-orang yang beli pass masuk yang dibolehin lewat. Kami boleh gabung gratisan karena yang jaga ngenali Alexa dan Anu sebagai mahasiswa asing yang lagi penelitian di Dieng.
Di dalam kain juga penuh orang-orang bergerombol. Kami sampai nggak bisa ngelihat prosesinya. Saya nyoba moto dari belakang rombongan wartawan. Hiks, susah banget ngambil gambar. Ketutupan kepala dan tangan orang melulu.
Saya lalu muter-muter buat nyari tempat yang lebih strategis. Dan hasilnya sama aja. Candi Arjuna tempat anak-anak gimbal dicukur tadi penuh penonton dari semua arah. Akhirnya saya milih untuk ngambil foto dari depan kursi pencukuran. Tetep ketutupan orang sih, cuma rada mendingan, setidaknya masih bisa ngelihat anak-anak yang mau dipotong rambutnya.
Sebelum acara potong rambut dimulai, MC nyebutin nama, alamat dan permintaan anak gimbal. Ada yang lugu banget, minta semangkuk bakso ada juga yang minta makanan ringan (nggak mau nyebut merk, ntar disangka iklan lagi J). Trus ada yang permintaan standar anak kecil: sepeda mini. Lucunya, ada juga yang minta kambing. Penonton pada komentar ke permintaan anak-anak tadi. Kalau yang diminta murah, pada komen kecewa. Kalau yang diminta barang mahal pada bilang “pinteerrr...” Setelah beberapa menit berdesak-desakan dan dengan kepala kesikut orang yang moto-moto, akhirnyaaa... saya dapat tempat juga. Jadi, mas-mas yang di depan saya berbaik hati ngasih tempatnya. Horee... bisa moto tanpa keganggu kepala-kepala dan kamera-kamera menjulur. Tapi, saya nggak bisa lama-lama di sana. Kepala saya pusing karena mataharinya nyengat banget.
Saya lalu balik ke Hotel Gunung Mas yang letaknya nggak jauh dari candi buat ngadem dan makan siang. Di sana, saya ngobrol-ngobrol bentar sama Mas Rahmat, yang punya hotel, tentang pariwisata di Dieng. Dia cerita kalau turis di Dieng kebanyakan cuma mampir dari liburan di Jogja. Selain pas ada festival, cuma ada satu dua orang yang nginap kalau pas akhir pekan atau liburan. Pegiat wisata di Dieng belum bisa ngemas obyek-obyek yang ada di sana selain lihat sunrise buat narik turis supaya tinggal lebih lama.
Saya sempat mutar-mutar bentar di Hotel Gunung Mas. Kata Mas Rahmat, penginapannya yang dibuka tahun 70-an jadi salah satu penginapan tertua di Dieng. Kalau dibandingin tempat lain yang pernah saya inapi di Dieng sih, hotelnya agak beda. Ruangannya lebih bersih, ada fasilitas air panas, parkirnya lebih luas, trus yang punya asyik diajak ngobrol. Agak sorean, Mas Rahmat nganter saya ke desa tempat saya menginap.
Di jalan sebelum pintu masuk telaga warna, saya turun buat jalan ke sebuah bukit. Sekitar sepuluh tahun lalu, saya berkali-kali datang ke Dieng. Tiap kali datang ke suatu tempat, saya selalu nyari tempat paling tinggi. Buat ngelihat langit, matahari terbit dan terbenam, atau sekadar liat atap-atap rumah. Dulu, jalan kecil yang buat lihat telaga warna dari atas jarang dilewati orang. Masih banyak alang-alang. Tapi sekarang jalannya lebih lebar tapi mulai ada sampah bertebaran. Sayang, pas mau moto telaganya, kontrasnya masih tinggi banget. Batal dapet foto bagus deh.
Malam harinya, saya seperti biasa nongkrong di perapian bareng Mas Supri, tuan rumah saya. Di Dieng Plateau, saking dinginnya orang kalau bertamu atau ngobrol lebih sering di dapur daripada di ruang tamu. Biasanya, saudara-saudara Mas Supri yang tinggal nggak jauh dari sana ikutan gabung. Saudara istri Mas Supri cerita kalau dulu anaknya gimbal juga. Katanya, kalau di desa Si Kunang, anak-anak gimbal engga pakai ruwatan. Cuma ada acara syukuran sehabis potong rambut.
Kata mereka, anak-anak gimbal tadi awalnya punya rambut kaya orang biasa. Pas umurnya belum ada setahun, rambut gimbal tadi tumbuh sendiri. Biasanya, didahului dengan demam tinggi. Kadang sampai kejang-kejang. Kalau sudah waktunya rambut tadi dicukur, anak-anak tadi meminta sesuatu. Orangtuanya tahu itu pertanda rambutnya siap dicukur kalau permintaan tadi diulang-ulang. Setelah dicukur, rambutnya dibuang ke Sungai Serayu atau Sungai Tulis yang bermuara ke Laut Selatan. Orang-orang yang saya temui cerita kalau pernah ada orangtua di desa Sikunang yang motong rambut anaknya tanpa nurutin permintaannya. Rambut tadi tumbuh gimbal lagi meski dipotong sampai tiga kali.
Selasa, 10 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Bagus ceritanya de, aku pernah kesana cuman sekedar lewat, kapan2 pengen datang pas ada acara ruwatan kelihatannya menarik
BalasHapusKayaknya keren juga tuh kalau rambut gimbalnya dipelihara sampai gede. Terus, bikin komunitas dan group music regge. :D
BalasHapusmbak lutfiiii
BalasHapusblog kamu isinya lebih ke kegiatan manusia seperti biasanya, landscapenya cuma bonus ya satu aja :D
eh iya, aku masih penasaran sama es beku di rumput,
itu di manakah ya mbak???
@Anonim, lebih menarik datang ke desanya, lihat langsung anak gimbal trus ikut ke kebun kentang.
BalasHapus@Tongkonanku: idenya boleh juga. Sayang anak-anak kecil tadi biasanya kl mulai gede ngerasa malu punya rambut gimbal. Habis, kaya orang ga mandi
@fathur: foto lanskapnya abis ini. Ada cerita lanjutannya
Saya yang orang Wonosobo saja malah jarang ke festival dieng.. apa merasa punya ya.. jadi malu saya hahahaha...
BalasHapusSepertinya Lutfi perlu ulangi perjalanan itu di saat Dieng sepi.. karena saya orang asli, namun punya kelemahan argumentasi , kalau Lutfi yang nulis dan motret, kayaknya lebih sip.. hehehe, gimana
@bimosaurus: saya dah pernah beberapa kali ke Dieng pas engga ada festival. salah satu ceritanya ada di tulisan lain tentang panen kentang
BalasHapus