Senin, 23 Juli 2012

Panen Kentang di Dieng

Tadinya, saya mau langsung pulang setelah melihat ruwatan rambut gimbal  . Tapi batal gara-gara Mas Supri, tuan rumah yang saya inapi di Desa Sikunang, Dieng Wonosobo cerita kalau besok pagi dia mau panen kentang. Saya masih penasaran kenapa kentang bisa mengubah hampir seluruh permukaan tanah di Dieng Plateau. Termasuk mewarnai hidup hampir seluruh penduduknya.


Pagi-pagi sekitar jam delapan. Aslinya sih, ini nggak pagi lagi. Berhubung Dieng Plateau tu dingin banget, saya baru keluar dari sleeping bag sekitar jam tujuh. Itu pun karena lapar :P Kami jalan kaki ke kebun dengan peralatan lengkap: jaket, kaus tangan, dan topi. Biasanya, Mas Supri pergi ke ladangnya naik motor, tapi kali ini dia jalan buat nemeni saya. Selain jalan kaki lebih nyenengin, saya pengen moto-moto gunung-gunung di sepanjang jalan. Di pinggir jalan, saya ngambil foto seorang pekerja menyiram tanaman kentang. Saya sempat kaget waktu tahu yang disemprotkan itu pestisida. Huaaa... serem banget. Sebelumnya saya sering denger kalau petani tu banyak banget makai pestisida. Tapi engga kebayang kalau jumlahnya sampai bergalon-galon untuk sepetak ladang gitu :'( Jadi pengen nanam sayuran sendiri supaya aman dimakan.
Kami lalu jalan ke puncak salah satu bukit. Pokoknya, di sini lagu naik-naik ke puncak gunung ga berlaku deh. Habis, di kiri dan kanan pemandangannya kentang semua :) Lumayan capai. Entah kenapa di sini saya lebih cepat ngos-ngosan. Sampai di atas, kami ketemu dengan enam orang buruh tani. Mereka barusan selesai sarapan. Sebagian besar datang dari daerah Watu Malang, Wonosobo. Itu sekitar 40 kilometer dari Desa Sikunang. Mereka datang naik angkutan umum. Biasanya, buruh-buruh tani ini datang untuk kerja pas musim panen, nanam, atau membersihkan lahan. Mereka kerja dari jam 7 pagi sampai hampir magrib. Sehari, upahnya antara 30 sampai 35 ribu. Makan mereka ditanggung sama pemilik ladangnya. Trus, selama musim kerja, buat ngirit ongkos pulang-pergi, biasanya buruh-buruh ini nginep di rumah pemilik ladang sampai kerjaannya selesai.
Kadang, buruh-buruh tani tadi orang-orang yang nggak punya lahan di sekitar desa. Biasanya sih masih kerabat pemilik lahan. Uniknya lagi, selain buruh panen, di Dieng Plateau ada yang namanya buruh panggul. Tugasnya ngangkut karung-karung kentang dari ladang ke kendaraan. Upah mereka tergantung jauh dekat dan ketinggian lahan. Sambil nunggu para pekerjanya ngumpulin kentang, Mas Supri nganterin saya lihat-lihat. Dari atas, permukaan Dieng Plateau ketutup sama kebun kentang semua. Cuma sebagian kecil dihiasi perkampungan dan jalan. Dulu, sebelum tahun 70-an, sebagian lahan tadi ada yang berupa hutan, atau ladang tanaman tembakau, jagung, dan kol. Trus ada pedagang (atau petani ya? Lupa :P ) dari Jawa Barat nyoba nanam kentang di sana. Berhubung hasil panen dan harga jualnya bagus, mulailah petani-petani lain ikut-ikutan menanam kentang. Kalau dibandingkan dengan tanaman lain yang bisa hidup di Dieng Plateau, tanaman kentang masih lebih menjanjikan. Untuk tanah seluas 2.500 meter, kentang bisa panen sampai tiga kali dalam setahun. Sekali panen, kalau bagus bisa sampai sepuluh ton. Harganya berkisar antara 4 ribu sampai 7 ribu rupiah per kilo. Trus si petani kentang ga perlu capai-capai ngejual karena banyak pedagang dari luar datang buat beli.
Tanah di Dieng Plateau sebenarnya bisa juga ditanami bawang. Tapi, petani di sana nggak terlalu tertarik karena panennya belum tentu berhasil. Trus, pembelinya nggak banyak dan bawang lebih cepat busuk (beda sama kentang tahan disimpan sampai 7 bulan). Tanaman kol dan Carica sebenarnya juga bisa ditanam di sana. Tapi engga banyak yang tertarik karena harga per kilonya paling cuma seribuan. Berhubung ongkos produksi tanaman kentang ini tinggi, ada juga pemilik tanah yang memilih untuk menyewakan tanahnya. Saya sempat ketemu dengan seorang buruh yang memilih kerja dibayar harian daripada minjem uang buat modal nanam kentang. Konon di kalangan petani kentang, ada semacam mitos kalau nanem kentang pakai duit pinjaman dari bank, pasti gagal panen. Tanahnya buruh tadi yang luasnya ribuan meter dipinjamin ke kerabatnya. Tiap kali panen, buruh tadi dapat bagian seperempat hasilnya.
Buat gambaran seberapa mahal ongkos nanem kentang, begini kira-kira. Untuk tanah seluas 2.500 meter, petani habis pupuk sekitar tiga kuintal. Harganya 98 ribu per 50 kilo. Trus, buat beli pestisida, kadang bisa sampai 5 jutaan sekali tanam. Biasanya, petani-petani butuh lebih banyak pestisida tiap musim hujan supaya kentangnya engga busuk. Kentang sekarang engga semenguntungkan sepuluh tahun yang lalu. Gara-gara tanahnya dah terlalu banyak diracuni sama zat kimia. Saya sering dapat cerita kalau dulu hasil panen kentang lebih menguntungkan. Dari tiga kali panen kentang dalam setahun, kalau pun gagal dua kali, hasil dari satu kali panennya bisa nutup kerugian panen lainnya. Wow! Sore harinya, saya jalan-jalan keliling kampung. Untuk moto-motoin rumah dan penduduk di sana sambil sekaligus pengen lihat anak gimbal dari dekat. Saya ketemu satu anak, namanya Nia. Sayang karena dah kesorean cahayanya nggak terlalu bagus, rambut dia nggak kelihatan gimbalnya waktu difoto.
Sebelum pulang, saya mampir bentar di Desa Sembungan. Desa tertinggi di Dieng Plateau ini suhunya dingiiiiinnnn banget! Saya sampai heran lihat ibu-ibu nyuci pagi-pagi di sungai. Hiii... apa nggak beku ya? Saya jalan-jalan bentar ke atas bukit buat lihat Telaga Cebongan dan desanya dari atas. Pemandangannya tetep sama. Kiri kanan, ku lihat saja, tanaman kentang melulu :P Uniknya, di papan pengumuman menuju perkampungan, desa ini ngeklaim sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa. Masa sih? Kalau nggak salah, tingginya “cuma” sekitar 2.300 meter. Kayaknya masih ada deh desa lain yang lebih tinggi.

5 komentar :

  1. Sebenarnya tanah itu akan terus menguntungkan jika manusianya sabar dan dirawat dengan cara yang alami. Tanah pertanian indonesia sekarang sudah tidak sesubur dulu, terima kasih kepada pupuk kimia. :)

    Kalo mau sabar dan belajar, menggunakan pengolahan tanah semi organik lalu full organik lebih menguntungkan lho. Tapi ya itu, emang ga semua orang mau melakukan karena lebih enak pake yang kimia. Tinggal sorong... hehehee...

    BalasHapus
  2. Ahhh...jadi kangen pengin ke Dieng lagi :-)
    Sharingnya ok mba Retno.. jadi tau juga kenapa banyak kentang disana hehehe..

    BalasHapus
  3. @Harmoni magz: iyaaa... ngelola organik tu butuh tenaga dan waktu yang lebih panjang. Banyak orang yang engga bisa bertahan di awalnya.
    @Wiwin: Cari tempat lain aja buat jalan-jalan. Indonesia kaya banget lo :D

    BalasHapus
  4. Beberapa kali ke Wonosobo tetapi saya belum pernah ke Dataran Tinggi Dieng...

    BalasHapus
  5. ah kang kombor ndesaaa... hahaha.. saya jadi inget ucapan pak bupati wonosobo saat ada acara gathering blogger serayu, di dieng itu petani nyangkul aja sambil berdiri, karena yg dicangkul tanah yg persis ada didepannya ( wong nyangkul bukit )

    seram nya adalah bila ada longsor sudah tidak ada lagi tanaman keras penahan longsor didaerah dieng... hiks

    BalasHapus