Horee jalan-jalan lagi. Pagi ini saya sampai di Bandara Ngurah Rai, Bali. Sebenarnya tujuan liburan saya ke Lombok untuk melihat festival Bau Nyale. Karena saya ingin jalan-jalan dulu, saya memilih terbang ke Bali dan nanti menyebrang. Kali ini saya memilih Garuda karena maskapai penerbangan lain dari Jogja jadwalnya nggak enak banget. Masa sampai di Bali jam 11 malam! Kayaknya bukan penerbangan yang ramah untuk orang-orang yang gampang kena insomnia seperti saya.
Saya sampai di Bali sekitar jam 10 pagi. Setelah bengong sebentar di bandara sambil melihat peta, akhirnya saya memutuskan untuk mencari mobil sewaan. Saat berjalan menuju pintu keluar bandara, belasan sopir mobil sewaan menawarkan jasanya. Saat saya menyebut ingin ke Padang Bai pukul empat sore dan sebelumnya saya ingin berputar-putar dahulu, beberapa sopir menawarkan angka 700 ribu. Eh, tolong ya? Kayaknya rental mobil 24 jam nggak semahal itu.
Akhirnya, ada seorang sopir yang menyebut angka 325 ribu. Harga tadi cukup wajar (saya sempat mengambil brosur sewa mobil di bandara, semuanya menawarkan harga 350 ribu untuk sewa Avanza per lima jam). Jadilah saya pergi dengan mobilnya.
Namanya Pak Komang, orang asli Tabanan. Dia sempat heran waktu saya bilang saya nggak punya ide mau ke mana. Saya cuma pengen lihat-lihat saja karena belum pernah ke Bali. (pernah sih, tapi sepertinya kesasar kaya gini nggak masuk hitungan jalan-jalan). Untuk Pak Komang, seorang cewek jalan sendirian itu hal yang aneh. Gimana nanti kalau ada apa-apa di jalan? Saya cuma jawab, bahaya tu ada di mana-mana. Nyenenginnya lihat tempat baru dan ngamatin orang jauh lebih berharga daripada resiko kena apa-apa di jalan.
Kami terus jalan ke arah Kuta. Tadinya sih saya hampir tergoda untuk berhenti di sebuah pusat pertokoan karena ada baju lucu-lucu dengan tulisan SALE 50% off di mana-mana. Tapi masa jauh-jauh ke Bali cuma buat belanja ke toko yang barangnya juga di jual di Jogja dan banyak tempat. Nggak asik ah. Ya sudah, saya batalin aja niat tadi.
Habis itu kami lewat Pantai Kuta. Kalau misalnya saya mau jalan-jalan di pantai, Pak Komang nawarin untuk nunggu di tempat parkir. Berhubung sepertinya terlalu banyak orang (saya nggak terlalu tertarik dengan daerah yang turis banget), saya jadi malas berhenti. Akhirnya, mobil jalan terus.
Bali, Sabtu itu kelihatan ramai dengan hiasan. Sepanjang jalan yang kami lewati, ada umbul-umbul dari janur. Di tiap perempatan selalu ada timbunan sesaji. Mobil dan motor yang lewat pun sebagian besar berhias janur. Kata Pak Komang, hari itu ada perayaan Kuningan. Itu semacam lebaran kalau untuk orang Islam. Acara itu diadakan sepuluh hari setelah Galungan. Umat Hindhu Bali pada ke pura pagi dan sore hari. Biasanya mereka kemudian datang berkunjung ke rumah kerabatnya.
Ok, sepertinya saya sudah menemukan tujuan untuk jalan-jalan. Saya meminta Pak Komang untuk mengantar saya ke pura-pura yang dipakai sembahyang sepanjang perjalanan ke padang Bai. Pura pertama yang saya datangi adalah Pura Jagatnata di Denpasar. Ada banyak orang sedang bersembahyang di sana. Rata-rata pergi bersama keluarganya.
Bapak penjaga pura meminjami saya kain supaya saya bisa masuk dan melihat-lihat. Bapak tadi menawarkan kalau saya ingin melihat upacara yang lebih ramai, nanti sore saya boleh ikut dia ke Pura Sekenan. Dia memimpin upacara di sana. Aduh pengen, sayangnya saya harus sampai di Padang Bai jam empat sore supaya tidak kemalaman sampai Mataram.
Sebelum memoto, saya duduk sebentar untuk mengamati orang sembahyang. Entah kenapa, saya suka melihat upacara agama. Biasanya, kalau pergi ke sebuah kota, saya sering mampir ke kelenteng. Hanya untuk melihat orang sembahyang sambil kadang iseng mengambil ciamsi. Oh iya, di sini tahu-tahu ada penjual makanan nawarin lontong ke saya pakai Bahasa Inggris. Entah kenapa kalau di tempat wisata atau bandara, orang sering mikir saya turis dari negara lain.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Pak Komang menunjukkan sebuah gereja yang bentuknya mirip dengan pura. Bedanya, patung-patung di sana diganti dengan Bunda Maria. Kami juga mampir ke tempat penjual peralatan sembahyang. Saya di sana untuk mencari kain kotak-kotak titipan ayah. Dan, saya hampir lapar mata melihat kain-kain bali yang kebanyakan dihiasi benang-benag emas. Setelah berusaha menahan diri, akhirnya saya mengambil sebuah karena di rumah saya belum punya kain ikat bali.
Saat lewat jembatan di daerah Belahbatu. Saya tidak sengaja melihat bangunan berwarna merah menyala di bawah jembatan tertutup oleh pepohonan. Saat tahu bangunan tadi kelenteng, saya meminta pak Komang untuk berhenti. Untuk pergi ke kelenteng tadi, saya harus menuruni banyak sekali tangga. Di depan kelenteng tulisannya wihara. Tapi di sana ada patung barongsay dan tempat dupa. Sepertinya ini salah satu korban diskriminasi agama tahun 66an. Yeah, dulu agama Kong Hu Cu sempat tidak diakui jadi agama (baca Para Pemuja Matahari ).
Kelenteng tadi dikelilingi pepohonan yang asri. Di bawahnya malah ada air terjun buatan. Sebenarnya saya tertarik untuk turun ke sungai dan melihat tapak kaki Buddha. Sayang, tangga ke bawahnya terlalu banyak. Betis saya nyeri tiap dipakai naik turun tangga gara-gara dua hari sebelumnya salah di pijit waktu spa. Apalagi di bawah saya melihat beberapa ekor kera abu-abu sebesar anjing sedang berjemur. Gimana kalau nanti tiba-tiba mereka ngejar? Saya kan nggak bisa lari.
Rencananya, saya ingin makan di restoran yang punya menu masakan Bali. Sayang, karena hampir semua penduduk asli Bali pergi sembahyang, hari itu kebanyakan warung tutup. Terpaksa deh makan sate Madura. Hadeh!
Diantara pura-pura yang saya datangi, yang paling menarik adalah Pura Gua Lawah Klungkung. Ini letaknya nggak jauh dari Padang Bai. Waktu asyik memoto orang-orang yang sedang sembahyang, saya mendengar suara ribut. Berdengung-dengung dan sepertinya pernah saya dengar. Mirip seperti kepakan ratusan sayap dan cicitan kelelawar. Suara tadi berasal dari gua tempat para umat menaruh sesaji.
Waktu saya dekati gua tadi, ternyataa... ada banyak kelelawar menempel di langit-langit gua. Jumlahnya ratusan! Beberapa beterbangan. Huaaa... Kok orang-orang yang sembahyang dan naruh sesaji nggak jijik atau takut ya? Dan kelelawar-kelelawar tadi kayaknya nggak keganggu dengan orang-orang yang hilir-mudik. Aneh, biasanya kan kelelawar tinggal di pohon atau gua yang jarang didatangi orang.
Mobil sampai di Padang Bai sekitar jam setengah empat. Akhirnya saya bayar Pak Komang 360 ribu karena dia cuma punya kembalian 40 ribu waktu saya ngasih empat lembar seratus ribuan. Karena nggak ngerti di mana tempat nunggu bus ke arah Mataram, saya jalan ke kantor polisi untuk tanya.
Dan ternyata saudara-saudara, bapak polisi tadi bilang kalau mau nunggu bus ke Mataram, nyetopnya di Denpasar. Hah, ngapain juga saya jauh-jauh ke sini? Karena bapak-bapak polisi tadi kasihan lihat saya yang kaya anak SMA ilang, mereka nyuruh saya nunggu di pos. Ntar, kalau ada bus atau mobil ke Mataram, saya dititipin. Nggak sampai setengah jam, ada bus malam yang mau pergi ke arah Mataram. Jadilah saya nebeng bus tadi. Horee... Waktu ngobrol sama sopir dan keneknya, ternyata bus tadi dari Jogja!
Pas duduk di kabin kapal, saya agak risih karena digodain beberapa orang. Kayaknya cowok-cowok di Indonesia tu nggak bisa lihat cewek cantik sendirian deh (hi..hi.. narsisnya kumat). Akhirnya saya pergi ke dek dan gabung sama orang yang lagi pacaran. Perempuannya dari Jepang, menurut saya, umurnya sekitar awal 40-an. Dia tipe yang ibu-ibu banget. Gemuk dan ramah. Trus yang laki-laki orang Bali, kayaknya lebih muda. Awalnya, saya mikir mereka pasangan yang baru nikah karena kelihatan mesra banget. Ternyata, mereka tu dah belasan tahun nikah dan punya dua anak.
Mereka cerita tentang gimana si perempuan yang pecinta bulan datang ke Bali gara-gara temennya bilang kalau purnama di Bali lebih besar. Dan, di Bali dia ketemu sama jodohnya. Manis sekaliii... Apalagi sambil cerita, mereka saling memandang satu sama lain sambil tersenyum dan sesekali meluk.
Kami berhenti ngobrol waktu ngelihat langit mulai berubah warna. Ada awan-awan berwarna merah bikin lukisan mirip naga api terbang di atas garis laut. Keren banget. Kami langsung ngeluarin kamera dan berkali-kali moto (sayang, warnanya di kamera berubah). Saya sempat bengong saking terpesonanya. Entah kenapa saya tiba-tiba nyanyi lagu pelangi-pelangi.
Setelah gelap, saya mulai bosan. Bingung mo ngapain. Berhubung anginnya mulai kenceng, saya balik ke dalam. Ngeluarin laptop, modem, dan pasang tampang serius supaya nggak disapa-sapa orang iseng.