Senin, 26 November 2012

Wisata Seharian di Maros, Sulawesi Selatan

Berhubung masih punya waktu satu hari di Makassar, Sulawesi Selatan, saya, Tuteh, Fauzia, Bradley, Anas dan Sanjaya janjian untuk jalan-jalan bareng. Setelah dipameri foto-foto sama Bang Rere Jalan2seru Makassar, kami mutusin untuk ngambil rute Bantimurung, Leang-leang, dan Ramang-Ramang di Kabupaten Maros. Sekitar jam sepuluh lebih banyak, kami berangkat. Jalan Makassar-Maros tu sekitar satu jaman. Awalnya, kami berisik cerita engga jelas. Habis itu lama-lama hening dan ketiduran ninggalin Daeng Ipul yang lagi nyetir.


Pas mulai masuk ke Kecamatan Bantimurung, anak-anak pada kebangun. Kami menikmati rumah-rumah panggung yang nuansa desanya masih kental banget di kiri-kanan jalan. Abis itu pemandangannya keliatan lebih keren karena ada latar belakang gunung-gunung kars yang ketutup pepohonan. Pertama keluar dari mobil, saya sempat kaget. Panasnya engga banget deh. Kayaknya matahari lebih deket deh daripada di Jogja.

Saya sama Sanjaya langsung nyamperin tukang jual souvenir. Toko, warung makan, dan kios-kios di pelataran parkir obyek wisata itu semuanya jualan kupu-kupu atau serangga yang dikeringin. Ada yang dibuat gantungan kunci, ada juga yang ditaruh di pigura. Kami lumayan lama milih-milih. Abis kupu-kupunya cantik-cantik. Aslinya pengen beli yang didalam pigura. Sayang ribet bawanya. Ada juga sih yang dijual dalam bentuk kupu-kupu awetan. Cuma harus beli satu set yang harganya diatas 250 ribu.


Ogah ah! Untuk masuk ke Obyek Wisata Air Terjun Bantimurung, masing-masing orang kena Rp 15.000. Didalam, kami langsung disuguhi kolam-kolam renang dan bangunan-bangunan dari beton. Nggg... jauh banget dari harapan saya. Tadinya saya berimajenasi air terjunnya ada di tengah-tengah hutan. Masih alami. Tuteh, Om Bradley, sama Fauzia langsung sibuk bikin foto dengan gaya pre wed. Anas seperti biasa lebih suka moto-moto. Kami nyewa tiker seharga Rp 20.000 buat duduk-duduk buat naruh barang. Saya sirik ngeliatin anak-anak yang mandi pake ban bebek warna kuning. Ada juga beberapa anak SMP yang meluncur pake ban mobil. Penggeennnn.... Kayaknya seru. Akhirnya saya tergoda nyewa ban dalam truk. Sebuahnya sepuluh ribu. Saya butuh waktu lama buat meluncur. Soalnya di sana nggak ada rental pelampung dan saya rada paranoid kalo tenggelam. Awalnya saya cuma jalan di air sambil nyeret-nyeret bannya.

Gara-gara tergoda waktu liat beberapa anak teriak-teriak kegirangan waktu meluncur, akhirnya saya ikut-ikutan. Seru banget! Campuran antara panik karena nggak bisa berenang sekaligus asyik banget. Ini lebih menyenangkan daripada rafting bambu pas ke Kalsel. Capek teriak-teriak, saya nyender di bawah air terjun. Kejatuhan air sebanyak itu berasa kaya dipijat. Daeng Ipul ngajakin kami jalan ke Gua Batu di atas air terjun. Kami semua jalan kaki ke sana kecuali Tuteh yang lebih milih untuk tidur siang di deket sungai. Tu kakak ngakunya tukang jalan-jalan tapi kalo pergi ke tempat wisata kayaknya cuma pindah tidur aja :D

Jalan ke gua batu itu seperti olahraga mengecilkan paha tapi membesarkan betis. Saya lumayan ngos-ngosan karena tangganya banyak banget. Untung aja ada hiburan. Di rombongan kami tiba-tiba ada pria bersepatu pink. Sexy kan? Maaf saya tidak bisa menyebut nama karena itu pencemaran nama baik.


Di kiri jalan setapak ada air sungai yang warnanya agak kebiru-biruan. Ada tebing-tebing kapur menjulang disampingnya yang dihiasi pohon-pohon. Waktu jalan, sesekali saya ngelihat kupu-kupu warna dengan sayap sebesar telapak tangan lewat. Keren banget! Konon katanya, sepuluh tahun yang lalu jumlah kupu-kupu yang lalu-lalang jauh lebih banyak. Wow! Kayak apa ya?

Berhubung guanya gelap sekali, kami jalan sambil bawa senter sewaan. Sebelum masuk, kami moto-moto dinding gua yang putih kaya marmer dan berbentuk seperti lelehan lilin cantik. Waktu balik ke air terjun lagi, kami beberapa kali ditawari untuk beli mie sama nasi goreng kotakan sama seorang ibu-ibu. Kami nolak-nolak karena engga tertarik. Hallo, jauh-jauh ke Sulawesi Selatan kan harusnya wisata kuliner, bukannya makan mie. Habis itu kami pergi dari Obyek Wisata Bantimurung sekitar jam duaan.


Kami lanjut jalan ke Leang-leang yang masih di Kabupaten Maros juga. Letaknya sekitar sepuluh kilo dari Air Terjun Bantimurung ke arah jalan tembus Trans Sulawesi di Kabupaten Pangkep. Sepanjang perjalanan ke sana, kami disuguhi pemandangan sawah-sawah bertabur batuan kars dengan latar bukit-bukit menghijau. Tuteh dan Fauzia ribut kalo pengen punya rumah di sana dan liburan nggak ke mana-mana berhari-hari. Kata mereka cocok buat honeymoner :D

Akhirnya, kami sampai juga di kawasan Leang-leang. Leang dalam bahasa Makassar artinya gua. Berhubung katanya diulang, berarti di sana ada banyak jumlahnya. Begitu masuk ke tempat parkir, kami langsung disuguhi tumpukan batu-batuan kars cantik berwarna abu-abu gelap. Bentuknya seperti sengaja ditata seperti taman batu. Komentar pertama temen-temen adalah: keren ya buat latar foto pre-wed. Teteup!

Dianter sama Mas-mas guide, kami pergi ke gua yang disebut Leang Petta Kere. Gua ini dipakai untuk sembahyang. Untuk melihat gua, pengunjung harus naik tangga dari besi. Kalo mau lebih deket lagi harus manjat batu. Perhatian: tempat ini ga cocok buat orang yang phobi sama ketinggian. Dulu tahun 1950, lukisan-lukisan ini ditemuin sama Heekeren dan Miss Heeren Palm. Konon sih lukisan tadi umurnya dah 5000 tahun. Waktu lihat gambar telapak tangan di dinding gua, tiba-tiba ngerasa gimana gitu. Dulu waktu kecil saya sering liat fotonya di buku pelajaran. Kayaknya dulu lokasinya jauh banget. Ga nyangka bisa liat langsung. Habis itu kami lanjut jalan kaki sekitar 300 meter ke gua lain yang dulu dipakai manusia purba buat tinggal. Di sana juga ada lukisan telapak tangan dan gambar babi rusa lainnya. Di dinding gua tersusun dari tumpukan kulit kerang. Konon kawasan ini dulunya laut. Habis itu kami lanjut jalan ke Ramang-ramang.

Mulai deh pada ribut kelaparan. Dan apesnya, nggak ada warung yang kelihatan higenis di pinggir jalan. Sepertinya, lapar bikin temen-temen mulai leleh otaknya. Apa aja dipakai jadi becandaan. Saya yang teriak-teriak kelaparan aja sempat-sempatnya dijadikan korban bullying. Akhirnya kami nggak jadi mampir ke Ramang-ramang. Kayaknya bakal ada tragedi pingsan kalau maksa datang ke sana. Saya cuma sempat ngambil foto dermaga tempat nyebrang.


Habis itu kami sampai di jalan tembus di Kabupaten pangkep. Trus balik ke Makassar. Di sana, Daeng Ipul ngajakin kami makan sore mendekati malam di Paotere. Menunya andalannya ikan bakar. Serunya, ikan di sana dibakar tanpa banyak bumbu karena masih segar. Yoi, deket laut. Makannya pakai bumbunya yang dipisah. Isinya ada bumbu kacang, bawang, sama mangga muda. Di lidah saya aneh tapi enak. Trus info nggak penting: Rumah makan ini sering didatengi pejabat. Mereka majang foto SBY di dindingnya loh.

Senin, 23 Juli 2012

Panen Kentang di Dieng

Tadinya, saya mau langsung pulang setelah melihat ruwatan rambut gimbal  . Tapi batal gara-gara Mas Supri, tuan rumah yang saya inapi di Desa Sikunang, Dieng Wonosobo cerita kalau besok pagi dia mau panen kentang. Saya masih penasaran kenapa kentang bisa mengubah hampir seluruh permukaan tanah di Dieng Plateau. Termasuk mewarnai hidup hampir seluruh penduduknya.


Pagi-pagi sekitar jam delapan. Aslinya sih, ini nggak pagi lagi. Berhubung Dieng Plateau tu dingin banget, saya baru keluar dari sleeping bag sekitar jam tujuh. Itu pun karena lapar :P Kami jalan kaki ke kebun dengan peralatan lengkap: jaket, kaus tangan, dan topi. Biasanya, Mas Supri pergi ke ladangnya naik motor, tapi kali ini dia jalan buat nemeni saya. Selain jalan kaki lebih nyenengin, saya pengen moto-moto gunung-gunung di sepanjang jalan. Di pinggir jalan, saya ngambil foto seorang pekerja menyiram tanaman kentang. Saya sempat kaget waktu tahu yang disemprotkan itu pestisida. Huaaa... serem banget. Sebelumnya saya sering denger kalau petani tu banyak banget makai pestisida. Tapi engga kebayang kalau jumlahnya sampai bergalon-galon untuk sepetak ladang gitu :'( Jadi pengen nanam sayuran sendiri supaya aman dimakan.
Kami lalu jalan ke puncak salah satu bukit. Pokoknya, di sini lagu naik-naik ke puncak gunung ga berlaku deh. Habis, di kiri dan kanan pemandangannya kentang semua :) Lumayan capai. Entah kenapa di sini saya lebih cepat ngos-ngosan. Sampai di atas, kami ketemu dengan enam orang buruh tani. Mereka barusan selesai sarapan. Sebagian besar datang dari daerah Watu Malang, Wonosobo. Itu sekitar 40 kilometer dari Desa Sikunang. Mereka datang naik angkutan umum. Biasanya, buruh-buruh tani ini datang untuk kerja pas musim panen, nanam, atau membersihkan lahan. Mereka kerja dari jam 7 pagi sampai hampir magrib. Sehari, upahnya antara 30 sampai 35 ribu. Makan mereka ditanggung sama pemilik ladangnya. Trus, selama musim kerja, buat ngirit ongkos pulang-pergi, biasanya buruh-buruh ini nginep di rumah pemilik ladang sampai kerjaannya selesai.
Kadang, buruh-buruh tani tadi orang-orang yang nggak punya lahan di sekitar desa. Biasanya sih masih kerabat pemilik lahan. Uniknya lagi, selain buruh panen, di Dieng Plateau ada yang namanya buruh panggul. Tugasnya ngangkut karung-karung kentang dari ladang ke kendaraan. Upah mereka tergantung jauh dekat dan ketinggian lahan. Sambil nunggu para pekerjanya ngumpulin kentang, Mas Supri nganterin saya lihat-lihat. Dari atas, permukaan Dieng Plateau ketutup sama kebun kentang semua. Cuma sebagian kecil dihiasi perkampungan dan jalan. Dulu, sebelum tahun 70-an, sebagian lahan tadi ada yang berupa hutan, atau ladang tanaman tembakau, jagung, dan kol. Trus ada pedagang (atau petani ya? Lupa :P ) dari Jawa Barat nyoba nanam kentang di sana. Berhubung hasil panen dan harga jualnya bagus, mulailah petani-petani lain ikut-ikutan menanam kentang. Kalau dibandingkan dengan tanaman lain yang bisa hidup di Dieng Plateau, tanaman kentang masih lebih menjanjikan. Untuk tanah seluas 2.500 meter, kentang bisa panen sampai tiga kali dalam setahun. Sekali panen, kalau bagus bisa sampai sepuluh ton. Harganya berkisar antara 4 ribu sampai 7 ribu rupiah per kilo. Trus si petani kentang ga perlu capai-capai ngejual karena banyak pedagang dari luar datang buat beli.
Tanah di Dieng Plateau sebenarnya bisa juga ditanami bawang. Tapi, petani di sana nggak terlalu tertarik karena panennya belum tentu berhasil. Trus, pembelinya nggak banyak dan bawang lebih cepat busuk (beda sama kentang tahan disimpan sampai 7 bulan). Tanaman kol dan Carica sebenarnya juga bisa ditanam di sana. Tapi engga banyak yang tertarik karena harga per kilonya paling cuma seribuan. Berhubung ongkos produksi tanaman kentang ini tinggi, ada juga pemilik tanah yang memilih untuk menyewakan tanahnya. Saya sempat ketemu dengan seorang buruh yang memilih kerja dibayar harian daripada minjem uang buat modal nanam kentang. Konon di kalangan petani kentang, ada semacam mitos kalau nanem kentang pakai duit pinjaman dari bank, pasti gagal panen. Tanahnya buruh tadi yang luasnya ribuan meter dipinjamin ke kerabatnya. Tiap kali panen, buruh tadi dapat bagian seperempat hasilnya.
Buat gambaran seberapa mahal ongkos nanem kentang, begini kira-kira. Untuk tanah seluas 2.500 meter, petani habis pupuk sekitar tiga kuintal. Harganya 98 ribu per 50 kilo. Trus, buat beli pestisida, kadang bisa sampai 5 jutaan sekali tanam. Biasanya, petani-petani butuh lebih banyak pestisida tiap musim hujan supaya kentangnya engga busuk. Kentang sekarang engga semenguntungkan sepuluh tahun yang lalu. Gara-gara tanahnya dah terlalu banyak diracuni sama zat kimia. Saya sering dapat cerita kalau dulu hasil panen kentang lebih menguntungkan. Dari tiga kali panen kentang dalam setahun, kalau pun gagal dua kali, hasil dari satu kali panennya bisa nutup kerugian panen lainnya. Wow! Sore harinya, saya jalan-jalan keliling kampung. Untuk moto-motoin rumah dan penduduk di sana sambil sekaligus pengen lihat anak gimbal dari dekat. Saya ketemu satu anak, namanya Nia. Sayang karena dah kesorean cahayanya nggak terlalu bagus, rambut dia nggak kelihatan gimbalnya waktu difoto.
Sebelum pulang, saya mampir bentar di Desa Sembungan. Desa tertinggi di Dieng Plateau ini suhunya dingiiiiinnnn banget! Saya sampai heran lihat ibu-ibu nyuci pagi-pagi di sungai. Hiii... apa nggak beku ya? Saya jalan-jalan bentar ke atas bukit buat lihat Telaga Cebongan dan desanya dari atas. Pemandangannya tetep sama. Kiri kanan, ku lihat saja, tanaman kentang melulu :P Uniknya, di papan pengumuman menuju perkampungan, desa ini ngeklaim sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa. Masa sih? Kalau nggak salah, tingginya “cuma” sekitar 2.300 meter. Kayaknya masih ada deh desa lain yang lebih tinggi.

Selasa, 10 Juli 2012

Ruwatan Gimbal, Dieng Plateau

Tadinya, saya sama sekali nggak ada niat untuk liat ruwatan rambut gimbal di Dieng. Berhubung Pak Hery, teman sekantor saya pergi ke desa-desa di Dieng Plateau untuk nemani beberapa mahasiswa dari Canada penelitian, saya khilaf ngikut.


Hari minggu, tanggal 1 Juli 2012, akhirnya kami bareng-bareng lihat acara ruwatannya. Jadi, di daerah Dieng, Wonosobo, ada anak-anak yang rambutnya gimbal kaya engga pernah dimandiin. Konon, mereka ini titisan Kyai Kolodente dan Nini Roro Ronce, leluhur masyarakat Dieng. Anak-anak ini tadinya berambut normal saat lahir. Waktu umurnya belum ada setahun, mereka demam tinggi dan tiba-tiba rambutnya berubah jadi gimbal. Rambut ini perlu diruwat supaya hilang. Sebelum dipotong rambutnya, anak-anak gimbal ini meminta sesuatu. Kalau permintaan tidak dituruti, rambut gimbalnya tumbuh lagi.

 Sekitar jam sembilan pagi, kami jalan-jalan ke Kompleks Candi Arjuna. Berhubung di sana mulai masuk musim kemarau, udaranya dingin banget. Yeah, pagi harinya di kebun depan rumah yang saya inapi sampai ada es. Saya harus pakai jaket dan sarung tangan waktu keluar rumah. Berhubung acara belum dimulai, kami jalan-jalan dulu muterin candi-candi di sana. Yang pertama kami datangi adalah Sendang Darmasala, tempat anak-anak gimbal nanti dimandiin. Tempat itu dikelilingi sama kain putih. Jalan menuju ke lokasi juga dipayungi kain putih panjang yang ternyata adalah: kain kafan. Di sana, sebelum dicukur, anak-anak gimbal bakal dimandiin pakai air dari 7 sumber mata air yang ada di seputaran Dieng dan kembang 7 warna.


Sekitar jam setengah sepuluhan kami balik lagi ke jalan. Dari buklet yang kami baca, akan ada kirab. Para pembawa sesaji, tokoh masyarakat, anak-anak gimbal bakal diarak dengan andong. Di barisan tadi ada juga dan rombongan kesenian tradisional. Kata bukletnya sih, arak-arakan tadi akan berhenti di depan pertigaan candi untuk atraksi. Pas jalan, kami ketemu banyak banget orang bawa kamera DSLR. Kayaknya mereka sengaja datang ke sana buat hunting foto. Banyak juga rombongan yang pakai kaus grup traveller. Sepertinya mereka datang dari kota-kota besar di Jawa. Hari itu, jalan di Dieng penuh dengan mobil-mobil luar kota.

Males desak-desakan di pinggir jalan, saya, Pita, Alexa, dan Anu nonton dari balkom di depan sebuah losmen. Berasa jadi penonton VIP deh. Dari balkon kami juga engga kepanasan. Dieng itu plateau yang bentuknya cekungan. Jadi suhu dan angin di sana dingin banget, cuma siang itu mataharinya ngebakar kulit. Setelah menunggu dan menunggu, sekitar jam 11 an, dari jauh terdengar bunyi-bunyian. Yeahh... akhirnya, pawai datang juga. Saya sempat sedikit kecewa karena ngarep yang bakal datang arak-arakan ramai. Ternyata cuma beberapa rombongan kecil.


Di barisan paling depan ada pemangku adat dan pembawa payung dengan hiasan warna emas. Diikuti belasan remaja putri berkebaya oranye, merah, dan putih mirip pager ayu kalo di acara nikahan. Habis itu ada dua andong dihiasi balon dan kertas krep yang engga terlalu meriah bawa anak-anak kecil. Kayaknya sih mereka anak-anak gimbal yang mau diruwat. Rambut mereka diiket pakai kain warna putih. Trus dibelakangnya ada dua gunungan kecil yang ditandu. Isinya hasil bumi. Lalu ada gerobak dorong berisi sepeda, kambing, dan beberapa kerdus.

Di antara rombongan ini, saya paling menikmati pas rombongan pemain musik tek-tek lewat. Itu semacam musik dari bambu dipukul-pukul yang banyak ditemui di seputaran Wonosobo dan Banjarnegara. Nadanya riang. Saya sama Pita aja tanpa sadar ikutan goyang-goyang.Dibelakang mereka ada grup barongsai. Saya sempat girang karena mungkin bakal dapat obyek buat difoto. Ternyata engga. Barongsay-barongsay ini berguling-guling nggak seru. Sesekali mereka sedikit meloncat dan lebih banyak tidur-tiduran di aspal. Ga asyik, deh. Di belakang mereka ada rombongan penari laki-laki. Mereka pakai kostum raksasa rambut keriting. Anu yang rambutnya ikal protes waktu lihat mereka. Katanya, di banyak negara orang sering menggambarkan raksasa atau mahluk jahat dengan rambut keriting. Dia merasa diskriminasikan :D Waktu jalan dan menari, kerincingan di sepatu mereka bunyi. Tarian dan kostum mereka mirip seperti tari topeng ireng yang banyak di seputaran Merbabu. Dan ternyata... arak-arakannya cuma selesai di sini aja. Sepertinya saya berharap terlalu banyak saat mendengar akan ada kirab.

Kami kemudian balik lagi ke candi dan kaget karena di sana ternyata rame banget. Ada kerumunan orang ngelilingi kain pembatas warna putih yang dijaga. Cuma orang-orang yang beli pass masuk yang dibolehin lewat. Kami boleh gabung gratisan karena yang jaga ngenali Alexa dan Anu sebagai mahasiswa asing yang lagi penelitian di Dieng. Di dalam kain juga penuh orang-orang bergerombol. Kami sampai nggak bisa ngelihat prosesinya. Saya nyoba moto dari belakang rombongan wartawan. Hiks, susah banget ngambil gambar. Ketutupan kepala dan tangan orang melulu. Saya lalu muter-muter buat nyari tempat yang lebih strategis. Dan hasilnya sama aja. Candi Arjuna tempat anak-anak gimbal dicukur tadi penuh penonton dari semua arah. Akhirnya saya milih untuk ngambil foto dari depan kursi pencukuran. Tetep ketutupan orang sih, cuma rada mendingan, setidaknya masih bisa ngelihat anak-anak yang mau dipotong rambutnya.

Sebelum acara potong rambut dimulai, MC nyebutin nama, alamat dan permintaan anak gimbal. Ada yang lugu banget, minta semangkuk bakso ada juga yang minta makanan ringan (nggak mau nyebut merk, ntar disangka iklan lagi J). Trus ada yang permintaan standar anak kecil: sepeda mini. Lucunya, ada juga yang minta kambing. Penonton pada komentar ke permintaan anak-anak tadi. Kalau yang diminta murah, pada komen kecewa. Kalau yang diminta barang mahal pada bilang “pinteerrr...” Setelah beberapa menit berdesak-desakan dan dengan kepala kesikut orang yang moto-moto, akhirnyaaa... saya dapat tempat juga. Jadi, mas-mas yang di depan saya berbaik hati ngasih tempatnya. Horee... bisa moto tanpa keganggu kepala-kepala dan kamera-kamera menjulur. Tapi, saya nggak bisa lama-lama di sana. Kepala saya pusing karena mataharinya nyengat banget.

Saya lalu balik ke Hotel Gunung Mas yang letaknya nggak jauh dari candi buat ngadem dan makan siang. Di sana, saya ngobrol-ngobrol bentar sama Mas Rahmat, yang punya hotel, tentang pariwisata di Dieng. Dia cerita kalau turis di Dieng kebanyakan cuma mampir dari liburan di Jogja. Selain pas ada festival, cuma ada satu dua orang yang nginap kalau pas akhir pekan atau liburan. Pegiat wisata di Dieng belum bisa ngemas obyek-obyek yang ada di sana selain lihat sunrise buat narik turis supaya tinggal lebih lama. Saya sempat mutar-mutar bentar di Hotel Gunung Mas. Kata Mas Rahmat, penginapannya yang dibuka tahun 70-an jadi salah satu penginapan tertua di Dieng. Kalau dibandingin tempat lain yang pernah saya inapi di Dieng sih, hotelnya agak beda. Ruangannya lebih bersih, ada fasilitas air panas, parkirnya lebih luas, trus yang punya asyik diajak ngobrol. Agak sorean, Mas Rahmat nganter saya ke desa tempat saya menginap.

Di jalan sebelum pintu masuk telaga warna, saya turun buat jalan ke sebuah bukit. Sekitar sepuluh tahun lalu, saya berkali-kali datang ke Dieng. Tiap kali datang ke suatu tempat, saya selalu nyari tempat paling tinggi. Buat ngelihat langit, matahari terbit dan terbenam, atau sekadar liat atap-atap rumah. Dulu, jalan kecil yang buat lihat telaga warna dari atas jarang dilewati orang. Masih banyak alang-alang. Tapi sekarang jalannya lebih lebar tapi mulai ada sampah bertebaran. Sayang, pas mau moto telaganya, kontrasnya masih tinggi banget. Batal dapet foto bagus deh.


Malam harinya, saya seperti biasa nongkrong di perapian bareng Mas Supri, tuan rumah saya. Di Dieng Plateau, saking dinginnya orang kalau bertamu atau ngobrol lebih sering di dapur daripada di ruang tamu. Biasanya, saudara-saudara Mas Supri yang tinggal nggak jauh dari sana ikutan gabung. Saudara istri Mas Supri cerita kalau dulu anaknya gimbal juga. Katanya, kalau di desa Si Kunang, anak-anak gimbal engga pakai ruwatan. Cuma ada acara syukuran sehabis potong rambut. Kata mereka, anak-anak gimbal tadi awalnya punya rambut kaya orang biasa. Pas umurnya belum ada setahun, rambut gimbal tadi tumbuh sendiri. Biasanya, didahului dengan demam tinggi. Kadang sampai kejang-kejang. Kalau sudah waktunya rambut tadi dicukur, anak-anak tadi meminta sesuatu. Orangtuanya tahu itu pertanda rambutnya siap dicukur kalau permintaan tadi diulang-ulang. Setelah dicukur, rambutnya dibuang ke Sungai Serayu atau Sungai Tulis yang bermuara ke Laut Selatan. Orang-orang yang saya temui cerita kalau pernah ada orangtua di desa Sikunang yang motong rambut anaknya tanpa nurutin permintaannya. Rambut tadi tumbuh gimbal lagi meski dipotong sampai tiga kali.

Jumat, 22 Juni 2012

Bali , Cuma Numpang Lewat Pas Kuningan :P

Horee jalan-jalan lagi. Pagi ini saya sampai di Bandara Ngurah Rai, Bali. Sebenarnya tujuan liburan saya ke Lombok untuk melihat festival Bau Nyale. Karena saya ingin jalan-jalan dulu, saya memilih terbang ke Bali dan nanti menyebrang. Kali ini saya memilih Garuda karena maskapai penerbangan lain dari Jogja jadwalnya nggak enak banget. Masa sampai di Bali jam 11 malam! Kayaknya bukan penerbangan yang ramah untuk orang-orang yang gampang kena insomnia seperti saya.


Saya sampai di Bali sekitar jam 10 pagi. Setelah bengong sebentar di bandara sambil melihat peta, akhirnya saya memutuskan untuk mencari mobil sewaan. Saat berjalan menuju pintu keluar bandara, belasan sopir mobil sewaan menawarkan jasanya. Saat saya menyebut ingin ke Padang Bai pukul empat sore dan sebelumnya saya ingin berputar-putar dahulu, beberapa sopir menawarkan angka 700 ribu. Eh, tolong ya? Kayaknya rental mobil 24 jam nggak semahal itu.

Akhirnya, ada seorang sopir yang menyebut angka 325 ribu. Harga tadi cukup wajar (saya sempat mengambil brosur sewa mobil di bandara, semuanya menawarkan harga 350 ribu untuk sewa Avanza per lima jam). Jadilah saya pergi dengan mobilnya. Namanya Pak Komang, orang asli Tabanan. Dia sempat heran waktu saya bilang saya nggak punya ide mau ke mana. Saya cuma pengen lihat-lihat saja karena belum pernah ke Bali. (pernah sih, tapi sepertinya kesasar kaya gini nggak masuk hitungan jalan-jalan). Untuk Pak Komang, seorang cewek jalan sendirian itu hal yang aneh. Gimana nanti kalau ada apa-apa di jalan? Saya cuma jawab, bahaya tu ada di mana-mana. Nyenenginnya lihat tempat baru dan ngamatin orang jauh lebih berharga daripada resiko kena apa-apa di jalan.

Kami terus jalan ke arah Kuta. Tadinya sih saya hampir tergoda untuk berhenti di sebuah pusat pertokoan karena ada baju lucu-lucu dengan tulisan SALE 50% off di mana-mana. Tapi masa jauh-jauh ke Bali cuma buat belanja ke toko yang barangnya juga di jual di Jogja dan banyak tempat. Nggak asik ah. Ya sudah, saya batalin aja niat tadi.

Habis itu kami lewat Pantai Kuta. Kalau misalnya saya mau jalan-jalan di pantai, Pak Komang nawarin untuk nunggu di tempat parkir. Berhubung sepertinya terlalu banyak orang (saya nggak terlalu tertarik dengan daerah yang turis banget), saya jadi malas berhenti. Akhirnya, mobil jalan terus.
 
Bali, Sabtu itu kelihatan ramai dengan hiasan. Sepanjang jalan yang kami lewati, ada umbul-umbul dari janur. Di tiap perempatan selalu ada timbunan sesaji. Mobil dan motor yang lewat pun sebagian besar berhias janur. Kata Pak Komang, hari itu ada perayaan Kuningan. Itu semacam lebaran kalau untuk orang Islam. Acara itu diadakan sepuluh hari setelah Galungan. Umat Hindhu Bali pada ke pura pagi dan sore hari. Biasanya mereka kemudian datang berkunjung ke rumah kerabatnya.

Ok, sepertinya saya sudah menemukan tujuan untuk jalan-jalan. Saya meminta Pak Komang untuk mengantar saya ke pura-pura yang dipakai sembahyang sepanjang perjalanan ke padang Bai. Pura pertama yang saya datangi adalah Pura Jagatnata di Denpasar. Ada banyak orang sedang bersembahyang di sana. Rata-rata pergi bersama keluarganya.

Bapak penjaga pura meminjami saya kain supaya saya bisa masuk dan melihat-lihat. Bapak tadi menawarkan kalau saya ingin melihat upacara yang lebih ramai, nanti sore saya boleh ikut dia ke Pura Sekenan. Dia memimpin upacara di sana. Aduh pengen, sayangnya saya harus sampai di Padang Bai jam empat sore supaya tidak kemalaman sampai Mataram.


Sebelum memoto, saya duduk sebentar untuk mengamati orang sembahyang. Entah kenapa, saya suka melihat upacara agama. Biasanya, kalau pergi ke sebuah kota, saya sering mampir ke kelenteng. Hanya untuk melihat orang sembahyang sambil kadang iseng mengambil ciamsi. Oh iya, di sini tahu-tahu ada penjual makanan nawarin lontong ke saya pakai Bahasa Inggris. Entah kenapa kalau di tempat wisata atau bandara, orang sering mikir saya turis dari negara lain.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Pak Komang menunjukkan sebuah gereja yang bentuknya mirip dengan pura. Bedanya, patung-patung di sana diganti dengan Bunda Maria. Kami juga mampir ke tempat penjual peralatan sembahyang. Saya di sana untuk mencari kain kotak-kotak titipan ayah. Dan, saya hampir lapar mata melihat kain-kain bali yang kebanyakan dihiasi benang-benag emas. Setelah berusaha menahan diri, akhirnya saya mengambil sebuah karena di rumah saya belum punya kain ikat bali.

Saat lewat jembatan di daerah Belahbatu. Saya tidak sengaja melihat bangunan berwarna merah menyala di bawah jembatan tertutup oleh pepohonan. Saat tahu bangunan tadi kelenteng, saya meminta pak Komang untuk berhenti. Untuk pergi ke kelenteng tadi, saya harus menuruni banyak sekali tangga. Di depan kelenteng tulisannya wihara. Tapi di sana ada patung barongsay dan tempat dupa. Sepertinya ini salah satu korban diskriminasi agama tahun 66an. Yeah, dulu agama Kong Hu Cu sempat tidak diakui jadi agama (baca Para Pemuja Matahari ).


Kelenteng tadi dikelilingi pepohonan yang asri. Di bawahnya malah ada air terjun buatan. Sebenarnya saya tertarik untuk turun ke sungai dan melihat tapak kaki Buddha. Sayang, tangga ke bawahnya terlalu banyak. Betis saya nyeri tiap dipakai naik turun tangga gara-gara dua hari sebelumnya salah di pijit waktu spa. Apalagi di bawah saya melihat beberapa ekor kera abu-abu sebesar anjing sedang berjemur. Gimana kalau nanti tiba-tiba mereka ngejar? Saya kan nggak bisa lari.

Rencananya, saya ingin makan di restoran yang punya menu masakan Bali. Sayang, karena hampir semua penduduk asli Bali pergi sembahyang, hari itu kebanyakan warung tutup. Terpaksa deh makan sate Madura. Hadeh!

Diantara pura-pura yang saya datangi, yang paling menarik adalah Pura Gua Lawah Klungkung. Ini letaknya nggak jauh dari Padang Bai. Waktu asyik memoto orang-orang yang sedang sembahyang, saya mendengar suara ribut. Berdengung-dengung dan sepertinya pernah saya dengar. Mirip seperti kepakan ratusan sayap dan cicitan kelelawar. Suara tadi berasal dari gua tempat para umat menaruh sesaji.

Waktu saya dekati gua tadi, ternyataa... ada banyak kelelawar menempel di langit-langit gua. Jumlahnya ratusan! Beberapa beterbangan. Huaaa... Kok orang-orang yang sembahyang dan naruh sesaji nggak jijik atau takut ya? Dan kelelawar-kelelawar tadi kayaknya nggak keganggu dengan orang-orang yang hilir-mudik. Aneh, biasanya kan kelelawar tinggal di pohon atau gua yang jarang didatangi orang.


Mobil sampai di Padang Bai sekitar jam setengah empat. Akhirnya saya bayar Pak Komang 360 ribu karena dia cuma punya kembalian 40 ribu waktu saya ngasih empat lembar seratus ribuan. Karena nggak ngerti di mana tempat nunggu bus ke arah Mataram, saya jalan ke kantor polisi untuk tanya.

Dan ternyata saudara-saudara, bapak polisi tadi bilang kalau mau nunggu bus ke Mataram, nyetopnya di Denpasar. Hah, ngapain juga saya jauh-jauh ke sini? Karena bapak-bapak polisi tadi kasihan lihat saya yang kaya anak SMA ilang, mereka nyuruh saya nunggu di pos. Ntar, kalau ada bus atau mobil ke Mataram, saya dititipin. Nggak sampai setengah jam, ada bus malam yang mau pergi ke arah Mataram. Jadilah saya nebeng bus tadi. Horee... Waktu ngobrol sama sopir dan keneknya, ternyata bus tadi dari Jogja!

Pas duduk di kabin kapal, saya agak risih karena digodain beberapa orang. Kayaknya cowok-cowok di Indonesia tu nggak bisa lihat cewek cantik sendirian deh (hi..hi.. narsisnya kumat). Akhirnya saya pergi ke dek dan gabung sama orang yang lagi pacaran. Perempuannya dari Jepang, menurut saya, umurnya sekitar awal 40-an. Dia tipe yang ibu-ibu banget. Gemuk dan ramah. Trus yang laki-laki orang Bali, kayaknya lebih muda. Awalnya, saya mikir mereka pasangan yang baru nikah karena kelihatan mesra banget. Ternyata, mereka tu dah belasan tahun nikah dan punya dua anak.

Mereka cerita tentang gimana si perempuan yang pecinta bulan datang ke Bali gara-gara temennya bilang kalau purnama di Bali lebih besar. Dan, di Bali dia ketemu sama jodohnya. Manis sekaliii... Apalagi sambil cerita, mereka saling memandang satu sama lain sambil tersenyum dan sesekali meluk.

Kami berhenti ngobrol waktu ngelihat langit mulai berubah warna. Ada awan-awan berwarna merah bikin lukisan mirip naga api terbang di atas garis laut. Keren banget. Kami langsung ngeluarin kamera dan berkali-kali moto (sayang, warnanya di kamera berubah). Saya sempat bengong saking terpesonanya. Entah kenapa saya tiba-tiba nyanyi lagu pelangi-pelangi.

Setelah gelap, saya mulai bosan. Bingung mo ngapain. Berhubung anginnya mulai kenceng, saya balik ke dalam. Ngeluarin laptop, modem, dan pasang tampang serius supaya nggak disapa-sapa orang iseng.

Minggu, 22 April 2012

Dan Kesampaian juga Rafting Bambu di Loksado

Waktu langit mulai terang, saya, Atik, dan Iggy jalan-jalan pagi. Niatnya sih pengen sampai ke Kebun Buah Malaris. Di kiri-kanan jalan, kami lewat rumah-rumah Suku Dayak di Desa Malaris yang rata-rata terbuat dari papan. Ayam sama anjing berkeliaran di halaman. Biasanya, tiap rumah masang jaring supaya ayam engga masuk ke rumah. Pagi itu, banyak anak kecil lari-larian. Mainannya agak sadis. Mereka ngetapelin ayam pake karet gelang yang dijalin tebel. Kalo kena, mereka kesenengan tiap ayamnya berkeok-keok.


Keluar dari perkampungan, kami jalan lewat ladang-ladang yang ditanami padi. Di sana padi engga ditanam di dalam air kaya di Jawa. Mungkin itu juga yang bikin beras yang saya makan di sana lebih keras. Setelah ngelewatin ladang, kami lewat tengah-tengah hutan karet. Pohon-pohon tadi pada disayat-sayat. Trus di ujung sayatan tadi ada cawan dari batok kelapa buat nampung getahnya.

Pas kami kebingungan nyari jalan ke kebun buah, ada dua bocah laki-laki lewat. Mungkin umur mereka sekitar sembilan tahunan. Pas kami tanya, mereka bilang mau pergi ke kebun untuk metik duren. Ya sudah, kami ikutin aja. Tapi dua adek tadi jalannya cepet banget. Kami yang ngintil setengah berlari aja ketinggalan jauh.

Di tengah jalan, kami ketemu sama nenek-nenek. Dia pakai baju kaya kebaya, jarit, dan ada kain buat nutup kepala. Namanya Uma Dian (Uma itu artinya ibu, Dian itu nama anak pertamanya. Di Dayak, orang yang sudah punya anak dipanggil pakai nama anak pertamanya). Uma Dian cerita kalau dia habis dari hutan buat nyari ulat dan sayuran buat dimasak. Denger ada menu aneh, saya langsung penasaran. Siapa tahu bisa ngicip. Pas nanya-nanya gimana cara nengkep ulatnya, Uma Dian nunjukin batang pohon kering yang penuh jamur berbentuk kembang. Oh ternyata dia bilang kulat, itu sebutan untuk jamur dalam bahasa lokal.

Tadinya, kami mau lanjut jalan sampai ke kebun buah. Berhubung anak kecil yang kami ikuti tadi dah terlalu jauh dan kayaknya bakal capek banget, kami ngikutin Uma Dian duduk-duduk di gubuk yang ada di tengah ladangnya. Dia nyalain api di bawah buat ngusir nyamuk. Di sana tu nyamuknya banyak banget. Gara-gara lupa pakai anti nyamuk, badan saya sampai bentol-bentol.

Uma tadi cerita kalau dia ibu enam anak, dua diantaranya dah meninggal. Dia nggak tahu umurnya berapa. Nggak pernah ngitung soalnya. Tiap hari dia bangun sekitar jam empat pagi buat masak dan beres-beres. Habis itu, dia pergi ke hutan buat nyari sayuran. Supaya tepat waktu, ni ibu pakai arloji.  Uma Dian juga cerita kalau dia kesulitan ngejual panennya di Loksado. Dia pengen supaya anaknya yang di kota ambil hasil panen tadi buat di jual di sana. Sayangnya, ibu tadi nggak tahu cara ngehubungin anaknya.


Pas ngelihat gelang anyaman yang saya pakai, Uma Dian tanya begini  “Itu dibuat sama anak-anak sini ya?” Saya menggeleng trus cerita. Gelang tadi saya beli di Baduy. Itu di Jawa, jauh dari sini harus lewat laut. Yang saya denger, dulu sekitar tahun 80-an ada antropolog yang lama punya penelitian di Baduy. Nah, dia pengen ngajak orang-orang Baduy punya alternatif pendapatan selain pertanian. Berhubung sebelumnya antropolog tadi sempat ke Kalimantan, dia lalu ngajarin cara bikin gelang-gelang tadi supaya bisa dijual jadi souvenir. Kalau cerita tadi benar, gelang tadi keturunannya gelang-gelang yang ada di Kalimantan. Yeah, saya bawa satu gelang buat ketemu leluhurnya. 

Habis ngobrol-ngobrol, kami jalan-jalan di sekitar ladang Uma Dian. Pemandangannya bagus lo. Dari jauh kelihatan hutan yang berbukit-bukit. Sebagian masih ketutup kabut. Udara dingin di sana juga nyenengin buat main-main. Tiap kali saya buka mulut, udara hangat yang keluar bentuk asap. Kayak orang ngerokok gitu.
Habis itu kami balik ke pos informasi untuk njemput Ableh dan Siti. Trus kami turun ke Sungai Amandit buat rafting bambu. Nggak pake mandi dulu, toh nanti juga bakal basah :D Kami nyewa dua rakit. Bayarnyanya 250 ribu per buah. Rakit ini terbuat dari susunan bambu yang diikat pakai tali dari bambu. Barang ini dirakit tiap kali ada yang nyewa. Satu rakit dikendarai sama seorang tukang. Dia ngedayung pakai bilah bambu. Penumpang-penumpangnya pada duduk di bangku dari bambu.

Dan, mulailah kami memulai perjalanan naik rakit bambu yang terkenal itu. Iklan pinggir jalan mau ke Loksado dan buklet wisata selalu nyebut rafting jadi obyek andalan tempat ini. Ga ketinggalan Lonely Planet juga nyebut rafting bambu sebagai Kalimantan Top Jugle Adventures (yang kemudian diamini banyak orang yang menyebut dirinya traveller). Biasanya sih saya males didekte sama buku panduan perjalanan. Dulu pernah pas nyusurin Flores bareng sama teman yang nganggep Lonely Planet tu buku sakti yang wajib ditaati, saya ngikutin dia milih semua penginapan dan rumah makan berdasar panduan. Dan di sepanjang perjalanan, kami berkali-kali ketemu bule yang sama yang juga taat pada buku tadi. Ga kreatif banget. Tapi akhirnya saya ikutan rafting karena nemenin Atik yang ngidam. Sejak sebelum berangkat, Atik selalu bilang ini wajib dicoba. Waktu saya bilang apa bedanya sama naik getek, di deket Jogja juga banyak, Atik ngeles.
Katanya, ini kan sungai Amandit, Kalimantan gitu loh.

Awalnya, saya cukup menikmati rafting ini. Rakit bambu yang kami naiki jalan pelan. Angin sepoi-sepoinya bikin pengen tidur. Saya suka nyelupin kaki ke air sungai Amandit yang jernih. Awalnya sih kami menikmati banget foto-foto sambil teriak-teriak dan main air. Kalau engga ya ngelihatin orang-orang lagi nyuci atau ladang-ladang di pinggir sungai. Habis itu nyanyi-nyanyi nggak pake nada nggak jelas gitu. Tapi, setelah satu jam, kok kayaknya lama-lama hal tadi ngebosenin ya? Mana hari mulai panas lagi. Lama-lama kami kehabisan ide bahan lawakan trus diem, bingung mo ngapain. Apalagi, kebetulan kami datang pas sungainya lagi surut. Rakitnya berkali-kali nyangkut di batu-batu. Nggak seru karena nggak ada sesi basah-basahan.
Saking bosennya, pas rakitnya berhenti, kami nyebur ke sungai buat berenang-renang. Kayaknya nggak afdol kalo rafting tapi bajunya masih kering  Itu aja sempat nyesel, kenapa nggak bawa sabun buat mandi sekalian. Daannn... akhirnya, setelah perjalanan sekitar 3 jam kami sampai juga. Bonus kulit gosong akibat lupa pakai sunblock.

Pas balik ke Pos Malaris, anak-anak pada bilang kalau nggak ada air. Listrik mati sejak pagi. Yeah, akhirnya kesampaian juga mandi di sungainya Kalimantan. Awalnya sempat bingung juga. Nyari sungai yang agak jauh dari jalan atau rumah orang. Biar nggak diliatin orang. 

Hah, sudah waktunya pulang. Kok kaya cepet banget ya? Sebenarnya sih saya masih pengen berhari-hari. Ngikutin petani hutan ngambil kayu manis ke hutan atau lihat air terjun lain. Sayang, yang lain harus pulang karena ada kerjaan. Sebelum pulang, Amat—teman dari Desa Malaris bikinin saya dan Iggy dibuatin gelang dari Alang-am. Karena dianyamnya langsung di tangan, gelang ini nggak bisa dilepas. Atik nggak kebagian karena dia dah ngasih jatahnya ke Joshua tadi malem.

Ok, cerita Loksado berhenti di sini, tapi baca terus ya? Masih ada cerita tentang jalan-jalan di tambang berlian.
 

Rabu, 18 April 2012

Jalan-jalan ke Air Terjun Haratai, Loksado



Begitu turun dari angkot, kami langsung mondar-mandir di pinggir Sungai Amandit. Sungainya engga sebesar dan sedalam yang bayangan saya. Trus waktu sebelumnya Ableh bilang Loksado dingin, saya ngebayanginnya minimal kaya Kaliurang di Jogja. Ternyata, engga dingin-dingin banget. Padahal, saya sama Atik dah siap-siap bawa sleeping bag sama kaus kaki buat tidur.

Kami trus nongkrong di depan warung makan. Daripada ntar kelaperan pas jalan-jalan, kami makan siang dulu. Atik dan yang lain pesen Indomie kuah Lima Kuit. Kata Bayu, tu Indomie cuma ada di Kalimantan Selatan. Dulu, temennya ada lo yang keluar kota sampai bawa satu kardus buat persediaan karena suka kangen sama masakan Banjar. Saya mah lebih milih makan pake ikan haruan alias gabus. Di sini saya juga nyobain buah cempedak yang digoreng pake tepung. Rasanya enak juga.

Karena Teddy, temen Ableh gabung dan dapat pinjeman motor, kami bisa boncengan berenam. Mulailah kami pergi ke air Terjun Haratai, Ableh bilang, ada beberapa air terjun lain yang lebih alami karena jarang didatangi. Cuma jalannya lebih jelek dan kayaknya, ntar bakal hujan. Akhirnya kita pergi ke Haratai. Sepanjang perjalanan ke sana, kami lewat beberapa perkampungan Dayak. Kebanyakan rumahnya dari papan. Lalu di halaman banyak rumah, ada pohon-pohon anggrek yang diambil dari hutan. Sayang, lagi pada engga berbunga. Yang saya denger sih, Loksado kaya banget dengan anggrek. Ada ratusan jenis di sana dan kebanyakan tumbuhan endemik.


Kami trus lewat jalan setapak berbatu-batu. Nggak enak banget deh buat perut. Kaya dikocok-kocok gitu. Kayaknya, kalau yang lewat sini ibu hamil, dia bisa keguguran deh. Jalannya bergelombang mengerikan. Naik motor harus hati-hati kalau nggak mau terpeleset dan jatuh. Mana jalannya licin dan kadang di kiri jalan kalau nggak sungai ya jurang. Trus jalannya juga berkelok-kelok. Jadi kalau ada motor dari arah berlawanan suka nggak kelihatan. Karena sempit, mobil nggak bisa lewat jalan ini.

Sepanjang jalan ke air terjun, kami lewat 3 jembatan gantung panjang yang terbuat jalinan papan dari kayu ulin. Kalau ada kendaraan lewat, jembatan ini bunyi kretek-kretek. Keras banget kaya mau ambrol gitu. Saya sama Iggy jadi berasa punya mainan baru. Tiap lewat jembatan, Iggy sengaja nambah kecepatan. Habis itu kami teriak-teriak pas lewat diatasnya. Nyenengin lo! Tapi rada kurang kerjaan banget. Untung aja jalannya sepi. Kalau kedengaran orang lain kan malu :D Sebenarnya, jarak ke air terjun tu cuma 9 kilo, tapi kami butuh waktu lebih dari sejam buat sampai ke sana.

Akhirnya kami sampai juga. Turun dari motor, kami harus jalan kaki nuruni tangga dan lewat jembatan. Sebelum air terjun, ada sungai yang airnya deres dan jerniihhh banget (kalau dibandingin sungai yang saya lihat kemarin di Banjarmasin maksudnya :P) Udara di sana seger, beda sama Banjarmasin yang ga enak banget.

Air terjunnya lumayan gede. Tidak mengecewakan lah. Kalau mau lihat air terjunnya dari dekat, kita harus loncat di batu-batu gede. Di bawahnya sungai yang lumayan dalem yang kalau jatuh serem deh. Anak-anak yang lain pada loncat ke dekat air terjun. Awalnya saya nggak mau ke sana. Saya kan agak-agak phobi sama tempat tinggi. Mana gemuruh air terjunnya bikin batu-batu bergetar mirip kaya gempa bumi. Tadinya sih sempat paranoid, saya kan sejak kemarin belum istirahat. Gimana kalau ntar tiba-tiba ngantuk, kehilangan keseimbangan, dan kepeleset?

Berhubung anak-anak yang lain pada manggil-manggil, akhirnya saya nyusul mereka juga. Ternyata, mereka cuma butuh tambahan orang buat motoin. Dasar narsis! Saya heran lihat Atik diam saja. Ternyata dia sedang merenungi nasib kameranya yang beberapa menit lalu kecebur. Kayaknya sih engga bakal bisa nyala lagi karena konslet. Soalnya pas masih basah tadi berusaha dinyalain. Saya dan Iggy punya cara aneh untuk menghibur Atik. Kita nyuruh dia pasang tampang meratapi nasib sambil ngeliatin kameranya trus kita fotoin. Ini foto terakhir Atik bawa kamera yang masih bisa dipakai.


Bosen lihat air terjun, kami jalan lagi. Sebelumnya, kami duduk-duduk di gazebu. Sebenarnya pemandangan di sana asyik, sayang banyak orang nulisin namanya di batu dan di kayu. Bikin jelek. Pernah nggak sih tukang corat-coret mikir: Emang kenapa kalo Adi atau entah siapa pernah di sana? Nggak penting banget! Pengunjung lain kan kenal aja engga!

Pas balik, tiba-tiba turun hujan. Teddy ngajakin kita berhenti di sebuah kampung Suku Dayak. Kita numpang berteduh di rumah Pak RT. Rumahnya berbentuk rumah panggung dari papan. Di terasnya penuh ikatan besar kayu manis kering dan karung kemiri buat dijual. Di sebelah ruang tamu, ada ruang luas yang digelari tikar rotan. Dinding rumahnya penuh dengan poster artis jaman bahuela. Mulai dari almarhum Nike Ardila, Desi Ratnasari, dan Paramita Rusady yang masih kelihatan muda banget di jaman keemasan mereka.

Kami nongkrong di sana lumayan lama sambil nunggu hujan reda. Untung aja bapaknya asyik diajakin ngobrol. Dia cerita banyak hal. Mulai dari harga kayu manis sekilo, duit 20 juta yang harus dikeluarkan lelaki Dayak buat “membeli” mempelai perempuan, sampai jampi-jampi suku Dayak. Pak RT cerita kalau dia punya semacam ajian pengasih. Ada banyak orang datang dari jauh karena pengen jadiin seseorang istri kedua atau ketiga. Bapaknya malah nawar-nawarin siapa tahu kami butuh bantuan. Trus dia juga bilang kalau buat cewek-cewek, dia punya ramuan yang bikin seseorang jadi kelihatan cantik. Saya sih cuma ketawa dan dengan narsisnya bilang “Makasih pak, saya dah cantik sejak lahir kok.”

Ableh yang sejak tadi duduk nyender di dinding, entah kenapa tiba-tiba bisa terkapar dan tidur nyenyak. Kita mpe ketawa denger dia ngorok. Tadinya sih saya sempat pengen iseng nyabut bulu kakinya. Pasti sakit dan dia kebangun kan? Tapi batal gara-gara saya inget kalo kmrin dia kurang tidur gara-gara jemput saya yang pesawatnya delay.

Waktu hujan agak reda, kami jalan lagi ke Desa Malaris. Kami trus nebeng tidur di Pos Informasi di Desa Malaris. Temen-temen di sana dah kenal baik sama Ableh dan Siti yang berkali-kali ke sana. Sorenya, kami jalan-jalan ke kebun buat metik buah kapul. Tu buah kayaknya masih saudaraan sama manggis. Cuma warna kulitnya coklat kaya duku dan lebih bergetah. Buat ke sana, kami nglewatin bendungan yang airnya jernih dan bentuknya mirip kaya air terjun. Sama harus nyebrang sungai. Horee.. mainan air lagi.

Malemnya, pas kami nongkrong-nongkrong di teras rumah, ada 3 orang bule lewat. Ga tau siapa yang nyapa duluan, tu bule akhirnya gabung sama kami duduk-duduk dan ngicipin kapul sama langsat. Tadinya, saya, Iggy, dan Atik mau bikin gelang dari alang-am. Itu nama lokal buat tumbuhan merambat yang dibuat jadi semacam tali sama Suku Dayak. Dulu (sekarang masih), suku Dayak nganyam tali yang dibuat dari tanaman tadi buat ikatan mandaunya. Nah, sama banyak anak muda Dayak, tali tadi dibikin jadi gelang yang langsung dibuat ditangan. Konon katanya, gelang ini bisa tahan dipake sampai tiga tahun meski tiap hari dipakai mandi (nggak bisa dilepas soalnya).

Denger cerita tadi, salah satu bule yang namanya Joshua pasang tampang memelas. Dia pengen banget bisa make gelang tadi. Sayangnya, talinya cuma ada tiga. Saking pengennya, Joshua ngaku-ngaku kalo hari itu dia ulang tahun dan mau gelang sebagai kadonya. Gara-gara Joshua ngaku kalo di negerinya dia penyanyi, kami maksa Joshua nyanyi. Berhubung dia butuh lagu pengiring, dia nyalain iphonenya dan muter lagu “single lady”nya Beyonce. Joshua menikmati banget nyanyi sambil nari-nari. Dia cuek aja goyang-goyang meski ga apal lagunya. Dia cuma bisa ngikutin lagunya pas bagian “Ooo Ooo” doang. Akhirnya Atik ngerelain tali jatahnya buat Joshua.

Malemnya, kami pergi ke Pemandian Air Panas Tanuhi. Sepiiii banget. Berasa jadi pemilik tempat tadi deh. Air di sana dah dialirin ke kolam-kolam besar. Airnya masih panas tapi dah nggak bau belerang. Pas nyebur, sumpeh deh panas banget. Berasa kaya direbus! Apalagi tadi kan kami habis kedinginan gara-gara jalan-jalan malam. Tapi enaknya, mandi belerang bikin tubuh seger trus tidur nyenyak.

Tulisan ini lanjutan dari Jalan-jalan di Lok Baitan sama Wisata Kuliner di Kandangan . Trus baca lanjutannya juga waktu saya ngiler lihat berlian ditambang.

Senin, 16 April 2012

Wisata Kuliner di Kandangan, Kalimantan Selatan

Aslinya, di kandangan kami cuma mampir karena dah nggak ada kendaraan ke Loksado kalau malam. Habis magrib, Wahid ngajak kami makan malam ketupat Kandangan. Tepatnya di Jalan Jendral Ahmad Yani, Parincahan. Di sana ada warung ketupat berjejer. Kami pergi ke warung namanya: Sejahtera Al Amin, langganan Wahid.

Menu andalan di sana ketupat dengan lauk ikan gabus (di sana disebut haruan) trus disiram pakai santan manis. Kuahnya enak. Kata Wahid, ketupat kandangan lebih enak dimakan pake tangan. Sebelumnya, ketupatnya dilumat dulu supaya kuahnya merasuk. Enaknya lagi, kita ditraktir sama Wahid. Horee... Dia abis dapet order moto ceritanya.
Kami pulang dan langsung tidur karena kecapean. Tadinya sih anak-anak Klub pecinta Alam ngajakin bangun jam dua pagi trus jalan-jalan nyari makan di Pasar Wadai Kandangan. Katanya lagi, tu pasar ada banyak banget tukang jual wadai (kue) lokal. Tapi ternyata, kita tepar.

Paginya, kita diajakin sama Upit buat jalan-jalan ke pasar kandangan. Pasarnya becek gara-gara semalem habis hujan. Tapi asyik, di sini ada banyak banget buah-buahan yang saya engga pernah lihat. Atik beli buah yang mirip kaya nangka muda. Dimakannya dipotong kecil-kecil trus pakai bumbu kacang dihaluskan.

Trus dipojokan, ada pedagang jual barang-barang dari rotan dan pandan. Ada tiker, tempat nasi, keranjang. Lucu-lucu dan murah-murah deh buat tempat penyimpanan. Sayang, bawanya ribet.
Ikan-ikan sungai di sana juga besar-besar (kalau dibandingkan dengan di Jogja maksudnya). Lebih nyenengin lagi, di tempat ini banyaakkk... banget jajanan pasar. Sampai bingung milihnya. Trus kayaknya rasanya manis-manis. Kami akhirnya ambil tulang ayam dan para-para. Mirip seperti klepon, cuma bentuknya pipih dan lebih lengket.

Upit yang penasaran pengen nunjukin kita rasa pundut, ngajakin keliling pakai motor. Kita nanyain ke tukang jual sarapan satu-satu. Ada nggak yang jual pundut, untung akhirnya dapet juga. Pundut itu ternyata semacam nasi bersantan yang dikukus dalam bungkusan daun pisang. Dimakannya bareng sambal manis yang ada rasa asamnya mirip rasa belimbing karena dicampur binjai. Enak. Bisa dimakan juga pakai lauk.
Abis itu kami makan duren. Nggak tahu tu semalem dapet dari mana. Berhubung sampai dengan hari ini saya nggak suka bau duren, makannya pake sendok supaya nggak nempel di tangan.

Habis mandi, kami dah ditungguin sama angkot ke Loksado. Aslinya tu mobil pick up yang diberi dua kursi memanjang dan atap. Saya, Atik, dan Iggy naik ne angkot. Di dalam dah ada galon air, drigen minyak, dan tikar. Ableh sama Siti nyusul di belakang pake motor.

Sebelum jalan ke Loksado, angkotnya berhenti dulu di tukang jual minyak tanah. Si Bapak beli minyak banyak banget. Mobil trus jalan ke luar kota. Pas mulai masuk daerah desa-desa, Iggy dengan lebaynya teriak-teriak. Kayaknya dia seneng banget akhirnya bisa kabur dari kerjaannya.

Sebelum tulisan ini ada cerita tentang Jalan-jalan di Pasar Terapung Lok Baitan lo, Trus habis itu kami main ke air terjun dan ditawari aji-ajian pengasih sama orang Dayak! Baca terus ya?