Rabu, 30 November 2011

Menyusuri Cantiknya Sungai di Bumi Sriwijaya



Saya baru sekali pergi berlibur sendirian. Pertengahan Maret 2009 lalu, saat berkunjung ke Kota Palembang dan Bangka. Sebelumnya, saya mencari info tentang tempat wisata di Palembang dari beberapa teman. Semua kenalan yang pernah berkunjung ke Kota Palembang beranggapan di kota itu tidak memiliki tempat wisata yang menarik. Kata mereka juga, penduduk di sana juga tidak ramah terhadap pendatang. Buku panduan perjalanan dan peta wisata yang saya baca juga menyebutkan hal senada. Palembang adalah kota yang pernah menjadi ibukota negeri besar bernama Sriwijaya, tapi kini tidak banyak peninggalan yang tersisa.

Karena petugas dari Garuda Holiday salah memesan tiket, saya sampai di Palembang hari Kamis malam. Terlambat dua hari dari jadwal semula. Saya langsung pergi ke hotel karena sudah terlalu malam dan lelah. Pukul enam pagi, saya bangun dan bersiap-siap untuk berjalan-jalan. Awalnya, saya agak malas bangun pagi gara-gara semalaman nyaris tidak bisa tidur. Hotel tersebut menjadi satu dengan klub malam! Dan sepertinya kamar saya tepat diatasnya. Setelah jam 10 ada dentuman musik keras yang sangat mengganggu! Tapi rasa penasaran ingin melihat suasana Palembang di pagi sangat menggoda saya untuk tetap bangun dan mandi p

Saya mulai dengan jalan kaki ke arah Jalan 24 ilir. Pagi itu tukang-tukang becak sudah hilir mudik membawa ibu-ibu penjual dan barang dagangannya ke pasar. Becak di kota ini bentuknya agak pendek dengan bagian lengan tempat duduk yang lurus. Sebagian besar berhias baling-baling dan bunga warna-warni. Ia mengeluarkan suara lonceng saat bergerak. Saya sampai lebih dari setengah jam berjongkok di pinggir jalan hanya karena ingin punya foto panning dari becak ini. Beberapa orang lewat (kalau nggak salah inget ada sekitar 5 orang), mengingatkan saya untuk berhati-hati membawa kamera. Menurut mereka, kamera DSLR saya terlihat mahal dan menggoda pencuri untuk mengambilnya.

Saya melanjutkan perjalanan ke pasar barang bekas. Banyak sekali benda-benda aneh dijual di sini. Mulai botol kecap (ya botol kecap warna hijau yang jelek itu, bukan botol minuman keras yang cantik), boneka yang tangannya patah (buat apa coba?), hingga kap lampu kuno. Di pasar itu saya menemukan sebuah ikat pinggang etnik dari kerang dan empat buah gelang batu dengan harga hanya sepuluh ribu rupiah!

Saya kemudian berjalan kaki ke sisi lain jalan 24 ilir. Di sepanjang jalan, saya melihat beberapa rumah tradisional Palembang. Rumah-rumah panggung tadi terbuat dari papan dan banyak diantaranya yang tidak dicat. Jika dilihat dari warna kayunya, umur rumah-rumah tadi mungkin lebih dari empat puluh tahun. Sayang banyak yang tidak terawat hingga kayunya keropos atau dimakan rayap. Di jalan ini pula ada sebuah komplek rumah susun. Saya sempat takjub saat melihat rumah-rumah tadi yang penuh sesak dengan jemuran di depannya.

Saya melanjutkan perjalanan bersama seorang sepupu yang tinggal di Palembang। Kami pergi ke Masjid Agung, masjid terbesar di Palembang yang dibangun pertama kali pada 1748. Bangunan putih megah dengan atap berbentuk tumpang bersusun tiga ini mengalami berkali-kali renovasi. Sekarang, masjid ini dilengkapi dengan menara berbentuk segi dua belas dengan tinggi mencapai 45 meter. Kebetulan, hari itu sedang ada ibadah salat Jumat. Ratusan orang datang untuk bersembahyang ke masjid ini dengan baju warna putih-putih. Halaman masjid yang ramai oleh pedagang menjadi mirip pasar. Di sini dijual aneka barang mulai dari pakaian bekas, mainan anak, hingga racun tikus.

Sore harinya, kami pergi ke kawasan Benteng Kuto Besak. Di depannya terdapat sebuah dermaga dengan latar belakang Jembatan Ampera di kejauhan. Kapal-kapal ketek dari kayu berwarna-warni terlihat berseliweran membawa penumpang dan hasil bumi. Beberapa tertambat di dermaga untuk menunggu penumpang. Tempat ini mengingatkan saya jika dahulu Palembang adalah salah satu pelabuhan utama di Pulau Sumatera. 13 abad yang lalu, kota ini merupakan ibukota dari sebuah kerajaan maritim besar bernama Sriwijaya. Kota yang digambarkan oleh pendatang sebagai kota yang mengambang di atas air ini merupakan pelabuhan terpenting di Asia. Hal yang unik mengingat letaknya 80 kilometer dari lautan.

Ke esokan paginya, saya pergi ke Bangka dengan menggunakan jet foil dari Pelabuhan Boom Baru. Di jetfoil bernama Express Bahari, saya memilih untuk duduk di luar kabin. Saya terpesona oleh kapal ketek dan sampan yang lalu-lalang dan rumah-rumah panggung penduduk yang ada di tepi Sungai Musi. Dari atas kapal terlihat Pabrik Pupuk Sriwijaya dan kilang minyak yang namanya dulu selalu disebut-sebut dalam buku pelajaran IPS Sekolah Dasar saya: Plaju dan Sungai Gerong. Kapal-kapal besar pengangkut minyak dengan suara klaksonnya yang keras berseliweran di sekitar kilang minyak tadi.

Saya yang nggak bisa duduk manis berlama-lama, memilih untuk berkeliling. Nakoda dan awak kapal yang baik menawari saya makan. Mereka juga memperbolehkan saya pindah ke kabin eksekutif tanpa membayar. Kadang punya tampang seperti anak SMA hilang menguntungkan juga. J Tapi saya enggan berlama-lama di kabin eksekutif. Suara berisik penumpang yang sibuk berkaraoke dengan lagu-lagu ST 12, mengganggu tidur siang saya.

Kapal cepat tiba di Pelabuhan Muntok pukul 12 siang. Saya sempat takjub melihat sebuah mercu suar dengan warna merah putih yang sangat mencolok. Begitu turun dari kapal, beberapa tukang ojek menawarkan untuk berkeliling Muntok sambil melihat-lihat tempat pembuangan Bung Karno. Saya menolak karena badan saya demam. Semalam saya tidak bisa tidur lagi akibat terganggu oleh suara dentuman musik dari diskotik di bawah kamar saya. Karena ngantuk, saya tertidur di travel yang membawa saya ke Pangkalpinang.

Sore harinya, saya diantar teman berkeliling kota Pangkalpinang. Kota ini sangat kecil dan ada banyak kelenteng terselip di tiap sudut kotanya. Uniknya, kota ini penuh dengan bangunan menara tanpa jendela di setiap sudut kota. Rumah ini bukan dihuni oleh manusia tetapi oleh sekumpulan burung walet. Konon, rumah-rumah walet ini mulai dibagun sekitar tahun 98 an. Orang tertarik berinvestasi di sarang walet karena waktu dolar jatuh hingga 17 ribu rupiah, harga sekilo sarang walet bisa menembus 25 juta rupiah.

Pagi harinya, teman saya mengantarkan saya pergi ke Pantai Pasir Padi. Sebelumnya kami mampir ke kantor Bupati yang indah dan Museum Timah. Pantai cantik ini memiliki pasir berwarna putih yang luas sekali. Teman saya bercerita jika di Bangka pantai-pantai lain jauh lebih cantik dari pantai ini. Di sekitar kota juga banyak pulau-pulau kecil berhutan di dekat yang bisa dijangkau dengan sampan. Sayangnya, kami tidak sempat ke sana karena waktu saya terbatas. Kami kemudian pulang sambil mencoba makanan khas Bangka dan berbelanja oleh-oleh. Saya menghabiskan semua uang tunai saya untuk membeli kopi dan terasi bangka. Waktu itu, saya berpikir ada ATM di toko swalayan dekat biro perjalanan, jadi saya bisa mengambil uang pagi sebelum pulang.

Pukul setengah enam pagi, saya diantar ke biro perjalanan untuk pulang. Teman saya menyuruh sarapan dahulu tapi saya menolak karena takut terlambat. Toh, saya bisa membeli makanan di jalan.

Awalnya, saya mendapatkan nomor bangku di deretan belakang ELF. Saya kemudian mencari-cari penumpang yang duduk di depan dan membujuknya untuk bertukar tempat duduk. Ia memberikan kursi tadi saat tahu saya berasal dari Jogja dan mungkin tidak akan kembali lagi ke tempat tersebut (atau karena thx god I’m cute?), jadi saya ingin melihat-lihat jalan. Pemandangan di luar kota Pangkalpinang sangat indah. Jalannya berkelok-kelok dengan sesekali berhiaskan hutan lebat atau kebun lada. Beda banget deh sama negeri Jogja. Kadang, tepian jalan dipenuhi oleh deretan rumah kayu berlantai satu. Rata-rata rumah ini berbentuk persegi atau persegi panjang. Ahh… saya ingin turun dan berhenti sebentar untuk mengambil gambar lanskap tempat ini. Sopir travel yang tahu kalau saya dari jauh menghentikan mobil sebentar. Ia memberi waktu kepada saya untuk mengambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan. Mungkin saya punya tampang memelas sehingga orang mudah jatuh kasihan.

Sekitar pukul delapan pagi, kami sampai di sebuah restoran. Saya baru ingat jika tadi saya lupa mengambil uang di ATM. Oh tidakk…. Ini Pulau Bangka, bukan di Jawa di mana saya bisa membayar makanan dengan kartu debit! Akhirnya saya memilih untuk berjalan-jalan sambil mengambil gambar di perkampungan di dekat restoran saat penumpang lain makan.

Kami sampai di Muntok sekitar pukul 11 siang. Saya mulai pusing karena kelaparan. Untung saja saya bisa menemukan dua lembar lima ribuan di kantong celana dan tas. Langsung saja uang tadi saya pakai untuk membeli nasi bungkus dan pocari sweat. Dan, di kapal ada yang menawari saya makan. Jetfoil sampai di Palembang sekitar pukul dua siang. Setelah makan siang dan mampir sebentar ke museum, saya berlari-lari ke bandara untuk pulang. Untung saja saya masih diperbolehkan check in saat pesawat mulai boarding.

Ps: Ini tulisan lama yang ngendon di laptop dan direvisi dalam rangka kangen jalan-jalan.

Dari Maumere hingga Labuhan Bajo





Saat saya kegirangan melihat gunung-gunung pasir dan laut yang berwarna kehijau-hijauan dari pesawat yang hendak mendarat di Maumere, teman saya berkata di Labuhan Bajo pemandangannya lebih dramatis lagi. Oh ya? Jadi nggak sabar untuk cepat-cepat turun dan melihatnya langsung. Saya ingat komentar beberapa teman yang pernah ke Flores sebelumnya. Kata mereka, Flores tu punya banyak matahari alias panas banget. Trus gara-gara sering lihat iklan TV tentang CSR sebuah perusahaan air minum tentang kekeringan di sana, saya sempat beranggapan kalau seluruh Flores adalah daerah mirip-mirip gurun pasir.

Turun dari pesawat, kami dijemput sopir rental untuk pergi makan siang di sebuah restoran di pinggir dermaga. Selama kami makan, ada 3 kapal kayu datang dari Pulau Besar bawa puluhan penduduk lokal. Banyak dari mereka mengenakan kain ikat yang warna-warni. Jadi pengen pulang bawa beberapa motif.

Habis itu, kami harus menjemput tiga orang teman dari Australia yang sudah beberapa hari tinggal di Maumere. Mereka menginap di sebuah hotel tepi pantai yang menghadap langsung ke Pulau Besar. Teman-teman Australia tadi berhari-hari menghabiskan liburan dengan menyewa perahu nelayan untuk mencari spot snorkling.

Di sana, saya dengar cerita dari beberapa penduduk lokal kalau sebagian besar penduduk Maumere turun-temurun hidup dari pertanian. Menurut saya itu hal aneh karena mereka tinggal dekat dengan laut yang sangat kaya ikan.

Kami ketemuan bentar dengan beberapa petani dari Alor, trus nglanjutin jalan. Kami sengaja minta supirnya nyetir pelan-pelan, supaya ga mabok. Jalan aspal di sana tu berkelok-kelok dan naik turun terus! Waktu jalan ke arah barat, bukit-bukit kering yang tadinya jadi pemandangan di kanan dan kiri jalan berubah jadi sawah dan hutan menghijau. Eh, beda banget dengan yang ada di bayangan saya.

Di Moni, kami nginap di sebuah losmen kecil yang menyenangkan. Namanya Hidayah. Di belakang losmen ini, ada sungai berair terjun. Paginya, saya langsung berjalan-jalan di aspal yang berkelok-kelok. Senangnya lihat anak-anak SD berangkat sekolah dengan latar belakang bukit-bukit hijau, kebun sayuran, dan permukiman penduduk. Kebanyakan rumah di Flores bentuknya persegi dengan dindingnya terbuat dari bambu disusun vertikal dan atap seng kaya gini:

Pemandangan selanjutnya masih didominasi gunung-gunung hijau dan jurang. Sesekali ada sawah dan gerombolan rumah-rumah penduduk. Pemandangan favorit saya ada di di daerah namanya Kilometer 13 di Ende. Di kanan jalan ada jurang dengan barisan bukit batu tinggi ke atas. Di bukit tadi ngalir beberapa air terjun kecil. Air terjun-air terjun yang cuma ada pas musim hujan tadi jatuh sungai berlekuk-lekuk di dasar jurang. Cantik sekali. Kami berhenti sebentar buat foto-foto. Sayang, lensa kamera saya terlalu pendek. Hiks!


Kami mampir lagi di daerah namanya Nanga Panda. Di sini ada banyak batu koral berwarna hijau. Kami berhenti bentar untuk jalan-jalan di pantai yang semua batunya berwarna hijau. Sama penduduk lokal, batu di pantai tadi dipilah-pilah berdasarkan ukurannnya buat dijual. Harganya sekitar 25 ribu per karung besar. Batu-batu ini sama pengepulnya dibawa ke Jawa pakai kapal.

Di Ende, kami pengen mampir bentar di rumah yang dulu pernah dipakai untuk mengasingkan Bung Karno. Sayang, rumahnya terkunci jadi kami nggak bisa lihat isinya.

Sepanjang perjalanan, kami beberapa kali melihat pasar tradisional. Penuh dengan ibu-ibu yang berbelanja. Kebanyakan dari mereka memakai kain tenun warna-warni. Trus beberapa makai gelang dari gading. Kami mampir bentar ke salah satu pasar buat lihat-lihat dan nyari makanan tradisional. Sempat ngiler waktu lihat pedagang kain nawarin belasan kain tenun.

Kami jalan lagi ke daerah Bena dan nginap di Villa Silverin. Tempatnya menyenangkan, kami bisa melihat Gunung Purba Inierie dari teras depan kamar tidur. Selain itu, pas makan malam di restoran, kami dapat bonus pemandangan lampu-lampu Kota Bawaja. Seperti biasa, kalau pagi-pagi, saya jalan-jalan di seputaran hotel. Niatnya nyari tempat tertinggi untuk bisa menikmati pemandangan Kota Bajawa yang masih tertutup kabut dan Gunung Inierie. Di puncak bukit, ada nenek-nenek namanya Mama Katarina. Kerjaannya jualan sayur di pasar. Nenek tadi cerita klo panennya gagal terus gara-gara kebanyaan hujan.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Manggarai. Kamiaat melewati hutan yang masih alami sebelum sampai di kota. Kami langsung mematikan AC dan membuka jendela untuk menikmati udara segar. Saat berkeliling di daerah pinggiran kota, sawah-sawah berteras mengikuti kontur pebukitan merupakan pemandangan yang mudah ditemui. Teman-teman Australia saya berkali-kali memuji tempat ini indah sekali. Saya hanya tertawa dan mengatakan ada banyak lokasi lain di Indonesia yang pernah saya kunjungi lebih cantik dari tempat ini.

Mayoritas pendudukFlores beragama Katolik. Di hampir tiap sudut kota ada terdapat bangunan megah gereja. Tiap hari minggu, orangtua memakaikan baju bagus ke anak-anaknya untuk pergi ke gereja. Di sini, tiap kali kita datang ke kampung-kampung, kita bisa dengan mudah menemukan perempuan yang sudah menikah menenun kain. Biasanya untuk dipakai sendiri dan dijual jika berlebih. Babi merupakan pemandangan umum yang bisa ditemui di perkampungan Flores.

Akhirnya, kami sampai di persinggahan terakhir: Labuhan Bajo. Di sini, ada dermaga yang terlihat cantik dari atas. Tiap hari, puluhan kapal pesiar bersandar di sini. Kebanyakan disewa untuk membawa turis yang ingin melihat komodo di habitat aslinya. Kami pun memulai perjalanan ke Pulau Seraya besar. Pulau-pulau kecil berbukit tanpa tanaman menjadi pemandangan di kiri dan kanan kami. Di batu gosok, kami melihat-lihat peternakan ikan kerapu. Ikan-ikan berwarna putih tadi tubuhnya penuh dengan totol-totol hitam. Gigi-gigi mereka juga lucu-lucu. Kapal kemudian berhenti supaya kami bisa bermain air sembari snorkling. Kami pulang setelah malam tiba. Ddari kejauhan dermaga terlihat lampu-lampu kota yang menyala. Pantulannya di air ter;o

Rombongan kami terbagi dua karena teman-teman Australia saya masih ingin melihat Hutan Mbeliling sedangkan saya dan seorang teman ada acara lain di Jogja. Bandara dipenuhi oleh turis asing. Selain kami hanya ada beberapa orang Indonesia. Kalau dilihat dari bajunya, kalau bukan pejabat yang sedang dinas, mereka penduduk lokal yang hendak pergi ke tempat lain. Hei, turis dari Indonesia pada ke mana ya?

(Niatnya) Nonton Waisak

Beberapa hari lalu, saya bertiga dengan TopX dan Lio pergi ke Borobudur untuk melihat perayaan Waisak. Berhubung malas terkena macet, dari Jogja kami kerajinan berangkat pukul 3 sore. Mampir bentar di toko buat belanja cemilan. Niatnya sih buat bekal piknik. Seru kan, duduk-duduk sambil lihat candi yang diterangi lilin dan disinari cahaya bulan purnama?

Borobudur masih belum terlalu ramai waktu kami sampai. Kami celingukan karena tidak tahu jadwal acara. Akhirnya, kami pergi ke wihara yang letaknya di belakang candi untuk bertanya. Di pelataran wihara, kami saling dorong, dan batal bertanya karena engga enak hati. Ada banyak biksu dan umat Buddha yang kelihatannya dari jauh berkumpul. Sepertinya, mereka sedang sibuk menyiapkan upacara agamanya. Masa kami datang dengan muka mau piknik lalu tanya: “Hai, acara waisaknya nanti jam berapa ya? Rutenya mana aja? Ikutan dong.” Kelihatannya tidak sopan.

Kami lalu berputar-putar mencari tempat parkir mobil. Waktu mau berhenti di dekat candi, pertugas parkirnya mendekati mobil kami.

Tukang parkir : Mbak, parkirnya dah tutup.
Saya: Loh, bukannya nanti malam ada perayaan Waisak (bingung)
Tukang parkir : Ngg… Bukannya besok? (tidak yakin). Mbaknya coba tanya bagian informasi untuk jadwal jelasnya.

Kami lalu pergi ke Hotel Manohara untuk meminta jadwal perayaan waisak. Ternyata.. Pelepasan lampion dan detik-detik waisaknya itu tanggal 17 alias BESOK! Kami tertawa ngakak sambil terharu gitu.

Berhubung sayang banget kalau pulang karena sudah jauh-jauh datang, kami pergi ke pasar malam di Candi Mendut. Jalan-jalan dan makan jagung di sana. Jalan di sekitar Candi Mendut berubah jadi mirip pasar malam imlek. Banyak penjual baju-baju merah berkerah cheongsam dan topeng barongsay. Candi Mendut yang biasanya gelap saat malam, dikelilingi cahaya dari tenda meja sembahyang. Patung Buddha yang ada di dalamnya juga terlihat cantik karena penuh rangkaian bunga. Bagian dalam candi terlihat keemasan karena pantulan cahaya lilin.

Kami kemudian duduk-duduk di panggung dekat candi dan mengeluarkan bekal. Piknik deh. Malam itu ada tiga jenis pengunjung di candi: umat Buddha yang menyiapkan sesaji, keluarga yang mengantar anak-anak kecil bermain, dan mahluk nggak jelas seperti kami. TopX yang masih penasaran dengan puncak perayaan Waisak, ngajakin pergi lagi besok sore.

Semakin malam, ada banyak orang-orang muda datang. Kami kemudian pulang. Karena jalan ke luar candi ke arah Jogja macet berat, kami memilih lewat jalur alternatif. Ternyata… jalan ditutup karena jembatannya putus. Kita tertawa habis saat melihat ada banner raksasa di depan jembatan. Masa tulisannya: Sugeng Rawuh Wonten (artinya: selamat datang di) Misteri Jembatan Sorowi. Apa maksudnya coba? Terpaksa deh, pulang lewat jalan lain yang lebih jauh.

Hari kedua, kami berangkat sekitar jam 3.30 sore. Sengaja lewat jalan alternatif supaya nggak kena macet. Rutenya lewat Kali Bawang menembus Desa Candirojo. Ternyata asyik juga buat cuci mata. Pemandangan di sepanjang jalan bagus. Sawah-sawah bertingkat dan sungai-sungai menghiasi kiri dan kanan jalan. Sesekali bukit-bukit hijau kelihatan dari jauh.

Sampai di candi, kami pergi ke tenda tempat umat Buddha bersembahyang. Karena bosan menunggu, kami pindah ke depan pintu gerbang utama. Trus ketemu sama fotografer keturunan India. Namanya Sigh (kayaknya saya salah eja nama), sengaja datang dari Singapura buat lihat perayaan Waisak. Kami keasyikan ngobrol tentang tempat-tempat wisata di Indonesia sambil liat-liat foto-foto Sigh di iphonenya.

Tiba-tiba kami sadar, sepertinya dari arah candi, ada suara-suara orang berdoa. Trus kerumunan orang di dekat pintu utama sepertinya berkurang. Jangan-jangan mereka lewat pintu lain. Wuaa… kami langsung lari ke pintu samping. Lumayan olahraga malem tu. Ternyata, di depan gerbang ada kerumunan orang yang dilarang masuk.

Kami lalu bersekongkol dengan Sigh. Rencananya, dia akan masuk dan kami ngikut di belakang. Biasanya, orang Indonesia lebih ramah dengan orang asing. Kalau mereka tidak mengerti bahasa Sigh, kami pasti akan dibiarkan masuk candi. Ternyata gagal! Penjaga yang tidak bisa berbahasa Inggris sambil kebingungan menjelaskan tetap ngotot meminta undangan.

Saya dan TopX lalu membujuk Lio untuk masuk sambil menunjukkan KTPnya. Lio penganut Buddha, tapi dari aliran Hinayana yang tidak sebenarnya tidak merayakan Waisak. Petugasnya ngebolehin dia masuk. Saat saya dan TopX mau ngikut, petugasnya ngelihatin sambil bertanya: umat atau bukan? Dengan berat hati kami menggeleng dan dilarang masuk. Hiks!

Akhirnya, saya, TopX, dan Sigh lihat lampion-lampion beterbangan di atas candi dari balik pagar. Keren banget! Lingkaran-lingkaran cahaya yang tadinya besar saat terbang berubah jadi kunang-kunang besar warna kuning. Sigh menghibur diri, katanya sih November nanti dia akan pergi ke Thailand. Ada perayaan umat Buddha dan pelepasan lampion yang pengunjungnya bebas masuk.

Sekitar jam 10-an, penunjung dari dalam candi mulai keluar. Beberapa diantaranya mahasiswa ko-as mantan adik kelas TopX. Mereka pamer foto-foto dan manas-manasin. Katanya sih di dalam keren banget. Kesel nggak seh? Kami lalu berencana balas dendam ke Lio. Pokoknya dia harus bayarin kami makan karena masuk sendirian! Kalau engga, dia nggak boleh masuk ke mobil.

Akhirnya.. Sampai ke Papua Juga



Saya langsung bilang iya dan loncat-londat kegirangan saat seorang teman menawarkan jalan-jalan ke Papua. Sejak kecil, saya ingin sekali pergi ke Papua. Dalam bayangan saya, Papua tempat yang eksotis, liar, dan masih alami sekali. Sebelumberangkat, saya sibuk mebayangkan akan naik sampan dengan anak-anak kecil yang berkulit hitam dan keriting.


Waktu itu, saya nggak kepikiran kalau tugas yang saya kerjakan hampir mustahil untuk dilakukan. Bayangkan, saya yang nggak tahu apa-apa soal Papua dan korupsi, tiba-tiba disuruh bikin laporan visual. Yah, semacam mirip film dokumenterlah, tentang program anti korupsi. Berhubung, kalau saya tolak entah kapan saya bisa ke Papua, saya bilang iya tanpa berpikir. Gilanya lagi, saya cuma punya dua hari untuk bersiap-siap sebelum berangkat! Padahal, saya baru saja sampai di Jogja setelah dua minggu tinggal di perkampungan nelayan untuk menyusun buku.

Saya pergi berdua dengan Mbak Iwuk yang ditugasi mengevaluasi program tersebut. Kami sampai di Biak sekitar jam 3 pagi. Waktu kami keluar, ada belasan supir taksi (disana angkot yang bisa disewa disebut taksi) menawarkan untuk mengantar kami. Berhubung supir taksinya serem-serem, Mbak Iwuk mengajak saya berjalan kaki karena hotel tempat kami menginap tidak terlalu jauh.

Waktu jalan, saya agak kecewa. Tadinya saya membayangkan akan datang di tempat yang dikelilingi hutan, trus penduduknya tinggal di honai. Ternyata, rumah-rumah di jalan yang kami lewati terbuat dari beton. Yah!
Kami jalan pelan-pelan karena capai dan masih mengantuk. Ya iya lah, barusan terbang 9 jam. Mana di pesawat insomnia saya kumat. Baru beberapa ratus meter kami jalan, ada beberapa ekor anjing menggonggong galak. Huaa... Kami langsung lari tunggang-langgang karena dikejar.. . Hiks, terpaksa olahraga pagi.

Hal unik yang paling saya ingat tentang Papua adalah: Bandara-bandaranya yang ajaib. Menurut saya sih lebih mirip terminal bus daripada bandara. Bayangkan, waktu kami menunggu pesawat di Jayapura, listrik tiba-tiba mati dan jadwal penerbangan keganggu. Hallo! Bandara gitu loh! Trus, selama sekitar dua jam kami di bandara, berkali-kali kami dengar pengumuman permohonanan maaf kalau penerbangan dibatalkan sampai dengan waktu yang tidak ditentukan. Kami tertawa terbahak-bahak tiap kali mendengar kalimat: “Penumpang harap maklum”. Hue..he..he

Waktu mendarat di Sorong, saya heran saat melihat sapi-sapi dengan damainya merumput di pinggir landasan pacu. Ternyata hal tadi belum seberapa. Landasan pacu pesawat membelah sungai dan jalan raya. Jadi, saat ada pesawat lewat, ada portal mirip di lintasan kereta api turun. Motor, mobil, dan semua kendaraan harus memberikan jalan ke pesawat. Nah, kalau pagi, dari pesawat kita bisa lihat pemandangan penduduk lokal nyuci, mandi, atau pub di sungai :D
Lain lagi dengan Fak-fak. Di kota yang berbukit-bukit tadi, landasan pesawat adalah satu-satunya jalan yang datar. Beda dengan jalan di kotanya yang naik turun. Di bandara ini, pengantar bisa cipika-cipiki di dalam pesawat. Malah kadang pramugarinya harus ngusir penumpang kalau mau berangkat. Trus, pesawat-pesawat kecil tadi ga pakai nomer tempat duduk. Perumpangnya harus rebutan, kaya naik angkot gitu.

Di Papua, saya hampir tidak pernah melihat tanda “Dilarang Merokok”. Sebagai gantinya, di mana-mana ada tanda “Dilarang Makan Pinang”. Yeah, hampir semua orang di Papua membawa sirih dan pinang ke mana-mana. Sebentar-sebentar mereka mengunyah benda ini. Dan, banyak yang seenaknya meludah. Warnanya merah dan sulit dibersihkan.
Sebagai kolektor benda apapun, saya bertekad harus membawa pulang barang “asli”. Tiap kali datang ke toko souvenir, saya batal belanja karena gelang, kalung, dan gantungan kunci yang ada di toko souvenir sebelas duabelas dengan barang di Malioboro. Entah kenapa, banyak juga turis yang tertipu membeli batik papua atau kaos bertuliskan Papua yang sebenarnya diproduksi di Jawa.

Saya tertarik untuk membeli noken. Di Jayapura, meski banyak penduduk lokal memakai barang tadi, sulit sekali mencari penjualnya. Katanya sih, noken tadi biasanya dijajakan dari rumah ke rumah. Saya sampai harus berkeliling beberapa pasar tradisional. Akhirnya, saya menemukan seorang penjual di salah satu pasar. Cuma batal beli karena penjualnya minta Rp 200.000. Malas ya, mengeluarkan uang sebanyak itu untuk membeli jalinan kain dengan warna norak.

Di bandara, saya masih penasaran saat melihat beberapa orang memakai noken. Saya mendekati seorang ibu yang memakai noken yang warnanya saya suka. Setelah berbasa-basi sebentar, saya bertanya pada ibu tadi di mana menbeli noken tadi. Hi..hi..hi.. padahal sebenarnya saya tertarik untuk membeli nokennya. Entah kenapa, dia dengan cepat memindahkan semua barangnya ke handuk yang ia bawa. Lalu muncul percakapan seperti ini:
Ibu : Kalau mau, kakak bisa ambil. Harganya Rp.200.000. Nanti saya bisa beli lagi di kampung.
Saya: Nggak mau, mahal! Itu kan dah dipakai.
Ibu: Saya baru beli kemarin
Saya: Boleh Rp 80.000?
Setelah proses tawar-menawar yang alot, akhirnya noken tadi menjadi milik saya dengan harga Rp135.000. Horee... Saya langsung pamer ke Mbak Iwuk.

Nyebelinnya, di Manokwari yang menjadi tujuan kami berikutnya, di sepanjang jalan dari bandara menuju hotel ada beberapa penjual noken. Puluhan noken warna-warni tergantung di kios-kios pinggir jalan. Iseng-iseng saya bertanya berapa harganya. Ternyata, harga noken di sana standarnya Rp.100.000. Saya langsung menghibur diri. Noken yang saya beli memang lebih mahal, tapi ada nilai historisnya. Noken tadi punya hiasan mirip gantungan kunci yang terbuat dari taring celeng. Dan bisa jadi bau noken yang saya beli mungkin bekas dipakai membawa babi atau sayur.

Perburuan saya untuk barang “antik” belum selesai. Di Manokwari, saya menemukan sebuah seruling bambu raksasa di toko souvenir. Warna catnya sudah pudar dan terlihat seperti barang kuno. Panjangnya sekitar 70 senti dengan hiasan ukiran burung diatasnya. Kata penjualnya seh, burung tadi (saya lupa namanya) nenek moyang orang Danau Sentani. Harga awal seruling tadi klo nggak salah Rp 250.000. Setelah melewati tawar-menawar yang lama, akhirnya saya bisa membelinya dengan harga Rp.125.000. Berhubung seruling tadi besar, saya tidak bisa memasukkannya dalam tas. Di bandara-bandara yang saya datangi kemudian, orang-orang yang saya temui selalu bertanya benda apakah tadi dengan takjub. Banyak yang berpikir kalau benda tadi tongkat untuk sebuah upacara. Waktu sampai di Jogja, saya baru sadar kalau orang Papua tidak punya tradisi musik tiup. Nah lo? Lalu dari mana asal seruling tadi?

Waktu itu, Papua sedang musim durian. Di pinggir-pinggir jalan ada kulit durian berceceran. Awalnya, saya yang sangat benci bau durian menjadi tersiksa. Berhubung nggak enak hati klo menolak pemberian orang. Saya mulai mencicipi buah yang tadinya saya pikir tidak akan pernah akan sudi makan seumur hidup. Ternyata enak juga. Cuma, karena nggak suka baunya, saya nggak pernah megang buah tadi. Takut kalau baunya tertinggal di tangan. Jadilah saya makan durian dengan bantuan sendok.

Di Papua, saya berkali-kali takjub saat melihat pemandangan di sana. Pantai-pantainya cantik-cantik sekali. Kita bisa lihat ikan, bintang laut, dan kadang-kadang terumbu karang dari permukaan air. Trus di sana orang juga nggak perlu jauh-jauh buat ngelihat hutan yang masih alami. Saya juga beruntung, bisa sampai ke perkampungan-perkampungan di pelosok Papua. Ngobrol dengan penduduk lokal yang engga ngerti bahasa yang saya pakai. Suatu saat nanti, saya pasti akan nyari cara untuk kembali ke sini.

Setelah berkeliling-keliling selama dua minggu, akhirnya kami pulang. Di beberapa kota, saya bertemu dengan beberapa pembuat film. Mereka selalu bilang saya nggak mungkin bisa menyelesaikan laporan visual alias film dokumenter tadi. Saya berkali-kali mendapat ceramah tentang tahapan-tahapan membuat film dokumenter yang butuh riset dan macam-macam. Aduh, klo menurut teorinya seh memang begitu. Sayangnya, pilihan saya cuma ambil saat itu juga atau saya kehilangan kesempatan untuk jalan-jalan. Saya lebih percaya kalau tugas saya sebagai sutradara cuma mengumpulkan gambar. Untuk menyelesaikan dan merangkai film tadi, saya kan punya editor handal. Akhirnya, film tersebut jadi berkat kecerdasan editor saya.