
Saya baru sekali pergi berlibur sendirian. Pertengahan Maret 2009 lalu, saat berkunjung ke Kota Palembang dan Bangka. Sebelumnya, saya mencari info tentang tempat wisata di Palembang dari beberapa teman. Semua kenalan yang pernah berkunjung ke Kota Palembang beranggapan di kota itu tidak memiliki tempat wisata yang menarik. Kata mereka juga, penduduk di sana juga tidak ramah terhadap pendatang. Buku panduan perjalanan dan peta wisata yang saya baca juga menyebutkan hal senada. Palembang adalah kota yang pernah menjadi ibukota negeri besar bernama Sriwijaya, tapi kini tidak banyak peninggalan yang tersisa.
Karena petugas dari Garuda Holiday salah memesan tiket, saya sampai di Palembang hari Kamis malam. Terlambat dua hari dari jadwal semula. Saya langsung pergi ke hotel karena sudah terlalu malam dan lelah. Pukul enam pagi, saya bangun dan bersiap-siap untuk berjalan-jalan. Awalnya, saya agak malas bangun pagi gara-gara semalaman nyaris tidak bisa tidur. Hotel tersebut menjadi satu dengan klub malam! Dan sepertinya kamar saya tepat diatasnya. Setelah jam 10 ada dentuman musik keras yang sangat mengganggu! Tapi rasa penasaran ingin melihat suasana Palembang di pagi sangat menggoda saya untuk tetap bangun dan mandi p
Saya mulai dengan jalan kaki ke arah Jalan 24 ilir. Pagi itu tukang-tukang becak sudah hilir mudik membawa ibu-ibu penjual dan barang dagangannya ke pasar. Becak di kota ini bentuknya agak pendek dengan bagian lengan tempat duduk yang lurus. Sebagian besar berhias baling-baling dan bunga warna-warni. Ia mengeluarkan suara lonceng saat bergerak. Saya sampai lebih dari setengah jam berjongkok di pinggir jalan hanya karena ingin punya foto panning dari becak ini. Beberapa orang lewat (kalau nggak salah inget ada sekitar 5 orang), mengingatkan saya untuk berhati-hati membawa kamera. Menurut mereka, kamera DSLR saya terlihat mahal dan menggoda pencuri untuk mengambilnya.
Saya melanjutkan perjalanan ke pasar barang bekas. Banyak sekali benda-benda aneh dijual di sini. Mulai botol kecap (ya botol kecap warna hijau yang jelek itu, bukan botol minuman keras yang cantik), boneka yang tangannya patah (buat apa coba?), hingga kap lampu kuno. Di pasar itu saya menemukan sebuah ikat pinggang etnik dari kerang dan empat buah gelang batu dengan harga hanya sepuluh ribu rupiah!
Saya kemudian berjalan kaki ke sisi lain jalan 24 ilir. Di sepanjang jalan, saya melihat beberapa rumah tradisional Palembang. Rumah-rumah panggung tadi terbuat dari papan dan banyak diantaranya yang tidak dicat. Jika dilihat dari warna kayunya, umur rumah-rumah tadi mungkin lebih dari empat puluh tahun. Sayang banyak yang tidak terawat hingga kayunya keropos atau dimakan rayap. Di jalan ini pula ada sebuah komplek rumah susun. Saya sempat takjub saat melihat rumah-rumah tadi yang penuh sesak dengan jemuran di depannya.
Saya melanjutkan perjalanan bersama seorang sepupu yang tinggal di Palembang। Kami pergi ke Masjid Agung, masjid terbesar di Palembang yang dibangun pertama kali pada 1748. Bangunan putih megah dengan atap berbentuk tumpang bersusun tiga ini mengalami berkali-kali renovasi. Sekarang, masjid ini dilengkapi dengan menara berbentuk segi dua belas dengan tinggi mencapai 45 meter. Kebetulan, hari itu sedang ada ibadah salat Jumat. Ratusan orang datang untuk bersembahyang ke masjid ini dengan baju warna putih-putih. Halaman masjid yang ramai oleh pedagang menjadi mirip pasar. Di sini dijual aneka barang mulai dari pakaian bekas, mainan anak, hingga racun tikus.
Sore harinya, kami pergi ke kawasan Benteng Kuto Besak. Di depannya terdapat sebuah dermaga dengan latar belakang Jembatan Ampera di kejauhan. Kapal-kapal ketek dari kayu berwarna-warni terlihat berseliweran membawa penumpang dan hasil bumi. Beberapa tertambat di dermaga untuk menunggu penumpang. Tempat ini mengingatkan saya jika dahulu Palembang adalah salah satu pelabuhan utama di Pulau Sumatera. 13 abad yang lalu, kota ini merupakan ibukota dari sebuah kerajaan maritim besar bernama Sriwijaya. Kota yang digambarkan oleh pendatang sebagai kota yang mengambang di atas air ini merupakan pelabuhan terpenting di Asia. Hal yang unik mengingat letaknya 80 kilometer dari lautan.
Ke esokan paginya, saya pergi ke Bangka dengan menggunakan jet foil dari Pelabuhan Boom Baru. Di jetfoil bernama Express Bahari, saya memilih untuk duduk di luar kabin. Saya terpesona oleh kapal ketek dan sampan yang lalu-lalang dan rumah-rumah panggung penduduk yang ada di tepi Sungai Musi. Dari atas kapal terlihat Pabrik Pupuk Sriwijaya dan kilang minyak yang namanya dulu selalu disebut-sebut dalam buku pelajaran IPS Sekolah Dasar saya: Plaju dan Sungai Gerong. Kapal-kapal besar pengangkut minyak dengan suara klaksonnya yang keras berseliweran di sekitar kilang minyak tadi.
Saya yang nggak bisa duduk manis berlama-lama, memilih untuk berkeliling. Nakoda dan awak kapal yang baik menawari saya makan. Mereka juga memperbolehkan saya pindah ke kabin eksekutif tanpa membayar. Kadang punya tampang seperti anak SMA hilang menguntungkan juga. J Tapi saya enggan berlama-lama di kabin eksekutif. Suara berisik penumpang yang sibuk berkaraoke dengan lagu-lagu ST 12, mengganggu tidur siang saya.
Kapal cepat tiba di Pelabuhan Muntok pukul 12 siang. Saya sempat takjub melihat sebuah mercu suar dengan warna merah putih yang sangat mencolok. Begitu turun dari kapal, beberapa tukang ojek menawarkan untuk berkeliling Muntok sambil melihat-lihat tempat pembuangan Bung Karno. Saya menolak karena badan saya demam. Semalam saya tidak bisa tidur lagi akibat terganggu oleh suara dentuman musik dari diskotik di bawah kamar saya. Karena ngantuk, saya tertidur di travel yang membawa saya ke Pangkalpinang.
Sore harinya, saya diantar teman berkeliling kota Pangkalpinang. Kota ini sangat kecil dan ada banyak kelenteng terselip di tiap sudut kotanya. Uniknya, kota ini penuh dengan bangunan menara tanpa jendela di setiap sudut kota. Rumah ini bukan dihuni oleh manusia tetapi oleh sekumpulan burung walet. Konon, rumah-rumah walet ini mulai dibagun sekitar tahun 98 an. Orang tertarik berinvestasi di sarang walet karena waktu dolar jatuh hingga 17 ribu rupiah, harga sekilo sarang walet bisa menembus 25 juta rupiah.
Pagi harinya, teman saya mengantarkan saya pergi ke Pantai Pasir Padi. Sebelumnya kami mampir ke kantor Bupati yang indah dan Museum Timah. Pantai cantik ini memiliki pasir berwarna putih yang luas sekali. Teman saya bercerita jika di Bangka pantai-pantai lain jauh lebih cantik dari pantai ini. Di sekitar kota juga banyak pulau-pulau kecil berhutan di dekat yang bisa dijangkau dengan sampan. Sayangnya, kami tidak sempat ke sana karena waktu saya terbatas. Kami kemudian pulang sambil mencoba makanan khas Bangka dan berbelanja oleh-oleh. Saya menghabiskan semua uang tunai saya untuk membeli kopi dan terasi bangka. Waktu itu, saya berpikir ada ATM di toko swalayan dekat biro perjalanan, jadi saya bisa mengambil uang pagi sebelum pulang.
Pukul setengah enam pagi, saya diantar ke biro perjalanan untuk pulang. Teman saya menyuruh sarapan dahulu tapi saya menolak karena takut terlambat. Toh, saya bisa membeli makanan di jalan.
Awalnya, saya mendapatkan nomor bangku di deretan belakang ELF. Saya kemudian mencari-cari penumpang yang duduk di depan dan membujuknya untuk bertukar tempat duduk. Ia memberikan kursi tadi saat tahu saya berasal dari Jogja dan mungkin tidak akan kembali lagi ke tempat tersebut (atau karena thx god I’m cute?), jadi saya ingin melihat-lihat jalan. Pemandangan di luar kota Pangkalpinang sangat indah. Jalannya berkelok-kelok dengan sesekali berhiaskan hutan lebat atau kebun lada. Beda banget deh sama negeri Jogja. Kadang, tepian jalan dipenuhi oleh deretan rumah kayu berlantai satu. Rata-rata rumah ini berbentuk persegi atau persegi panjang. Ahh… saya ingin turun dan berhenti sebentar untuk mengambil gambar lanskap tempat ini. Sopir travel yang tahu kalau saya dari jauh menghentikan mobil sebentar. Ia memberi waktu kepada saya untuk mengambil beberapa foto sebagai kenang-kenangan. Mungkin saya punya tampang memelas sehingga orang mudah jatuh kasihan.
Sekitar pukul delapan pagi, kami sampai di sebuah restoran. Saya baru ingat jika tadi saya lupa mengambil uang di ATM. Oh tidakk…. Ini Pulau Bangka, bukan di Jawa di mana saya bisa membayar makanan dengan kartu debit! Akhirnya saya memilih untuk berjalan-jalan sambil mengambil gambar di perkampungan di dekat restoran saat penumpang lain makan.
Kami sampai di Muntok sekitar pukul 11 siang. Saya mulai pusing karena kelaparan. Untung saja saya bisa menemukan dua lembar lima ribuan di kantong celana dan tas. Langsung saja uang tadi saya pakai untuk membeli nasi bungkus dan pocari sweat. Dan, di kapal ada yang menawari saya makan. Jetfoil sampai di Palembang sekitar pukul dua siang. Setelah makan siang dan mampir sebentar ke museum, saya berlari-lari ke bandara untuk pulang. Untung saja saya masih diperbolehkan check in saat pesawat mulai boarding.
Ps: Ini tulisan lama yang ngendon di laptop dan direvisi dalam rangka kangen jalan-jalan.